Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Penjelasan
Alif tak lagi mau mendengarkan cemoohan yang di lontarkan orang-orang di warung untuknya.
Orang-orang disana, semuanya kenalan ataupun karyawan ayahnya. Mana mungkin mereka akan percaya pembelaan yang keluar dari mulutnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Alif keluar dari warung. Dia mendekati rumah yang berada tepat, disamping warung.
Setelah beberapa kali menekan bel, sang empunya rumah keluar dengan wajah tak terkejut sama sekali. Seolah-olah mereka sudah memprediksi atau sudah tahu jika Alif akan kesana.
"Kenapa? Kenapa ayah menjual rumah nenek?" Alif bertanya tanpa basa-basi.
"Rumah ibuku kan? Jadi, apa masalahmu?" cetus Haris tersenyum miring.
"Tapi nenek melarang ayah untuk menjualnya." isak Alif, padahal dia sudah berencana untuk tak menangis di hadapan lelaki yang disebut ayah itu.
"Udah lah, jangan berteriak. Bu Nanda sedang menidurkan anaknya." ungkap Haris, mempertegas bu Nanda, seolah-olah menyadarkan Alif, jika Nanda bukan ibunya.
"Kenapa?" Alif mengulang pertanyaannya.
"Karena itu rumah ibuku, dan aku lebih berhak dibandingkan kamu." tunjuk Haris. "Lagipula, aku yang menemukan surat itu lebih dulu," kekeh Haris.
"Terus aku harus kemana?"
"Kamu bukan bayi Alif, di luar sana masih banyak tempat untuk kamu berteduh. Bahkan, anak-anak lain bisa tuh hidup atau tidur di emperan toko." cetus Haris.
"Anda manusia terkejam dihidupku." umpat Alif.
Haris memutar matanya, dan sedetik kemudian dia menutup pintu di depan muka anaknya.
Alif termangu, dia bingung kemana arah hidupnya setelah ini. Sekarang, jangankan untuk tempat pulang, tempat berteduh saja dia gak punya.
Kembali Alif berjalan menyusuri jalan, dia berharap masih ada mobil lewat, agar bisa kembali ke kampung halamannya.
Beruntung, tak sampai setengah jam Alif berjalan, sebuah mobil berhenti menanyakan tujuan Alif.
Di dalam mobil, Alif kembali terisak. Sekarang dia, bagaikan puing di lautan lepas, terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas.
Ingin sekali, dia pergi jauh dari tempat asalnya, namun saat mengingat sekolah, dia kembali mengurungkan niatnya. Sebab, putus sekolah, tak pernah ada dalam kamusnya. Apalagi, almarhumah Neli sering berpesan, apapun yang terjadi mencari ilmu tetap harus nomor satu.
Bel sekolah hampir berbunyi, Aziz menatap pintu gerbang, berharap sang sahabat segera menampakkan batang hidungnya. Akan tetapi, sampai bel berbunyi, Alif tak kunjung tiba.
Rasa khawatir menyelusup ke relung hatinya, bukan khawatir karena tak mendapatkan mie dari Alif, melainkan khawatir jika sahabatnya terjadi sesuatu, karena selama ini, Alif termasuk salah satu siswa yang rajin kesekolah, kecuali ada musibah. Bahkan, biasanya, sakit pun dia gak akan libur, kecuali itu parah.
Alif sendiri, masih setia berada di rumah, dia sedang menatap setiap detail rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya.
Seharian ini, Alif berada di kamar neneknya, dia sedikit merasa kecewa pada sang nenek. Sebab, andai saja neneknya memberitahukan dimana surat rumah itu si simpan, mungkin hal seperti ini tak akan terjadi.
"Kemana aku harus pergi? Orang tua ku saja membuangku, lantas apakah mungkin orang lain mau menerimaku?" lirih Alif.
"Katanya, orang gak akan menerima ujian melebihi batas kesanggupannya. Tapi sekarang, aku gak sanggup. Aku lelah, aku ingin menyerah ..." isak Alif menutupi wajahnya, dengan kedua tangan.
Alif terlelap dalam tidurnya, dia terbangun karena mendengar suara ketukan di pintu depan. Dengan langkah, gotai Alif berjalan ke arah pintu.
Begitu pintu di buka, Aziz terlihat berdiri masih dengan menggunakan helm di kepalanya. Dan dibelakang Aziz, ada abangnya yang turut melambai ke arah Alif.
Aziz hanya menatap Alif, dia bingung harus bertanya apa. Karena jelas sekali terlihat, jika sekarang Alif tidak baik-baik saja.
"Maaf, karena tidak bisa membuat mie,"
"Hei, aku kesini bukan karena mie. Tapi, karena aku khawatir." ralat Aziz dia menarik tubuh Alif, agar keluar untuk duduk di teras.
"Rumah ini udah dijual, kamu tahu? Sekarang aku gak punya tempat tinggal sama sekali." ungkap Alif.
Alif selama ini dikenal dengan sosok tertutup. Dia enggan bercerita jika tidak di tanya. Tapi tidak dengan hari ini. Dia menceritakan segalanya, bahkan dia tidak malu saat Abang dari Aziz ikut menepuk-nepuk bahunya.
"Tinggal sama kami aja ya, kebetulan kami sering tinggal berdua di rumah, karena ayah dan bunda ku, bekerja." tawar Aziz.
"Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku enggan merepotkan siapapun Ziz, karena aku beranggapan tak ada orang yang menginginkan kehadiranku." jelas Alif.
"Tapi tak semua orang begitu Lif, mereka tak sama dengan ku."
"Biarkan aku memikirkan, jalan lainnya saja. Tanpa harus merepotkan siapapun." ungkap Alif menyeka sudut matanya.
🍁🍁🍁
Besoknya, saat bel pulang sekolah berbunyi, Aziz dan Alif bersiap-siap. Namun, bukan untuk pulang melainkan ke sebuah gedung yang masih dalam lingkungan sekolah.
Disini lah, Aziz dan Alif, mereka juga di temani oleh Azka, abang dari Aziz.c
"Jadi, bolehkan pakde, jika Alif tinggal disini?" tanya Azka pada penjaga sekolah.
Pak Zaki, menarik napas menimbang-nimbang permintaan ponakannya.
"Aku bisa membantu pak Zaki apa aja. Aku gak butuh gaji, yang penting punya tempat tinggal dan bisa makan aja." papar Alif.
"Baiklah, kebetulan pakde memang sedikit kewalahan dalam mengurus sekolah ini, sebelumnya pakde juga udah mengajukan penambahan tenaga kerja pada pihak sekolah. Tapi, karena ceritamu tadi, pakde sedikit merasa kasihan." tutur Zaki.
Alif memeluk Aziz sebagai ucapan terima kasih, tak lupa dia juga berterima kasih pada Azka dan tentu saja Zaki.
"Nanti, bisa ambil becak pakde, untuk mengangkut semua barang-barang mu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, setiap hari pekan pakde akan pulang ke kampung. Apa kamu siap, tidur disini sendirian? Karena satpam hanya akan memutar-mutar sebelum jam dua belas malam. Selebihnya, mereka akan berada di pos." jelas Zaki.
"Kamu gak takutkan?" bisik Aziz.
"Aku siap pakde, bahkan aku lebih takut jika tak ada tempat tinggal, itu lebih menakutkan dari jenis setan apapun." ungkap Alif.