Anand dan Zoya, dua sepupu yang tumbuh bersama, tak pernah membayangkan bahwa hidup mereka akan berubah begitu drastis.
Anand dikhianati oleh kekasihnya—wanita yang selama ini ia cintai ternyata memilih menikah dengan ayahnya sendiri. Luka yang mendalam membuatnya menutup hati dan kehilangan arah.
Di sisi lain, Zoya harus menelan kenyataan pahit saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Pengkhianatan itu membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.
Dalam kehancuran yang sama, Anand memutuskan untuk menikahi Zoya.
Lantas apakah yang akan terjadi jika pernikahan tanpa cinta dilakukan? Akankah luka dapat disembuhkan dengan mereka menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
Seseorang berjalan dengan tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Langkahnya cepat, sepatu haknya memantul di lantai putih, napasnya terengah karena amarah yang belum sempat mereda.
“Sial…” gumamnya dengan suara bergetar. “Kenapa Anand bisa sama perempuan itu sih?!”
“Loh? Mama ngapain di sini?” suara Ranika terdengar dari belakang, membuat wanita itu menoleh cepat. “Dimana Anand?” tanya Ranika lagi, keningnya berkerut heran melihat wajah mamanya yang tampak gusar.
“Heh, Ranika…” suaranya meninggi, matanya membulat penuh emosi. “Kau tau apa yang barusan Mama lihat?”
“Mama habis lihat apa?” tanya Ranika penasaran.
“Aku baru aja lihat Mikha ngerayu Anand di ruangannya!” suaranya penuh nada jijik. “Pakai mau ciuman segala! Aku langsung buka pintunya!”
“Apa??” Ranika terkejut. “Mikha ada di sini? Terus… apa yang terjadi? Anand marah?”
“Mereka nggak lihat aku, aku langsung lari,” jawab sang ibu cepat, nadanya penuh amarah dan kebencian. “Aku nggak tau kenapa perempuan kampungan itu bisa ada di sini”
Ranika menarik napas panjang, mencoba mencerna perkataan itu. “Bukannya mereka udah putus?”
“Pokoknya, Anand harus jauh-jauh dari Mikha!” suaranya meninggi lagi, emosinya sulit dikendalikan. “Mikha itu perempuan nggak baik, nggak bener! Dasar penggoda!”
Ranika diam. Wajahnya masih menyimpan kebingungan yang tak terucap.
“Terus barang-barang Anand, Mama taruh di mana?” tanyanya akhirnya.
“Ah, udah aku titipin ke perawat tadi,” jawab ibunya sekenanya.
Ranika menatap wajah mamanya yang penuh amarah, lalu menarik napas berat. “Yaudah lah, Ma. Kita pulang aja. Nanti Anand pasti keluar kok.”
“Pulang?” sang ibu mendengus keras. “Nggak! Mama mau labrak perempuan itu! Biar dia tahu malu!”
“Ma…” Ranika menahan tangan ibunya yang hampir melangkah lagi. “Jangan lakuin hal yang kayak gitu, nanti Anand malah tambah marah.”
“Aku nggak peduli!” bentak sang ibu sambil menatap pintu ruangan Anand. Matanya tajam, penuh amarah dan rasa muak. “Tunggu aja! Begitu mereka keluar, Mama akan kasih pelajaran perempuan murahan itu!”
Ranika menatap mamanya dengan cemas. Ia tahu, jika benar Mikha dan Anand bertemu, itu pasti bukan tanpa alasan. Tapi dari cara mamanya berbicara, jelas amarah itu sudah membutakan segalanya.
Ia menunduk, berusaha menenangkan diri. Suara detak jarum jam di dinding terasa begitu keras di telinganya. Lalu pelan-pelan, ia berbisik lirih,
“Semoga Mama salah lihat…”
Namun ibunya hanya mendengus sinis. “Mama nggak pernah salah kalau soal perempuan kayak dia.”
Udara koridor rumah sakit terasa semakin menegang. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruangan itu. Tapi satu hal pasti—begitu pintu itu terbuka nanti, bukan hanya pertengkaran yang menunggu, melainkan badai yang bisa menghancurkan segalanya.
Mereka masih berdiri di koridor yang tak jauh dari ruangan Anand. Waktu seolah berjalan lambat, dan setiap detik membuat jantung Mona berdetak semakin cepat. Tangannya menggenggam tas erat-erat, matanya terus menatap pintu berwarna putih itu dengan wajah penuh curiga.
“Kenapa mereka lama sekali keluarnya sih?” gumam Mona, napasnya tersengal karena emosi yang mulai naik. “Cucuku diapain itu sama Mikha?”
“Ma, udahlah…” Ranika mencoba menenangkan. “Mungkin mereka lagi ngobrol.”
“Ngobrol?” Mona menatap tajam putrinya. “Ngobrol apaan sampai segitu lamanya? Kalau bukan perempuan itu yang mulai macam-macam—”
“Ma…” Ranika menghela napas, lelah mendengar tuduhan ibunya yang selalu sama.
Sebelum perdebatan makin panas, seorang perawat lewat membawa map medis di tangannya. Mona dengan cepat memanggilnya.
“Suster!” serunya.
Perawat itu menoleh dan tersenyum sopan. “Eh iya, Nek? Ada apa?”
“Kamu tahu siapa perempuan yang ada di dalam ruangan dokter Anand?” tanya Mona dengan nada penuh selidik.
Perawat itu tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum lagi. “Ah, itu pacarnya dokter Anand kan? Kak Mikha.”
Mona mengangkat alis, wajahnya langsung berubah masam. “Pacarnya?” gumamnya dengan nada sinis.
Perawat itu tampak tidak menyadari perubahan ekspresi Mona. “Iya, Nek. Neneknya Kak Mikha dirawat di sini, kondisinya sempat kritis. Sekarang dokter Anand yang mengarahkan para medis untuk cepat mencari pendonor jantung untuk nenek Kak Mikha.”
Mona dan Ranika saling berpandangan. Ada keheningan singkat sebelum perawat itu kembali berbicara, “Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Nek, Bu. Dokter Anand memanggil saya.”
“Iya, silakan. Terima kasih, Suster,” ucap Ranika sopan.
Begitu perawat pergi, Ranika menatap ibunya. “Cuma masalah nenek Mikha, Ma. Wajar kan kalau Anand menolongnya? Dia kan dokter. Mungkin mereka cuma ngobrol soal kesehatan neneknya Mikha.”
“Ngga ada! Itu pasti cuma akal-akalan Mikha aja supaya bisa ketemu Anand,” balas Mona cepat, nada suaranya tajam.
“Ma, Mama mikirnya kejauhan banget,” Ranika mulai kesal. “Aku nggak mau Anand marah-marah lagi cuma gara-gara hal kayak gini.”
“Kamu ini gimana sih jadi ibu?” bentak Mona tiba-tiba. “Emangnya kamu mau Anand menikah sama Mikha? Kita sama Mikha itu nggak setara, Ranika! Nggak sebanding!”
Ranika terdiam, tak sanggup membantah. Ia tahu, di mata ibunya, garis keturunan dan martabat keluarga selalu nomor satu.
Setelah beberapa detik hening, Mona tiba-tiba tersenyum tipis. Senyum yang membuat Ranika merasa tidak nyaman.
“Aku punya rencana bagus,” ucap Mona lirih tapi tegas. “Rencana buat misahin mereka.”
Ranika menoleh cepat. “Rencana apa, Ma?”
“Udah,” Mona menepuk bahunya pelan. “Ikutin aja kata Mama. Percaya aja… kali ini, Mama yang akan pastikan perempuan itu nggak bakal pernah deket-deket lagi sama Anand.”
Wajah Mona dingin, matanya memancarkan tekad yang berbahaya. Ranika menelan ludah, dadanya terasa sesak. Ia tahu ibunya kalau sudah bicara begitu, tak ada yang bisa menghentikannya. Dan kali ini, targetnya adalah Mikha.
***
Di sisi lain, pagi itu Zoya masih duduk termenung di depan meja kerjanya. Matanya tampak lelah, bahkan lingkar hitam di bawah mata belum sempat ia tutupi. USB itu… benda kecil yang kini membuatnya benar-benar kacau. Ia sudah membongkar seluruh kamarnya, tetap tidak menemukannya.
Pintu ruang kerja terbuka pelan. Raka muncul sambil membawa nampan berisi sarapan sederhana—roti panggang, segelas susu, dan sedikit buah.
“Aku tahu kamu belum sarapan,” ucapnya lembut. “Makan dulu, nanti perutnya sakit.”
Zoya menatap Raka dengan mata berkaca. “Kamu percaya… kalau aku yang ngilangin USB itu?” suaranya serak, nyaris bergetar.
Raka menggeleng pelan, menatapnya tanpa ragu. “Nggak. Aku tahu kamu nggak bakal gegabah.”
Zoya terisak. “Terus kenapa kamu diem aja? Seolah-olah aku yang ngerusak semuanya.”
Raka menarik napas panjang. Ia menunduk sebentar sebelum menjawab. “Aku cuma lagi banyak pikiran, Zoya.”
Sunyi sejenak. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Raka lalu menatap Zoya lagi, nada suaranya lebih tenang. “Kamu tenang aja. Aku bakal tetap cari USB-nya. Papa kamu memang marah, tapi aku udah ngomong ke dia.”
Zoya mengerjap. “Ngomong apa?”
Raka tersenyum samar. “Kita bisa buat lagi yang lebih bagus.”
Zoya memandangnya bingung. “Buat rancangan baru lagi? Siapa yang bilang?”
“Aku barusan dari ruangan papa kamu,” jawab Raka, suaranya ringan tapi meyakinkan. “Beliau setuju. Aku yakin, kita bisa buat yang lebih baik dari kemarin.”
Ucapan itu membuat dada Zoya hangat. Tanpa sadar, air matanya menetes lagi—tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena lega.
“Raka…” bisiknya.
Pria itu mengusap puncak kepala Zoya dengan lembut, lalu menariknya ke dalam pelukannya. “Udah, jangan nangis lagi. Kita bisa mulai dari awal.”
Tepat saat itu, suara langkah terdengar di pintu.
“Ehh, ada apa nih pagi-pagi udah mesra?” suara Jihan terdengar ringan, tapi senyum di wajahnya tampak kaku.
Raka langsung melepas pelukannya, wajahnya berubah datar seketika. “Aku balik ke ruangan dulu ya,” katanya sambil menatap Zoya. “Jangan lupa sarapan.”
Di depan Jihan, tanpa banyak pikir, Raka membungkuk sedikit dan mengecup kening serta pipi Zoya. Gerakan kecil yang sederhana—tapi cukup membuat Jihan terpaku.
Mata Jihan melebar, lalu perlahan senyum muncul di wajahnya. “Kalian memang pasangan yang cocok,” ujarnya datar, mencoba terdengar santai, tapi jemarinya yang meremas-remas tangan di bawah meja mengkhianati perasaannya.
Raka tidak menanggapi. Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan dua perempuan dengan perasaan yang sangat berbeda—Zoya yang masih terharu… dan Jihan yang diam-diam terbakar.
Virzha sebenarnya mencintai istrinya cuman krn dibawah pengaruh ibu nya Ranika jadi kayak gitu, Anand juga cintanya terlalu besar buat Mikha dan effort nya dia gak main main, sedangkan Mikha? neneknya meninggal gara-gara si Mona dan Ranika, dia nggak cinta tapi demi neneknya dia cuman pengen balas dendam🥺🥺
eps 1 udh menguras tenaga sekale