"Om Bima! Apa yang Om lakukan padaku!"
Sambil mengernyitkan dahi dan langkah pelan mendekati Sang Gadis yang kini menjaga jarak waspada dan tatapan setajam silet menusuk netra tajam Bima.
"Seharusnya, Saya yang bertanya sama Kamu? Apa yang semalam Kamu lakukan dengan Alex?"
Bima, Pria yang masih menggunakan handuk sebatas lutut kini menunduk mendekati Laras, Perempuan yang seharusnya menjadi Calon Menantunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Dari Cukup
Senyum Bima tersungging kala Laras dengan langkah cepatnya menghampiri Mobil yang sudah Ia hapal, milik Bima, Suaminya.
"Mas, sudah lama sampe?" Laras meraih jemari tangan Bima Ia cium sebagai bentuk rasa hormat yang sering diajarkan Mama Lana.
Sebuah gerakan cepat dan sekedar menempel singkat namun selalu saja memberi perasaan hangat dalam dada dan memberikan rasa hangat yang menyentuh nurani seorang Bimasena Arya Saloka.
"Mas kenapa senyum-senyum begitu? Pasti ada maunya ya?" Laras menyipitkan matanya, menuduh dengan penuh selidik dalam senyum Bima yang masih mengembang.
Jangan lupakan lesung pipi milik Bima terukir indah, entah sejak kapan tanda lahir Suaminya itu membuat jantung Laras kebat kebit.
"Kamu lagi seneng banget? Gimana di Kampus? Ada kabar gembirakah?"
Bima mulai menjalankan kemudianya dengan perlahan, meninggalkan pelataran Kampus Laras.
"Seneng aja, Minggu depan Aku sidang, doain ya Om, lancar dan lulus!"
"Aamiin! Saya yakin, Kamu pasti bisa!"
"Makasi loh! Yakin banget sama Aku?"
"Kalo gak yakin, gak dinikahin Ras!"
"Ih, bukan itu! Oh ya, Om kenapa maksa banget jemput? Kangen?"
"Boleh kan?"
"Seriusan? Pasti ada apa-apa nih?"
Laras mencari kejujuran dalan sorot mata Bima yang tenang, disinggung begitu kini Laras menangkap gurat teduh namun penuh emosi tertahan yang coba Bima netralisir mungkin sebelum bertemu Laras.
"Mau makan apa?"
"Duh apa ya? Pengen junk food boleh gak sih?"
"Jangan makan itu ya, makan yang bener dulu. Nanti kalau udah makan baru boleh."
"Berasa banget deh kayak jalan sama Papa!"
"Iya, Saya jadi Papa Bima, Kamu Mama Laras, begitukah?"
"Kok geli ya dengernya? Kita Mama Papa? Lucu!"
"Ya nanti setelah punya yang lucu-lucu juga bakal pantes, Mama,"
"Ih terus aja diledek! Tapi ya bener sih! Sekarang aja Aku malah udah punya anak segede Alex! Kadang hidup kayak bersyanda!" Tawa Laras seketika berhenti, manakala tatapan mata Bima seakan menerawang, memikirkan sesuatu yang dapat indera penglihatan Laras tangkap.
"Ada yang lagi Om pikirin? Soal Alex?"
Helaan nafas Bima seiring anggukan membenarkan membuat Laras kini memilih mode serius dan siap membahas jika memang Bima mau buka suara.
"Ya, nanti Kita bicara. Tapi sebaiknya Kita makan siang dulu."
"Ok."
Dalam suasana tepi sawah di sebuah restoran yang menurut Laras berlokasi sedikit jauh sih dari Kampus bahkan sudah hampir di pinggir kita tempat Mereka tinggal.
Laras mencoba memahami, Bima mungkin butuh rehat sejenak. Berbeda dengan Laras yang langsung brang breng brong jika ada masalah maklum saja usia muda, tidak berlaku bagi Bima, seorang pria dewasa, matang dan lebih tepatnya seorang Bapak yang dihadapkan dalam masalah sang anak sudah membuat gaduh, menghamili perempuan.
Tenti saja pikiran dan persoalan yang Bima sedang hadapi tak sesederhana yang dibayangkan.
"Kenapa ikannya gak dimakan? Sini, Saya suapin!"
Bima mengambil ikan yang maish utuh, memilah duri dan menyisihkannya dipiring Laras saat sudah bersih hanya tinggal dagingnya saja, bebas duri.
"Kayak Mama ih, biasanya Mama tahu kalo lagi makan begini yang milah-milah durinya."
"Sekarang ada Saya. Kamu kalau mau makan ikan biar Saya yang buang durinya."
Manis.
Bukan soal rasa. Tapi perlakuan Bima. Act of Service pria dewasa, hot duda memang gak kaleng-kaleng.
"Kenapa Kamu ngeliatin Saya segitunya Ras?" Sadar betul Laras memperhatikan Bima dengan dalam.
"Saya tuh baperan loh! Kamu mau tanggung jawab kalau Saya Baper?"
"Seriusan, Om Baperan? Ih lucu amat sih! Sini mana yang Baper!"
Bima tersenyum. Tidak buruk menikah drngan Laras. Harinya yang selama ini flat dan membosankan dengan rutinitas perusahaan dan bekerja, berubah seratus delapan puluh derajat sejak menikahi Laras.
"Makan Ras, nanti keselek kalau ngomong mulu!"
"Iya Paduka Raja!"
"Berasa kayak film kolosal gak sih!"
"Cocok loh! Paduka Raja Bimasena Arya Saloka!"
"Hapal banget ya nama Suaminya?" Goda Bima, sudut alis matanya menukik dengan senyum tersungging.
"Sekarang siapa yang ngajak ngomong terus? Om aja belum makan dari tadi."
"Kamu nih seneng banget manggil Om sama Saya. Padahal udah bener panggil Mas,"
"Kayaknya bakal jadi panggilan kesayangan deh, Om Bima!"
"Jadi ceritanya udah Sayang nih?"
"Sayang gak ya?"
"Cinta juga boleh kok!"
"Astaga! Kenapa alay banget sih Om!"
Keduanya menikmati waktu makan siangnya dengan santai. Meski Laras tahu ada yang disembunyikan Bima dan mungkin sedang menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.
"Om, ada apa?" Kini keduanya sudah kembali ke Mansion Bima.
Setelah pulang, Bima pamit menuju ruang kerjanya. Laras memilih mandi dan bersih-bersih. Capek dari Kampus langsung diajak kepinggiran kita untuk makan siang.
Laras meletakkan secangkir kopi di hadapan Bima. Hawa panas dari cangkir kopi mengepul menyapa indera penciuman Bima yang kini menoleh menatap wajah manis Istri Kecilnya.
"Om," Laras terkejut, Bima memeluknya, melingkarkan tangan kekarnya dipinggang Laras. Membenamkan kepalanya di perut Laras.
"Sebentar Ras," Bima menghirup Aroma Vanilla dan sabun dari tubuh Laras. Seolah candu dan ampuh memberikan rasa tentram dikala hati dan otaknya yang sedang curat marut.
Gerakan reflek Laras membuat Bima mendongakkan kepalanya, Laras membela surai Bima, membuat si Pemilik bagai merasakan belaian lembut tapi nyaman dan seolah tak ingin selesai.
"Nyaman Sayang,"
Bima kembali menenggelamkan wajahnya, bahkan kali ini lebih dalam, menghirup sebanyak-banyaknya aroma ketenangan alami yang Laras salurkan.
"Cerita sama Aku Om, Aku disini."
Sebuah kata-kata sederhana namun begitu berarti bagi Bima.
Tak hanya kata, namun adanya Laras saat ini memang bagai obat dikala sakit, bagai air saat dahaga datang, dan oasis ditengah gurun yang gersang.
Perlahan Bima menarik pelan tubuh Laras. Kini dalam pangkuannya Laras duduk. Sejenak, waktu terasa berhenti, keduanya saling pandang, tak ada niat melepas sedetik pun tatapan yang dalam dan menuntut.
"Sepertinya Saya butuh ini,"
Tanpa melanjutkan kata-kata, kini bibir keduanya saling menempel.
Laras terdiam. Remang tubuhnya bisa dirasakan oleh Bima.
Bima tak melakukan lebih. Ciuman yang hanya sekedar menempel adalah bentuk penyaluran rasa belum syarat akan nafsu birahi. Namun tetap saja, dua insan yang sudah halal bahkan boleh-boleh saja melakukan lebih dari itu, kini saling tatap dan Laras tentu malu-malu.
"Itu yang pertama," Kembali Bima terkejut.
Bima tak mempersoalkan jika memang Laras sudah pernah melakukannya sebelumnya. Tapi kala mendengar Ia adalah yang pertama, kebahagiaan itu tak lepas memenuhi ruang dadanya yang semula sesak akan himpitan persoalan Alex.
"Dengan Alex?" Entah keberanian macam apa, Bima tergerak, hatinya penasaran, Laras dan Alex dua tahun berpacaran.
"Makanya, Bella yang hamil Om, bukan Aku," Laras membuang muka, bukan marah disinggung perihal cerita lamanya namun mengalihkan rona merah yang pasti sudah membuat kedua pipinya merona.
"Terima kasih,"
"Untuk,"
"Membuat Saya menjadi yang pertama."
tokoh utamanya karakternya tegas.
kebaikan bima dibalas dngn kehadiran laras yg msh fresh dan suci.
cinta bs dtng dngn sendirinya asalkan ketulusan sllu menyertainya.
lanjuut lagi thoorr..