NovelToon NovelToon
Legenda Kaisar Roh

Legenda Kaisar Roh

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Spiritual / Reinkarnasi / Roh Supernatural / Light Novel
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hinjeki No Yuri

Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.

Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesta Desa

Matahari sore memerah di ujung barat saat beberapa Lampu Minyak berwarna emas mulai dinyalakan di sepanjang jalan Desa Bayangan. Suara gamelan bambu dan petikan seruling menyatu dengan tawa riang para warga, memperkuat suasana hangat. Setelah berhari-hari bekerja keras bersama para pertapa dan penjaga roh, kini semua bisa menarik napas lega, itu dikarenakan Gerbang Utama telah tertutup rapat, sekat antara dunia manusia dan roh kembali terjaga.

Di depan gubuk Nenek Li, meja-meja kayu panjang disusun melintang. Nasi liwet hangat diletakkan berdampingan dengan semangkuk gulai daging rusa, tahu goreng renyah dan sayur kepel yang dimasak dalam kuah santan. Tak ketinggalan kue beras manisan dan anggur sari buah lokal, semua hasil kreasi tangan warga desa. Seorang ibu paruh baya membantu memasang lampion anyaman di atas tiang bambu, sementara anak-anak saling berlomba menggantung hiasan kertas berwarna ungu dan perak yang menjadi warna khas desa dan warna auranya Bai Xue.

“Jangan terlalu ke depan, Nak.” panggil Nenek Li pada seorang gadis kecil yang mencoba menata lentera dekat pintu gerbang tua. “Awas tangannya kena cat perak!” Ia tersenyum hangat, kemudian menepuk lengan Liang Feng yang baru tiba dari penyusunan segel terakhir. “Feng, kau lihat? Semua bersemangat menyambutmu.”

Liang Feng mengangguk, menyeka keringat di pelipis. “Mereka pantas untuk merayakannya. Berkat bantuan Bai Xue dan teman-teman, desa ini aman.” Bai Xue melangkah di sampingnya, ekornya bergoyang pelan, aura peraknya memantulkan kilauan lampion. “Hanya sedikit lagi… malam ini kita bisa ikut bersenang-senang.” desisnya di benak Liang Feng, mengundang senyum lembut di wajahnya.

Begitu gong kecil bertuah berdentang tiga kali, para penari muda melenggang ke tengah lapangan. Mereka mengenakan pakaian tenun sutra tipis bermotif naga dan rubah, dengan ikat kepala perak yang berkelip. Irama gamelan bambu mengalun perlahan, kemudian berbuah cepat saat penari memoleskan langkah. Ayunan tangan mereka meniru gerak sayap rubah dan gelombang naga, mengundang tepuk tangan riuh.

Dari tepian, seorang pemuda mengangkat seruling bambu dan meniup nada rendah dengan melodi yang dulu dipakai untuk memanggil Roh Kura-Kura. Suara seruling itu membelah udara, lalu berganti alunan gendang kecil sebagai tanda kebangkitan kegembiraan. Liang Feng mencengkeram tangan Bai Xue, matanya berbinar memandangi para penari. “Aku tak pernah melihat tarian desa seindah ini.” bisiknya.

Bai Xue menyipitkan mata peraknya. “Kau juga hebat, tanpa kau di lapangan pertempuran, desa ini tak akan selamat.” Ia kemudian menoleh, menyapa para penari dengan moncong sambil melompat kecil, dengan aksi spontan yang memancing tawa meriah dari kerumunan.

Setelah pertunjukan tari, warga desa berhimpun di lingkaran kecil. Seorang tetua desa bernama Pak Icheng, bangkit dari bangku bambunya. Suaranya mendadak berat oleh haru, “Saudara-saudara, malam ini kita berkumpul bukan semata untuk berpesta, melainkan untuk memperingati betapa rapuhnya keseimbangan dunia ini. Terima kasih kepada Liang Feng, murid Nenek Li dan penjaga roh Bai Xue, yang rela bertaruh nyawa demi keselamatan desa dan alam.”

Semua orang menunduk, dengan mata mereka semua berkaca. Liang Feng merunduk hormat, sambil merasa getir di dada. Ia teringat perjuangan di reruntuhan Kuil Naga, waktu kakinya terluka, hingga saat bayangan Neraka Roh terakhir terpecah oleh cahaya suci mereka. “Pak Icheng, ini semua berkat kerja sama kita.” ujarnya pelan. “Aku hanya satu dari banyak keberanian di desa ini.”

Seorang remaja bernama Wei Xin, mengangkat tombaknya setinggi kepala, berteriak, “Kami juga belajar banyak dari Kak Feng! Aku berlatih terus agar bisa mendampingi kalian di petualangan berikutnya!” Tawa riang menyambut semangatnya. Bai Xue mencondong dan menepuk kepala Wei Xin dengan moncongnya, membuatnya lompat sambil terkagum.

Saat malam semakin larut, lampion-lampion menggantung menerangi langit desa dengan cahaya lembut. Meja-meja penuh hidangan siap disantap. Liang Feng dan Bai Xue duduk di ujung meja khusus di tempat kehormatan yang telah ditandai kain perak halus. Mereka menuang semangkuk nasi liwet, Lalu mengaduknya sambil tersenyum.

“Lihat pedasnya gulai rusa ini, Bai Xue.” goda Liang Feng sambil menusuk potongan daging. “Percaya tidak, dulu aku tak suka daging rusa karena baunya?”

Bai Xue menatapnya, moncongnya bergeser seperti menahan tawa. “Tapi sekarang kau suka, karena kau makan bersama sahabat sejatimu.” Ia menyalurkan aura peraknya ke mangkuknya, membuat potongan tahu goreng tampak berkilau.

Liang Feng tertawa. “Benar. Makan bersama seperti ini… membuatku merasa keluarga besar desa ini adalah kekuatanku.” Ia lalu menenggakkan semangkuk gulai, perutnya penuh kelegaan, setelah sebelumnya menahan lapar selama pengepungan bawah tanah.

Di tepi meja, beberapa anak kecil mengerumuni Nenek Li. “Nenek Li, ceritakan lagi dongeng tentang roh hutan yang berubah menjadi rubah!” pinta seorang bocah. Nenek Li tersenyum lembut, menepuk kepala anak itu. “Baiklah… dulu kala, di Hutan Perak yang tak berbatas, hiduplah Bai Xue seorang roh rubah perak…”

Sambil menceritakan kisah kuno, Nenek Li sesekali menoleh ke Liang Feng dan Bai Xue yang duduk tak jauh. Ia memberi senyuman penuh arti, menyampaikan pujian tanpa kata-kata kepada guru dan murid yang telah membangun legenda baru.

Liang Feng bergumam, “Dengar itu, anak-anak desa sekarang mengenalmu sebagai pahlawan, Bai Xue.”

Bai Xue memejamkan mata bahagia, bulu peraknya memunculkan kilauan lembut. “Dan kau Feng, adalah pahlawan yang memberiku tentang arti kehidupan.”

Ketika jam menunjukkan hampir tengah malam, suasana mulai tenang. Liang Feng berdiri, menegakkan pedangnya yang telah ditancapkan di tanah. “Mohon izin, saudara-saudara. Aku ingin mengakhiri pesta ini dengan satu janji.”

Seluruh warga desa menoleh, menunggu dengan hening. Bai Xue berdiri di sampingnya, bulu ekornya bergetar.

Liang Feng menarik napas dalam-dalam, sembari memusatkan suara. “Dunia kita masih menyimpan banyak celah antara dua alam yaitu di puncak gunung dan di jantung Bumi Tua. Aku berjanji, bersama Bai Xue, kami akan menutup Gerbang Utama sepenuhnya, menjaga desa ini, hutan ini dan semua kehidupan di bawah langit.”

Teriakan semangat membahana, tepuk tangan bergemuruh. Seseorang menyalakan kembang api mini, mewarnai langit malam dengan kilauan emas dan merah muda.

Bai Xue mengepak kecil, menyalurkan aura peraknya ke tombak kembang api, menjadikannya percikan cahaya perak yang menyelimuti desa. Seketika, rona lampion dan kembang api berpadu, menciptakan suasana syahdu seperti lukisan dongeng.

Setelah pesta usai, Liang Feng dan Bai Xue kembali ke gubuk Nenek Li. Di dalam, lilin-lilin kecil masih menyala, menciptakan bayangan lembut di dinding jerami. Nenek Li menunggu dengan senyuman tipis. “Kalian memukau desa malam ini.” ujarnya dengan suara pelan. “Istirahatlah. Esok pagi, kita memulai persiapan pendakian ke Puncak Perak.”

Liang Feng menunduk hormat. “Terima kasih untuk segalanya, Nenek. Kami siap.”

Bai Xue merebah di pangkuan Liang Feng, menyalurkan aura peraknya untuk menenangkan keduanya setelah hari-hari yang panjang. Liang Feng meraih secangkir teh kamelia hangat dari tangan Nenek Li, menyeruputnya perlahan. “Sahabatku.” bisiknya pada rubah perak, “pesta malam ini… lebih indah dari apa pun.”

Bai Xue menyalurkan getaran hangat. “Dan perjalanan kita semakin indah, karena kita melakukannya bersama-sama.”

1
Oertapa jaman dulu
Menarik dan berbeda dg cerita lainya
Awal cukup menarik... 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!