NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23..Bayangan Diam

Jakarta kembali lengang di bawah langit malam yang menggantungkan bintang‑bintang tipis—seperti luka yang nyaris sembuh, tapi belum benar‑benar pulih. Di kamar beraksen marun dan krem, napas berat memenuhi udara. Aurora terbangun oleh gumaman lirih yang lolos dari bibir Tristan.

“Bu... Ibu… jangan tinggalkan aku. Aku diam, aku janji….”

Aurora mengusap mata, lalu menoleh. Di bawah selimut kelabu, Tristan berkeringat meski AC menyala. Wajahnya berkerut, tubuhnya bergetar pelan seperti bocah tersesat di hutan mimpi buruk.

Ia menyentuh bahunya. “Hei, kamu aman. Ini aku—Aurora. Bangun, Tristan. Ini cuma mimpi buruk.”

Tristan terjaga, napasnya memburu. Mata obsidiannya tampak basah, kehilangan bias keangkuhan. Ia menyapu kamar dengan pandangan bingung, sampai berhenti pada wajah Aurora.

“Aku membangunkanmu lagi?”

“Aku bangun karena kamu butuh teman terjaga,” jawab Aurora lembut. Ia menarik selimut hingga menutupi bahu Tristan, seolah could mendekap kegelisahannya.

Tristan menunduk, suara teredam rasa malu. “Dia selalu datang di mimpiku. Ibu. Aku berdiri di ujung koridor rumah sakit… menunggu pintu ICU terbuka, tapi….”

“Tapi kau tak bisa menolongnya?” Aurora melanjutkan.

Ia mengangguk. “Saat aku membeku di pintu itu, aku merasa gagal jadi anak.”

Aurora duduk bersila, menatapnya serius. “Dengar, kecil atau besar, tak seorang pun bisa menawar kematian. Kau bukan gagal, Tris. Kau hanya terlalu kecil untuk memanggul kepedihan yang sebesar itu.”

Tristan menelan ludah, menutup mata. “Kenapa rasa bersalah lebih kuat daripada waktu?”

“Karena rasa bersalah terus memeluk dirimu, sementara waktu hanya lewat.” Aurora menautkan jemari di atas selimut. “Maka izinkan seseorang memelukmu, menggantikan rasa itu.”

Ia membuka mata, menatap jemari mereka. “Seseorang… itu kamu?”

“Aku, kalau kau mau. Tapi bila suatu hari kau siap melepas ku, katakan. Aku tak mau menjadi rantai baru.”

Tristan menghela napas, seolah menimbang seluruh masa lalunya. “Kau bukan rantai—kau kunci. Yang mulai membuka pintu tempat aku mengubur anak kecil bernama Tristan.”

Aurora tersenyum tipis. “Kunci butuh putaran pelan. Kita putar sama‑sama.”

$$$$

Pagi menyeruak lewat tirai tipis, memantulkan warna oranye muda di dinding. Aroma gosong bercampur manis menyelinap ke kamar, seperti kopi yang cemburu pada caramel terbakar.

Aurora turun dengan langkah pelan. Pemandangan pertama: Tristan berdiri di antara gumpalan asap, memegang spatula terbalik seperti pedang gagal. Pemandangan kedua: wajan berisi sesuatu— setengah arang, setengah telur menjerit.

“Selamat datang di restoran baru kita,” seru Tristan begitu melihat Aurora. “Menunya: Omelet à la apokalips.”

Aurora menahan tawa, menutup hidung. “Kamu menyalakan kompor atau festival kembang api?”

“Keduanya. Tapi festivalnya lebih sukses.” Tristan menunjuk skrip resep di ponsel yang sudah penuh noda tepung. “Katanya, ‘flip cepat dan percaya diri.’ Ternyata aku cuma cepat… percaya dirinya nyusul belakangan.”

Aurora mengambil alih spatula, menyingkirkan korban pertama ke piring. “Investor akan lari kalau tahu CEO‑nya gagal membalik telur.”

“Justru ini due‑diligence,” balas Tristan sambil membuka jendela. “Kalau mereka tahan bau ini, saham kita aman.”

Mereka memasak ulang—Aurora memecah telur, Tristan menaburkan garam terlalu antusias hingga Aurora memukul pelan tangannya.

“Sedikit saja, Pak Garam,” tegurnya.

“Maaf. Aku pegang saham miliaran, tapi garam segini membuatku over‑excited.”

Omelet kedua lahir lebih cerah. Bentuknya masih abstrak, tapi setidaknya tidak menjerit. Mereka duduk di meja kecil sambil menyendok sarapan kebanggaan itu.

“Kau tahu,” kata Aurora, menahan senyum setelah gigitannya, “rasanya seperti memori masa kecil: setengah gosong, tapi hangat.”

Tristan mengunyah, berpura‑pikir. “Artinya kita sukses—membangkitkan nostalgia, bukan keracunan.”

Aurora menatapnya. “Dan ini pertama kalinya aku sarapan tanpa takut telat absen panti atau takut diusir dari klub malam.”

Tristan tersenyum. Ia menepuk perlahan punggung tangan Aurora di meja. “Pertama bagiku juga. Sarapan dengan seseorang yang berani bilang jujur soal rasa gosong.”

Aurora tertawa—suara cerah yang menempel di hati, lebih manis daripada omelet mana pun.---

Siang, Aurora memutari sisi belakang rumah. Pintu pagar kayu setengah terbuka; di baliknya, taman sunyi. Bangku kayu lapuk, rumput tinggi, dan kelompok iris ungu liar bergoyang tertiup angin.

Aurora tersenyum, merunduk masuk. Ia menyapu bangku, duduk, menutup mata sejenak.

“Menikmati pensiun?” tanya suara berat di belakang. Tristan datang membawa dua cangkir teh.

“Aku menemukan waktu yang hilang,” jawab Aurora, menepuk bangku agar ia duduk.

Tristan menyerahkan teh, lalu memandang sekeliling. “Ibu memanggil tempat ini Eden kecilnya. Katanya, sesibuk apa pun dunia, ia selalu menyelipkan puisi di antara bunga iris.”

Aurora menunduk, menyentuh kelopak ungu. “Kau punya puisi favorit darinya?”

Ia tersenyum getir. “Beliau menyukai Sapardi: ‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana….’ Sejak kecil, aku mencoba menghafalnya untuk mengejutkan beliau. Tapi saat kesempatan datang—beliau sudah terlalu lemah menjawab.”

Aurora menggenggam lengan Tristan. “Mungkin beliau mendengar, meski tanpa suara.”

Tristan menatap hujan cahaya lewat sela daun, lalu berbisik: “Kau mau mendengar aku mengucapkannya sekarang?”

Ia mengangguk.

Tristan memejam mata, suara dalam tapi bergetar: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana—dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api… yang menjadikannya abu….” Ia berhenti, tenggorokannya tercekat.

Aurora menutup matanya juga, melanjutkan bait akhir pelan: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan… yang menjadikannya tiada.”

Tristan membuka mata. Di irisnya, genangan tipis. Aurora menoleh, senyum lembut.

“Kau sudah menyelesaikan puisimu,” katanya.

Tristan membalas senyum, lalu, tanpa kata, menyandarkan dahinya pada pelipis Aurora. Mereka duduk begitu sesaat—diam, tapi dunia terasa riuh oleh detak jantung mereka.

$$$$

Di lantai atas, Clarissa menyingkap tirai renda. Jahitan bibirnya makin tegang melihat keakraban itu. Buku catatan tua di tangannya terbuka: denah rumah, lingkaran merah di taman, catatan: 17 September, 19.00 — Eden menjadi senjata.

Clarissa menutup buku, menyelipkannya di rak rahasia. “Permainan baru dimulai,” gumamnya.

$$$$

Sore, awan menggumpal abu‑abu. Aurora dan Tristan kembali ke dalam sebelum hujan turun.

“Jangan biarkan Eden mu hilang lagi,” kata Aurora di ambang pintu.

“Kau kini Eden‑nya,” bisik Tristan. “Selama kau di sini, aku pulang.”

Aurora terdiam—kata ‘pulang’ menghantam hatinya dengan hangat. “Kamu yakin tidak akan menyesal?”

Tristan meraih jemarinya. “Menyesal datang dari keputusan terburu‑buru. Kau bukan keputusan—kau perjalanan.”

Aurora memerah, menunduk. “Kalau begitu, aku berjanji berjalan perlahan, agar kita tak saling tertinggal.”

Langit menurunkan gerimis. Di teras, mereka berdiri berdua, menatap hujan bagai tirai baru yang menolak masa lalu masuk tanpa izin.

“Hujan,” gumam Tristan.

“Dan payung kita masih di dalam,” balas Aurora.

“Tak apa,” Tristan merentang tangan, menadah tetes pertama di kulit. “Kadang rindu perlu basah agar ingatan tetap hijau.”

Aurora tertawa kecil, ikut menadah hujan. “Dan cinta perlu basah agar tidak terbakar.”

Mereka tertawa bersama. Hujan menutup jarak, air di rambut mereka memantulkan cahaya senja pucat. Tak ada ciuman—hanya tawa. Namun di antara tawa itu, dua hati tahu, jarak dua senti sudah lenyap, diganti jarak satu detak.

Di ruang tamu senyap, Clarissa melangkah turun, menatap tetesan air di marmer dari sepatu Aurora. Ia mengerutkan bibir, lalu mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat: Aktifkan rencana Eden. Jangan biarkan akar liar tumbuh.

Di taman belakang, angin menggugurkan kelopak iris ungu—beberapa terbenam di lumpur, beberapa menempel di layu bangku tua. Dan di kedalaman rumah besar, cinta dan konspirasi terus tumbuh—saling berlomba untuk mekar lebih dulu.

.

.

.

Bersambung.

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!