Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TBC (Tekanan Bathin Celaka)
Makan siang telah selesai, kini suami dan akupun langsung pulang kerumah. Didalam mobil tidak ada suara sama sekali dari masing-masing mulut kami. Justru sepanjang jalan muka suami bermuka masam.
"Ayo cepat masuk rumah!" Tangan digelandang paksa untuk ikut.
"Sakit, Mas. Pelan-pelan."
"Jangan banyak omong kamu."
Didorong kuat tubuh ini sehingga jatuh tersungkur dilantai.
Plak, suara tamparan di pipi telah terdarat.
Baru beberapa langkah masuk rumah, tamparan sudah terlayang saja dilakukan oleh suamiku.
"Cuuuih," sebuah ludah air liur keluar.
Ku hapus bekas air liur yang tepat terdarat dimuka.
Kedua tangan terlingkar diperut seperti mau menantang dan tidak terima.
"Kenapa lagi, Mas? Apa salahku?' Sorot mata tajam ku yang penuh dendam.
"Dasar wanita bod*h."
"Kamu itu benar-benar perempuan munafik yang tak tahu diuntung. Papa mau ngasih harta tapi bisa-bisanya kamu menolaknya. Sadar diri kamu itu berasal dari mana, hah!" ucap suami sudah marah, dengan tangannya mulai mencengkram pipiku.
Hinaanya cukup membuat pukulan bathin. Tak bisa menahan genangan pelupuk mata. Kalau memang tidak sayang dari awal, kenapa selalu membuat tersiksa dan terhina. Cukup menolak perjodohan, biar dia tidak menyesal menikahi diriku yang tidak berguna dimatanya.
"Dasar orang miskin yang belagu. Nyesal nikah sama kau ini. Tidak ada untung-untungnya dan selalu apes. Malah sering ketiban sial!" Makinya tanpa memikirkan perasaanku.
"Mas, kenapa kau terus menyalahkan ku? Kenapa kamu terus saja menghajar tanpa ampun?" respon yang kian ditambah linangan airmata.
"Apa yang kamu bilang? Salah kamu apa, hah?
Rambut dijambak kuat kebelakang, sampai kepala mendongak menatap jelas wajahnya yang ada guratan emosi.
"Salah kamu adalah menjadi istriku yang goblok dan bodoh, yang sudah menolak harta pemberian papa," hinanya lagi
"Aku menolaknya karena memang belum hamil."
"Aaahh. Jangan banyak alasan. Kamu benar-benar tak tahu diuntung. Dasar perempuan bodoh."
Dengan tangannya yang kejam berhasil menampar pipi. Selain itu kaki jenjangnya terus saja menginjak tubuh mungil ini. Tak berhenti sampai situ saja, tubuh kini sudah diseret mengikuti langkahnya yang sudah berjalan cepat.
"Sini kamu."
"Ma, kamu mau apain diriku?"
"Diam kamu. Jangan banyak b*cot, atau mau ku tambah hajarannya?"
"Tidak ... tidak, Mas. Jangan sakiti aku terus."
"Haist, dasar wanita sial*n. Apa tidak bisa diam."
Plak, tamparan kembali melayang karena berusaha melepaskan diri dengan cara meronta-ronta.
"Akh, Mas. Lepaskan. Sakit!" Pintaku yang tak digubris.
Tanganku berpegangan kuat pada tangannya yang terus kejam menyeret tubuhku.
"Masuk kamu."
"Mas, jangan."
Terus saja menggeleng tidak setuju, namun masih kalah telak sama kekuatannya.
"Aku bilang masuk? Jangan pernah bermimpi untuk keluar sebelum aku suruh, mengerti!" paksanya.
"Jangan ... jangan, Mas. Jangan lakukan ini."
Brak, suara pintu dibanting kasar.
Terus berteriak minta ampunan dengan cara memukul-mukul pintu, tapi sepertinya suara ini tak akan direspon baik karena dia selalu dingin dan kejam.
Suami membawa ke kamar pribadi kami dan langsung menguncinya dari luar.
Diri ini hanya bisa sabar, tapi yang sebenarnya dalam hati sudah tidak kuat untuk menahan semua penderitaan. Bertekad membalas semua perlakuan suami, tapi apalah dayaku sekarang ini, karena tidak ingin mengecewakan papa mertua, untuk saat ini hanya bisa menahan dulu agar tidak membalas dendam cepat, namun hanya dapat memendamnya dalam hati.
Rasanya airmata sudah habis. Tidak pantas menangisi suami yang kejam. Hanya saja sedih sebab nasib semakin parah begini. Tidak habis pikir jika dia yang terhormat bisa melakukan kekejaman tanpa ampun.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Sampai kapan nasibku akan jadi begini? Apakah sampai aku mati, baru dia bisa puas? Semoga saja dengan hadirnya anak akan merubah sikapnya. Oh Tuhan, mudahkan segala urusanku dan kabulkan doa-doaku selama ini. Ubahlah semua sikap suamiku itu agar aku bisa merasakan kasih sayangnya, namun jika kami ditakdirkan untuk tidak bersama maka jauhkanlah darinya. Amiin!" guman hati yang berharap banyak.
Gimana bisa mempunyai anak jika suami saja jarang menyentuhku. Kami bisa tidur bareng hanya beberapa kali saja dan itupun dia sering dalam keadaan m*buk berat akibat minuman keras. Dia tidak pernah santai melakukan nafkah bathin seperti pasangan lain. Justru kasar dan kadang sampai ada tamparan dan mencekik. Jangankan memberikan sentuhan secara lembut, yang ada justru kasar, makian, bahkan parahnya tubuh memar akibat pukulannya.
Berharap banyak ada perubahan pada dirinya tapi sepertinya mustahil. Sifatnya yang kasar dan mudah emosian pasti akan susah hilang. Dari gosip yang beredar dia tumbuh bersama keluarga yang kejam dan diperlakukan tak manusiawai oleh keluarga ibu kandung. Semua berakhir setelah bertemu ayah biologis dan ternyata dari orang terpandang.
Ceklek, pintu telah dibuka.
Belum sempat berdiri. Lemas terduduk dilantai sambil kepala tergolek lemas diatas kasur.
'Nyonya, ini makanlah!" ujar asisten pribadi suami.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan aku baru diberikan makan oleh suami. Tak ku hiraukan suguhan yang diberikan Samsul.
Pikiran yang kacau membuat malas sekali untuk sekedar bangkit.
"Maafkan aku, Nyonya. Kali ini, tidak bisa membantu kamu keluar. Tuan memerintahkan supaya Nyonya harus didalam kamar terus, jika tidak patuh dan aku ketahuan telah membantu kamu, maka kita berdua pasti akan diakhirinya," Pemberitahuannya tak enak hati.
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."
"Semoga tuan amarahnya cepat reda, biar Nyonya bisa secepatnya bebas keluar." Menundukkan kepala.
"Hm, kamu boleh pergi."
"Terima kasih atas perngertiannya. Sekali lagi saya minta maaf."
Samsul adalah asisten pribadi suami yang kadang sering menginap dirumah kami, orangnya sungguh baik. Ketika suamiku menghajar, kadang dialah yang membantuku mengobati luka. Atas seringnya dia membantu, ada rasa malu juga terhadap dirinya.
Hari-hari biasa telah berlalu, dan akupun selalu lupa akan perlakuan kasar suami. Semua kulupakan begitu saja, seperti sedang tidak terjadi apa-apa dalam rumah tangga kami.
"Hhh, capek juga habis belanja baju!" Bersandar di sofa meredakan kelelahan.
Tidak ada satupun kekurangan dari barang mewah atau makan di restoran mahal sekalipun. Semua sempurna tapi hanya suami lah yang sedikit bermasalah.
Akhir-akhir ini ada gelagat aneh atas perilaku suami, yang sering diam-diam menelpon seseorang yang tak tahu itu siapa, tapi dari sikap orang yang ditelpon bukanlah orang dari kalangan pebisnis.
Semakin hari suami semakin intens menghubungi, yang sedikit kutangkap itu adalah suara seorang perempuan.
"Tumben kamu rapi banget, Mas! Mau ke mana?" Sapaku sambil sibuk membolak-balik majalah.
"Tidak perlu tahu. Ku kasih tahu pun bukan orang penting yang ingin berurusan denganmu."
Bau parfum begitu menyengat di hidung. Mungkin saja satu botol sudah dia semprotkan.
Takut jika memancing emosinya, maka hanya bisa diam melihat dia keluar dari kamar.