Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Belas
# 12
Terlukanya Shakila menggegerkan seluruh keraton Madangkara, termasuk Bentar dan Garnis. Prabu Wanapati memerintahkan seluruh tabib terbaik istana untuk bekerja mengobati gadis Hindustani itu. Tapi, dari sekian banyak tabib istana, mereka tidak mampu mengobatinya, sementara, keadaan Shakila benar – benar memprihatinkan. Prabu Wanapati meremas – remas jari jemari tangannya, dahinya berkerut. Hingga seorang pria tua datang tergopoh – gopoh.
“Daulat Gusti Prabu, Yang Mulia ... hamba Tabib Nawahutu, menghaturkan sembah,” katanya dengan suara gemetar.
“Sembahmu, saya terima. Paman adalah tabib terakhir di istana ini, kemampuanmu itu sudah terkenal seantero Madangkara. Kuharap paman membawa berita bagus tentang gadis itu,” kata Prabu Wanapati.
“Maaf, Gusti Prabu.... dia terkena racun yang sangat ganas, jika racun itu sudah dibersihkan dari dalam tubuhnya, maka, dia akan cepat sembuh,”
“Maksud paman, tanpa penawar racun itu, nyawa Shakila tidak tertolong lagi, begitu ?” kata Prabu Wanapati.
“Be... Be... Benar, Gusti Prabu,”
“Dengarlah, Paman... Saya berhutang nyawa pada gadis itu, jadi saya harap paman berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan nyawanya,”
“Am... ampun Gusti Prabu, seandainya hamba bisa mengetahui jenis kandungan dari racun tersebut, hamba pasti bisa menyembuhkannya. Tapi, itu butuh waktu yang cukup lama, dan hamba khawatir, Gusti Ayu Shakila tak mampu bertahan,”
Pada saat itulah Raden Bentar muncul, buru – buru memberi hormat, “Ampun Rayi Prabu, Hamba Bentar menghaturkan sembah,”
Suara itu mengejutkan Prabu Wanapati, buru–buru ia menoleh, “Oh, Sembahmu saya terima kakang Bentar, apakah Kakang berhasil membekuk orang itu ?”
“Ampun Rayi Prabu, hamba tidak berhasil menangkapnya. Akan tetapi, hamba mendapatkan penawar racun untuk Shakila,” kata Raden Bentar.
“Sudahlah kakang Bentar, yang penting kakang tidak kembali dengan tangan hampa. Apakah Kakang Bentar membawa penawar racun itu ?”
Bentar segera merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dan memberikannya pada Prabu Wanapati, “Daulat, Rayi Prabu. Inilah penawar itu, dan ini adalah petunjuk cara menggunakan penawar itu,”
“Baiklah. Paman Nawahutu, cepat segera kau kembali ke Rumah Walet Putih dan gunakan ini untuk mengobati Shakila,”
“Daulat, Gusti Prabu,” katanya sambil bergegas meninggalkan ruangan itu.
“Kakang Mas Raden Bentar, apakah kau tahu siapa penyusup itu dan apa maksudnya datang ke istana Madangkara ini di siang bolong,” tanya Prabu Wanapati.
“Saya tidak tahu apa tujuan dia datang ke Madangkara ini. Kami sempat bertarung beberapa jurus dan ilmunya memang hebat tapi, masih belum sempurna tapi, dia licik, kabur saat saya lengah. Yang saya tahu, dia ahli dalam menggunakan pisau juga racun,” jelas Bentar.
“Ah, mengapa akhir – akhir ini banyak sekali, orang yang menyusup ke Madangkara. Apa sebenarnya yang mereka inginkan,”
“Maaf Rayi Prabu, boleh saya mengemukakan pendapat,”
“Silahkan, Kakang Bentar,”
“Apakah Rayi Prabu masih ingat dengan kejadian Patih Kandara ?” tanya Bentar.
“Saya masih mengingatnya Kakang Mas Bentar, saya benar – benar menyesal karena harus memusuhi saudara sendiri bahkan membuat kakang terluka parah. Saya benar – benar menyesal... apakah peristiwa ini ada hubungannya ? Bukankah Kandara sudah dibunuh oleh Paman Soma ?”
“Benar, Rayi Prabu... Kandara sudah mati, akan tetapi, masih banyak para pengikutnya yang tersebar dimana – mana. Saya yakin mereka pastinya tidak akan tinggal diam dengan kematiannya. Bisa jadi mereka menyusun kekuatan lagi dan sewaktu – waktu bisa saja menyerang di saat kita lengah,” jelas Bentar.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan, kakang Mas Bentar ? Tidak mungkin kiranya saya memeriksa semua orang yang dicurigai sebagai orang Kuntala dan sembarangan menjatuhkan hukuman. Terlebih, mereka belum bertindak apa – apa,”
“Rayi Prabu, tenanglah. Kita harus memperketat penjagaan di lingkungan istana juga daerah – daerah kecil di sekitar Madangkara ini, waspada dengan segala gerakan yang mencurigakan. Orang – orang Kuntala itu, licik sekali. Jika Rayi Prabu mengijinkan, biarlah saya dan Kak Garnis menanganinya,” kata Bentar.
“Apa kakang sudah punya rencana untuk menyelesaikan urusan ini ?”
“Saya akan menyelidiki siapa orang – orang bertopeng itu, mudah – mudahan dari mereka saya akan mendapatkan petunjuk. Memang tidak mudah, butuh waktu yang cukup lama, untuk menyelidikinya. Maka dari itu, saya mohon Rayi sudi memberikan surat tugas kepada kami. Dengan itu, kami bisa bebas melakukan pemeriksaan dan penyelidikan di tempat–tempat tertentu, khususnya, daerah–daerah yang sebagian besar penduduknya adalah orang Kuntala,”
“Kalau begitu, baiklah Kakang Bentar, sekarang juga aku akan memberikan surat itu pada kalian berdua,”
“Terima kasih, Rayi Prabu,”
_____
Sementara itu di tempat lain, sesosok bayangan tengah berlari – lari kecil menyusuri jalanan berbatu, sesekali ia menengok ke belakang seakan memastikan bahwa tak ada seorang pun yang mengikutinya. Mengetahui tak ada seorang pun yang mengejarnya, barulah ia memperlambat langkah–langkahnya. Dia adalah pemuda bercodet yang baru saja melukai Shakila dan bentrok dengan Raden Bentar.
“Untung, orang Madangkara itu tidak mengejarku, Guru benar ilmu kanuragan dan Kesaktian mereka tidak bisa diremehkan. Nyaris saja aku jadi patung es jika ia tak menyelamatkanku ....” Baru saja hendak melanjutkan perjalanannya, ia melompat kaget saat seorang pria paruh baya dengan golok tergantung di punggung sudah berdiri di hadapannya.
“Gu... Guru,” seru pemuda itu.
Wajah pria itu tampak merah padam, sepasang matanya menatap tajam ke arah pemuda bercodet itu, “PALAWA.... kau ini bagaimana mengerjakan tugas ringan saja tidak becus malah melibatkan diri dengan orang Madangkara,” bentaknya.
“Ampun, Guru... saya memang telah berbuat kesalahan,”
“Sebenarnya maksudmu itu apa menyusup ke keraton ? Bukankah kau kutugaskan untuk menyampaikan surat pada Raden Permadi, tetapi, mengapa kau malah mengacaukan segalanya,”
“Guru Mahali, semula saya tidak ada niatan untuk masuk ke istana, tapi, bukankah Guru memerintahkan agar surat itu segera sampai kepada beliau, bagaimana pun caranya ?”
“Iya, benar... tapi, tidak harus menyusup ke keraton,”
“Tapi, Guru di istana Walet Putih Raden Permadi dan Shakila tidak ada di tempat. Terpaksa saya berkeliling untuk mencari keberadaan mereka. Siapa sangka mereka semua ada di istana menemani raja tolol itu,”
“Seharusnya kau menunggu sampai mereka kembali ke Istana Walet Putih, bukannya menyusup ke Istana bahkan bentrok dengan pihak istana. Bahkan nyawamu tadi bagai telur di ujung tanduk dan Shakila terluka akibat pisau beracunmu itu. Jika Juragan Gurindar mendengar kabar ini, mau ditaruh dimana mukaku, ha ? Mana ada muka lagi untuk bertemu dengan Raden Permadi. Kau benar – benar bodoh,” ujar orang itu yang ternyata adalah MAHALI SI GOLOK SETAN TERBANG.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang ?”tanya pemuda bercodet yang dipanggil PALAWA itu.
“Menghilang,” sahut Mahali.
“A... a... apa ma... ma... maksud Guru ? Apa.... apa... apakah Guru akan me... me... membunuhku ?” tanya Palawa sementara wajahnya tampak pucat pasi.
“Kalau aku membunuhmu ... aku tak punya lagi pewaris Ilmu GOLOK CAKRA ANGKARA. Kalaupun kau kubiarkan hidup dan berkeliaran di wilayah Madangkara dan sekitarnya, pihak istana akan mencarimu... terlebih kau telah melukai Shakila, teman sendiri. Tentunya kau akan dikejar banyak pihak... nah, satu – satunya jalan sekarang adalah ... kau mengasingkan diri dimana tiada orang yang mengenalmu. Bila saatnya tiba, tentu aku akan memanggilmu kembali,” kata Mahali.
“Guru... sekalipun saya telah berbuat kesalahan, janganlah Guru menghukumku sedemikian rupa. Saya sudah tidak punya siapa – siapa lagi selain Guru. Hidupku ada di tangan Guru sepenuhnya,” ujar Palawa.
Mahali menghela nafas panjang, “Palawa, muridku... kau sudah kuanggap sebagai anak kandung sendiri. Apa yang kulakukan padamu ini, semuanya demi kebaikanmu sendiri. Saranku, pergilah ke Bukit Sampalan di kaki Gunung Sawal. Selain tempat itu tenang dan berhawa sejuk, cocok dijadikan sebagai tempat latihan. Ilmumu masih jauh dari sempurna, jika kau berhasil menguasai ILMU GOLOK CAKRA ANGKARA, tak seorangpun bisa menandingimu. Dan jangan bertindak bodoh lagi, atau aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Palawa, aku yakin surat dari Juragan Gurindar itu masih ada di tanganmu, bukan ?”
“Iya, guru... masih ada,”
“Kemarikan. Biar aku sendiri yang akan memberikannya pada Permadi dan mempertanggung jawabkan perbuatan bodohmu itu. Seandainya saja kau tidak bodoh, tentulah aku tak perlu lagi berurusan dengan Permadi dan antek – anteknya. Harusnya, aku tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh Juragan Gurindar itu... tapi, aku melakukan itu semuanya demi untukmu, Palawa...” ujar Mahali, “Lebih baik aku menghabiskan masa tuaku di Hindustan daripada harus berurusan dengan orang - orang serakah macam Permadi dan Shakila,”
“Maafkan saya, guru,” kata Palawa sambil merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kotak dan memberikannya pada Mahali, “Saya berjanji untuk menuruti nasihat guru,”
“Nah, sekarang pergilah... nanti malam, aku akan kembali ke Madangkara untuk menemui Permadi,” kata Mahali.
“Baik, Guru.... saya mohon diri,”
“Pergilah, Palawa... kali ini seriuslah dalam belajar agar pengorbanan dan harapan orang tuamu tidak sia – sia,”
Palawa segera melesat meninggalkan Mahali sendirian di tempat itu. Sementara pandangan mata Mahali tidak lepas dari tubuh Palawa yang semakin lama semakin jauh. Teringatlah ia akan kejadian saat pertama kali bertemu Palawa dan mengangkatnya sebagai murid.
_____ bersambung _____