“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Bu Syam berdiri di depan rumah Bu Farida dengan napas memburu, rambutnya agak berantakan tertiup angin malam. Sementara itu, tangan kirinya sudah menggenggam batu sebesar kepala bayi.
Lima belas menit sudah berlalu—tenggorokannya kering memanggil-manggil nama Ara dengan suara lantang. Namun, Ara tak kunjung keluar. Rumah tak seberapa luas itu justru terlihat—sunyi.
“Ara! Ayo keluar! Jangan cuma bisa sembunyi kayak tikus got!” Teriaknya sambil mengintip dari jendela rumah yang tertutup rapat. “Kalau kau masih nggak mau keluar, akan kupecahkan jendela rumah kalian dengan batu besar ini!”
Sunyi, tak ada jawaban dari dalam. Hanya kasak-kusuk tetangga yang mengintip dari balik pagar.
“Oooo, kau menantang ku ya? Oke, jangan salahkan aku ya!” Bu Syam mulai mengayunkan batu dalam genggamannya.
Harry yang awalnya diam, sontak maju dan mencengkram lengan sang ibu dengan panik.
“Bu! Jangan, tolong jangan! Kalau rusak, kita bisa disuruh ganti rugi,” bisiknya cepat, berharap tetangga tidak mendengar. “Ibu tau kan, aku sekarang nganggur, Bu. Mau ganti rugi pakai uang dari mana?”
“Ngapain ganti rugi? Biarin aja. Biar tau rasa! Gara-gara dia, kamu sekarang jadi pengangguran!” teriak Bu Syam. “Kalau kita hancurin jendelanya, dia bakalan keluar. Perempuan hina itu, pasti lagi merangkak di bawah kolong kasur!”
Harry memutar mata, “Bu, udah, jangan macem-macem. Di depan rumah ini ada CCTV.” Harry menunjuk cctv milik tetangga Ara. “Ibu mau viral kayak aku? Mau masuk berita—lalu berujung Ibu jadi pengangguran juga?”
Bu Syam mendadak terdiam. Matanya melirik ke arah di mana sebuah kamera CCTV menyala dengan lampu merah kecil berkedip-kedip. Untuk sesaat, batu di tangan kirinya terasa lebih berat daripada harga dirinya.
“Tapi, Harry ... kita nggak bisa tinggal diam!” gumamnya sambil akhirnya meletakkan batu itu di tanah dengan malas.
“Sudah, Ibu tenang dulu. Besok, aku yang bakal cari dia. Ara nggak akan bisa kemana-mana kok, nggak akan bisa lari terus!”
“Bener ya? Begitu ketemu, langsung seret bawa pulang. Biar Ibu kasih dia pelajaran!” ucap Bu Syam gusar.
“Iya, Bu, iyaaaaa.”
...****************...
Ruangan itu luas, dindingnya dilapisi panel kayu gelap yang berkilau, dengan lampu gantung kristal yang menyebar cahaya hangat ke seluruh penjuru. Aroma rempah halus dan obat-obatan samar tercium di udara. Di tengah ruangan, ranjang mewah dengan tiang ukiran klasik berdiri kokoh, menjadi tempat seorang pria tua terbaring.
Samuel Wiratama, sosok yang dulu dikenal sebagai pendiri kerajaan bisnis keluarga itu, kini hanya mampu terbaring di atas ranjang—atau sesekali duduk di atas kursi roda. Wajahnya pucat, tulangnya menonjol halus di balik kulit yang mengendur. Meski demikian, matanya masih menyala tajam, menyimpan kejayaan dan pengaruh yang tak juga padam.
Di samping ranjang, Davin berdiri tegap dengan pakaian serba hitam. Sedikit menunduk, menjaga pandangan.
“Davin .…” suara Samuel lirih, serak namun tetap bernada memerintah. “Katakan, bagaimana kinerja Elan di kantor akhir-akhir ini?”
Davin menatap kakek Elan itu dengan hormat, tangan di belakang punggung. “Tuan Muda Elan menjalankan tugasnya dengan konsisten dan disiplin, Tuan Samuel. Ia menyelesaikan target kuartal lebih cepat dari jadwal, bahkan berhasil membalikkan tren negatif pada divisi pemasaran anak perusahaan.”
Samuel mengangguk pelan. “Dan … wanita yang akhir-akhir ini dekat dengannya? Apa kau tau siapa?”
Davin tidak langsung menjawab. Ia menatap Samuel beberapa detik, memastikan maksud pertanyaan itu bukan sekadar ingin tau, tetapi juga menguji. “Wanita itu adalah Arawinda. Teman kampus yang kini menjadi Asisten pribadi Elan. Seorang perempuan cerdas dan cekatan. Ia tidak hanya menguasai ritme kerja Tuan Muda, tapi juga memiliki pengaruh positif terhadap kestabilan emosi dan produktivitas beliau.”
Samuel menyipitkan mata, nadanya makin rendah. “Ah, perempuan itu. Ku dengar dari Gaffar, perempuan itu sudah menikah … apa dia sudah bercerai?”
“Belum, tapi kemungkinan, akan bercerai,” Davin berusaha untuk tetap tenang.
Kening Samuel berkerut. “Apa Elan tidak bisa mencari wanita lain? Mendekati wanita yang sudah gagal dalam pernikahan, itu agak ....”
Davin tersenyum kecil. “Saya tau kekhawatiran yang Anda pikirkan, Tuan. Tapi jika kita hanya menilai dari masa lalu, bukankah itu tidak baik, Tuan? Bukannya kita tidak akan pernah bisa menebak plot twist seperti apa yang akan Tuhan berikan nantinya? Apa Anda tidak merasa dejavu? Elan sangat mirip dengan Anda, ‘kan?”
Mata Samuel membelalak kecil, nyaris tak kentara, tapi Davin tau, kalimat itu tepat sasaran.
“Jadi, kau percaya wanita itu pantas berdiri di samping cucuku?” tanya Samuel akhirnya.
Davin menunduk hormat, lalu menjawab tenang. “Saya tidak tau apakah dia pantas menurut standar keluarga Wiratama. Tapi sejauh ini, dia satu-satunya yang mampu membuat Tuan Muda Elan tersenyum lebih dari sepuluh detik. Bukankah, Anda sudah lama tak melihat senyuman dari cucu kesayangan Anda, Tuan?”
Suasana berubah hening sejenak. Hanya terdengar suara cairan infus yang menetes.
Samuel akhirnya menutup mata perlahan. “Kau benar, Davin. Lanjutkan pengamatanmu. Dan jika ada yang mengancam kestabilan keluarga ini ... kau tau apa yang harus kau lakukan.”
“Saya selalu tau, Tuan.” Davin membungkuk pelan. Tatapannya masih tajam, menghormati, namun tak sedikit pun tunduk secara utuh.
Samuel membuka mata kembali. Tatapannya menyapu pelan wajah Davin, seolah menelanjangi isi pikirannya yang terdalam.
“Davin…” panggilnya pelan, namun tegas. “Kapan kau akan bersedia memimpin D’Group?”
Davin sempat terdiam. Pertanyaan itu, seperti tak asing, tapi kali ini disampaikan dengan nada berbeda—lebih mendesak, lebih menekan.
Samuel melanjutkan, “Anak perusahaan itu bukan dibangun untuk sembarang orang. Aku mendirikannya khusus untukmu. Sejak aku menarikmu dari jurang kemiskinan, sejak aku menyekolahkanmu ke luar negeri, aku tak pernah berpikir kau akan selamanya menjadi pesuruh keluarga Wiratama. Kau tau kan, kau lebih dari itu.”
Davin tetap berdiri tenang. Tidak ada perubahan dalam ekspresinya. Tidak ada silau ambisi dalam matanya. Hanya ketenangan yang dingin, namun dalam.
“Tuan Samuel …,” ucap Davin perlahan, “Saya menghargai kepercayaan Tuan, lebih dari yang bisa saya ungkapkan. Tapi saya percaya, segala sesuatu—ada waktunya. D’Group masih bisa berjalan stabil dengan orang-orang pilihan Tuan. Jika saya maju terlalu cepat, saya hanya akan menjadi simbol tanpa arah.”
Samuel menyipitkan mata. “Kau takut?”
Davin menggeleng. “Tidak, Tuan. Saya hanya tidak ingin terlihat tergesa-gesa menggapai takdir yang belum siap saya kendalikan. Jika saya masuk ke medan dengan waktu yang salah, saya bisa menghancurkan lebih banyak hal dibanding membangunnya.”
Pria tua itu terdiam lama. Udara di ruangan seperti tertahan. Kemudian, dengan helaan napas berat, Samuel mengangguk kecil.
“Kau selalu tau cara berbicara yang tepat ya … seperti elang yang tak pernah buru-buru menukik sebelum mangsanya benar-benar terbuka.”
“Tentu , saya banyak belajar dari Anda, Tuan,” Davin tersenyum tipis.
Samuel menatapnya sekali lagi. “Jika kelak kau berubah pikiran, kau tau siapa yang harus kau hubungi kan?”
“Saya selalu tau, Tuan.” Davin membungkuk hormat, lalu melangkah mundur dengan tenang, meninggalkan pria tua itu dalam keheningan yang mengandung banyak harap.
...****************...
Malam itu, restoran hotel bintang empat yang terletak di pusat kota tampak cukup tenang. Pencahayaan yang hangat, aroma masakan barat berpadu dengan hidangan lokal, serta dentingan musik piano menciptakan suasana nyaman yang belum pernah Ara rasakan selama hidupnya.
Di salah satu sudut, Ara duduk bersama sang ibu dan adiknya, Iraz. Ketiganya tengah menikmati makan malam lezat—steak medium well untuk Iraz, sop buntut untuk Bu Farida, dan salmon panggang untuk Ara. Hidangan yang biasanya hanya jadi wacana di layar ponsel, kini tersaji nyata di hadapan mereka.
“Masha'Allah, Ara ... dari mana kamu dapet uang buat ajak kita ke tempat beginian? Ini pasti mahal banget, kan? Nanti uang mu habis lho,” tanya Bu Farida, setengah terkejut setengah khawatir.
Ara tersenyum, memotong potongan salmonnya kecil-kecil. “Tenang, Bu. Ini gratis lho. Ini ... dari kantor.”
“Kantor? Keren banget!” Sela Iraz sambil menatap kakaknya dengan penuh rasa kagum.
Ara mengangguk pelan. “Iya. Kakak semalam di kasih voucher untuk nginap di hotel ini. Pak Elan yang kasih. Katanya ... dia menang tender berkat masukan yang kakak berikan. Jadi, sebagai bentuk apresiasi—Pak Elan memberikan voucher plus jatah libur tiga hari. Pas bener, hari ini Kakak lagi butuh tempat tenang untuk istirahat dan menyusun kerjaan.”
“Pas banget ya,” sahut Iraz. “Apalagi, situasi lagi kacau gini. Mas Harry nggak ada nelfon, Kak?”
Ara menghela napas. “Ada, chat dan sms pun ada. Tapi, nggak kakak buka, sengaja.”
Iraz tersenyum hambar. “Kakak yang sabar ya. Sekarang, kakak fokus aja sama apa yang bisa bikin kakak bahagia. Kakak buktikan ke orang-orang yang udah menghina kakak selama ini—ini loh, aku yang kalian hina-hina, nyesel kalian kan.”
Ara terkekeh pelan. “Udah, kalau masalah itu, kita obrolin nanti. Sekarang, kita bawa tenang dulu, nyantai dulu. Jangan sampai nama orang-orang itu bikin moment kita yang sangat-sangat jarang ini, jadi rusak.”
Iraz mengangguk setuju. Begitupun Ibu Farida yang sedari tadi menyimak tanpa kata.
Bu Farida tampak masih tak percaya dengan apa yang sudah menimpa biduk rumah tangga sang putri. Namun ia memilih tidak membahasnya. Wajahnya menunjukkan sedikit rasa lega, apalagi melihat putrinya bisa tersenyum meski jelas—di dalam hatinya sedang berperang.
Iraz, yang paling polos di antara mereka, justru bersorak kecil, “Aku mau foto-foto lah kak, tempatnya keren banget ini. Harus foto-foto pokoknya!”
Ara tertawa pelan, memandangi adiknya, lalu menggenggam tangan ibunya. Dalam hatinya ia berbisik, setidaknya malam ini ... aku merasa aman.
...****************...
Harry terduduk di sisi ranjang, masih dengan pakaian yang berantakan. Matanya kosong menatap dinding, sementara tangannya meraba-raba seprai yang kini dingin.
Tak ada lagi aroma tubuh Ara yang sempat ia banding-bandingkan dengan wangi tubuh selingkuhannya. Tak ada lagi suara lembut yang biasanya memanggilnya “Mas...” dari balik pintu kamar mandi.
Dia berguling perlahan ke sisi tempat tidur milik Ara. Meringkuk, seperti anak kecil yang kehilangan selimut hangatnya. Jemarinya menggenggam ujung bantal yang dulu sering dipeluk Ara.
“Kamu di mana sih, Ar ... Kamu tega ninggalin aku begini ...?” gumamnya lirih. “Hanya perkara aku ketahuan nakal sekali, kamu langsung pergi ninggalin aku gitu aja? Namanya ujian pernikahan, Ar. Lemah banget mental mu ....”
Harry menghela napas berat. Sangat berat.
*
*
*
semoga cepat sembuh