Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan Sesuatu
Minggu lalu di rapat dewan guru, usulan untuk mengadakan belajar di luar kelas yang diajukan oleh Devy dengan alasan supaya anak-anak tidak bosan. Namun, itu hanya wacana karena keputusan ada di tanganku selaku pimpinan.
"Mbak Dita, bagaimana? Usulanku yang itu yang kita rencanakan outbond dan camping anak-anak ke daerah wisata itu, disetujui gak nih? Di sana banyak kegiatan, Mbak. Menanam, memetik teh, kelas berkebun, pokoknya bermain sambil belajar, deh!" ujar Devy memberikan usulan ke sekian kalinya.
"Idenya bagus, tapi lokasinya cukup jauh dari sini."
"Nah, itu. Konsepnya kan memang camping, Mbak. Ada perkemahan kecil-kecilan gitu. Api unggun, anak-anak pasti suka."
"Menginap??" tanyaku.
"Setuju! Boleh itu Mbak Dita, menginap biar gak bosan juga mereka," saut guru yang lain yang tiba-tiba datang, sepertinya dia salah mengerti ucapanku.
"Betul, seratus buat bu Dewi!" Devy senang kedatangan sekutunya.
"Tidak-tidak. Masalahnya, tanggung jawab kita besar. Di sini juga tidak ada guru pria yang bisa memberikan pengawasan lebih kepada anak-anak."
Semua diam dan mungkin membenarkan ucapanku karena kenyataannya memang tidak ada guru pria di sekolah ini. Semua guru wanita dan untuk mengurus lebih dari 30 anak, itu akan merepotkan.
"Kata siapa tidak ada guru pria?" Semua menoleh ke sumber suara.
"Saya ikut!"
Entah ingin menjadi pahlawan yang datang kesiangan atau bagaimana, kak Alan sudah berdiri bersedekap, menyamping, dan bersandar di sisi pintu masuk ruang guru yang sedang terbuka dan menimpali perbincangan kami.
Semua guru tersenyum cerah karena kedatangannya seolah membawa solusi atas permasalahan kami.
"Tenang, semua terfasilitas dan saya yang bertanggung jawab," ucapnya lagi. Kak Alan akhir-akhir ini sering mengurusi kegiatan kami di sekolah, seolah dia sedang gabut tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting.
Pulang ini, aku berjalan kaki. Sudah menjadi kebiasaanku beberapa waktu ini karena daripada menggunakan kendaraan yang akan memakan waktu karena kemacetan di jam-jam rawan kepadatan lalu lintas karena waktunya karyawan pulang dari kantornya.
Lebih baik berjalan kaki dan mempunyai lintasan jalan sendiri–trotoar–tanpa perlu berjubel di tengah jalan beraspal. Itu keunggulannya, tetapi polusi yang membuat badan kotor, kusam, dan gerah sepanjang jalan itulah efek negatifnya karena nekad berjalan sepanjang satu kilometer pagi dan petang setiap hari.
"Kenapa kak Alan memutuskan ikut? Bukannya ada pekerjaan lain yang lebih penting?" tanyaku. Kakak kelas, atasan, sekaligus iparku ini entah sejak kapan dia mulai suka berjalan kaki dan menemaniku pulang setiap hari. Katanya, arah pulangnya searah meski dia lebih jauh tempat tinggalnya daripada aku.
"Tidak ada pekerjaan, sudah resign."
Aku menoleh, kaget. "Resign bagaimana?"
Dia meneguk minuman energi dari kalengnya. "Ya, suamimu memintaku mengundurkan diri dari perusahaan. Panjang ceritanya, intinya aku yang sekarang pengangguran."
Aku menghentikan langkahku. Menatapnya, "Kak, kok bisa? Apa yang mas Elham perbuat?"
"Tidak tahu, tapi sepertinya dia cemburu padaku."
"Cemburu? Kenapa?"
"Karena hari-harimu selalu bertemu denganku, dia merasa kalah mungkin? Haha, tidak tahu."
"Ting!" pemotor membunyikan klakson. Dia nyaris menyerempetku jika saja aku tak menghindar karena terkejut, padahal sudah jelas aku berjalan di atas trotoar. Dia yang salah karena mengambil hak pejalan kaki.
"Akh!" kejutku sampai kaki tergelincir keluar batas trotoar. Untung saja, kak Alan menggapai tanganku, menarik tubuhku sehingga tidak sampai terduduk di atas aspal.
"Weh, anjing!" teriak kak Alan mengumpati si pengendara motor, tetapi memang dia pengendara yang tidak bertanggung jawab dan ugal-ugalan.
Kak Alan menggeserku untuk berpindah ke tempat yang lebih aman, sedangkan kini dia yang berjalan di tepian jalan langsung.
Aku masih berpikir keras. Kalau kak Alan resign, lalu siapa yang menaungi sekolah itu?
"Sampai jumpa, Mis Moy." Kak Alan melambaikan tangannya.
Kami berpisah di depan gedung apartemen, aku masuk dan kak Alan masih akan terus berjalan lurus karena lokasi tempat tinggalnya lebih jauh lagi.
Di apartemen yang selama ini menyebutnya rumah, seperti keseharianku yang lalu aku akan bekerja menjadi seorang istri di rumah ini dengan menyiapkan makanan dan membereskan rumah.
Pintu berbunyi, aku mengeryit, biasanya jam sekarang mas Elham belum pulang.
Aku melihatnya, dan menemukan seorang wanita yang datang.
"Maaf, siapa?"
"Oh, Anda istrinya pak Elham, benar?"
Aku mengangguk. "Ya, siapa kamu?"
"Aku Lizzy, sekretaris pribadi pak Elham."
Dia menyodorkan tangannya, mengajakku berkenalan.
"Dita," ujarku.
"Baik, Bu Dita. Maaf, saya hanya diperintah oleh pak Elham untuk mengambil berkas. Boleh saya masuk?"
"Berkas apa?"
"Report dan laptop beliau," ujar wanita berparas cantik dan tinggi semampai itu.
Aku tidak tahu dimana dia menyimpan benda itu. Mungkin di tempat kerjanya yang tidak pernah aku tahu apa isi di dalamnya? Aneh, hampir setahun tetapi aku seperti belum mengenal siapa suamiku sendiri.
"Boleh Anda yang mengambilkan atau saya ambil sendiri?"
"Dimana dia simpan?" tanyaku.
Wanita bernama Lizzy itu mengernyit keheranan. Bukankah seharusnya aku tidak bertanya kepadanua harusnya aku yang lebih mengerti dimana mas Elham meletakkan barang-barangnya.
Lizzy menghubungi seseorang yang kuduga itu suara mas Elham yang memberitahukan dimana letak barang yang dia minta. Lizzy masuk dan menggeledah ruang kerja bahkan tempat tidur kami sampai dia menemukan barang-barang yang dia cari atas panduan mas Elham yang bersuara di balik benda yang diapit antara bahu dan telinganya.
"Sudah, Bu. Saya permisi, mari," pamitnya kemudian.
Lalu, lemari-lemari yang terbuka itu masih ditinggalkan dalam keadaan terbuka. Ruang kerja mas Elham yang selama ini selalu terkunci dan aku tidak diizinkan masuk sama sekali, kali ini penasaran ingin tahu apa saja yang ada di dalam.
Ruangan yang dingin dan berisi rak-rak buku yang besar. Meja kayu yang kokoh dan kursi kerja yang nyaman.
Jadi ini yang menjadi kesukaannya berada di dalam ruangan ini bahkan berjam-jam tanpa rasa bosan.
Di meja yang berisi tumpukan berkas yang tersusun rapi. Di sinilah dia sering menghabisakan waktunya. Aku memberanikan diri. Menarik laci meja kerjanya, terdapat sebuah boks di antara alat tulis yang tergeletak di dalamnya. Boks berwarna biru berisi perhiasan. Liontin yang indah dan terlihat seperti barang mewah yang tidak membuatku heran.
Namun, di bawah boks itu terdapat sebuah foto seorang wanita berpose cantik yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, bukan saudara, bukan juga wanita yang tadi datang.
Siapa wanita ini?