Erie, seorang gadis berusia 19 tahun yang mempunyai nasib malang, secara tiba-tiba dinikahkan oleh bibi angkatnya dengan pria bernama Elden. Tidak hanya bersikap dingin, pria tampan nan kaya raya itu juga terkesan misterius seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari Erie. Kira-kira bagaimana cara Erie bertahan di dalam pernikahannya? Apakah Erie bisa merebut hati sang suami ketika ia tahu ternyata ada wanita lain yang menempati posisi istimewa di dalam hidup suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei Shin Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Mockery
Lolos. Orang itu berhasil melarikan diri dari Dicken. Melalui alat komunikasi yang diberikan, Dicken menghubungi B31. "Aku tidak bisa menemukannya di sini. Bagaimana dengan di sana?"
Orang yang mempunyai nomor B31 itu menjawab. "Tidak ada Dicken. Sepertinya dia berhasil kabur."
"Baiklah, alihkan perhatian agar aku bisa keluar dari pintu depan."
"Baik."
B31 yang menyamar jadi koki itu mendekati dapur. Dengan sedikit gerakan ia berhasil membuat celah agar Dicken bisa keluar dari dapur. Alasan Dicken tidak keluar dari pintu masuknya tadi adalah karena ia sempat mendengar beberapa orang masuk dari sana untuk memasukkan beberapa bahan makanan. Jadi, Dicken memilih untuk menyelinap di meja dorong yang dibawa oleh B31 ke ruangan perjamuan. Ia masuk di bawah meja yang berlapis kain putih yang berisi makanan. Setelah dinilai cukup aman, ia segera meninggalkan tempat itu.
Dicken berjalan dengan normal ke tempat di mana Erie berada. Sambil sesekali memperhatikan sekelilingnya, Dicken memperhitungkan segala sesuatu. Ia juga memantau di mana keberadaan tiga orang suruhan Elden yang lain. Ia menghubungi mereka untuk waspada dan mencari orang yang ia curigai itu.
Dicken kembali ke meja Erie. Wajah penuh kebosanan begitu terlihat dari paras cantiknya. Perempuan itu memainkan ponselnya dengan terus menghembuskan napasnya dengan kasar.
Dicken menghampiri Erie. "Nyonya," ucapnya pelan.
Erie mendongakkan kepalanya untuk melihat Dicken. Senyuman lebar tiba-tiba muncul dari bibirnya. "Kau sudah kembali? Bagaimana?"
"Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak dapat menangkap orang itu. Tapi anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Saya akan mempertaruhkan nyawa saya untuk melindungi Anda."
"Baiklah. Aku percaya padamu. Apakah aku boleh ke kamar sekarang? Aku mulai bosan di sini."
Dicken melihat sekitarnya. Banyak dari para wanita yang ada di sana sudah meninggalkan ruangan itu. Tampaknya tidak akan ada masalah jika nyonyanya juga meninggalkan tempat itu. "Sepertinya tidak masalah Nyonya."
"Baguslah. Ayo, aku ingin sekali istirahat."
Dicken mengantarkan Erie menuju ke kamar perempuan itu. Walaupun hanya melihat denah kapal dengan sekilas, tapi semua letak ruangan di kapal itu sudah dipetakan dengan baik di kepala Dicken. Itu merupakan salah satu kekuatan yang ia miliki yang membuatnya bisa masuk ke dalam kelas A di organisasi.
Saat berada di depan pintu kamar bernomor 468, Erie menghentikan langkahnya. Ia melirik kamera pengawas yang berada di dinding lorong. Erie melambaikan tangannya pada Dicken untuk membuat pria itu menunduk. Kemudian ia berbicara, "Dicken, aku rasa kamera pengawas di sini sangat mencurigakan."
Dicken mengikuti arah pandangan Erie yang menatap ke arah kamera CCTV yang ada di dekat mereka.
"Tidak ada yang mencurigakan Nyonya. Saya sudah memastikan semuanya baik-baik saja," ujar Dicken menenangkan Erie.
"Kau yakin?"
"Iya Nyonya, saya sangat yakin," kata Dicken mantap.
"Baiklah."
Sebenarnya Dicken ingin menjelaskan bahwa Elden mengirimkan pengawal tambahan yang menyamar di kapal itu untuk melindungi Erie. Tapi ia tidak bisa melakukannya karena pesan dari Mario dulu yang mengatakan bahwa Erie tidak boleh mengetahui apapun yang Elden lakukan. Masalah CCTV itu, Dicken yakin bahwa itu juga merupakan perbuatan Elden.
Erie membuka pintu kamarnya. Ia masuk ke dalam kamar yang sangat mewah untuk dirinya. Tadi ia belum sempat melihat isi kamar itu dengan baik karena harus segera menghadiri acara pertemuan. Tapi sekarang Erie baru menyadari bahwa kamar itu sangat luas. Saking besarnya Erie sendiri tidak yakin bahwa itu adalah kamar untuk orang yang hanya memiliki kedudukan 468. Atau jika memang benar, ia tidak bisa membayangkan seberapa besar dan mewah kamar untuk tamu VIP dengan nomor satu.
Erie berjalan menuju ke tempat duduk yang ada di dekat jendela, menghadap ke laut. Ia bersantai menikmati pemandangan laut lepas. Kamar mewah itu dilengkapi dengan jendela kaca tinggi hingga langit-langit yang membuat tamu yang ada di sana bisa menikmati pemandangan dengan leluasa.
Merasa tidak nyaman karena diperhatikan oleh Dicken secara berlebihan, Erie berkata kepada laki-laki itu. "Dicken, apa kau tidak merasa lelah berdiri di situ?" kata Erie sambil memandangi matahari sore yang menyinari lautan. Ia tahu pengawal yang berdiri di belakangnya itu tetap merasa waspada meskipun mereka sudah berada di dalam kamar.
"Tidak, Nyonya," kata pria itu tanpa bergerak sedikit pun padahal ia sudah berada sekitar 15 menit di posisi itu.
"Duduklah, kau pasti merasa lelah menjagaku."
"Saya tidak pernah merasa lelah menjaga Anda, Nyonya."
"Kalau begitu duduklah."
"Tidak, Nyonya. Saya berdiri di sini saja."
"Kau ingin melanggar perintahku, Dicken?" ujar Erie dengan diikuti lirikan matanya yang menunjukkan ketidaksukaan perempuan itu atas jawaban Dicken.
"Baiklah jika itu perintah Anda," ucap Dicken pada akhirnya.
Ia berjalan menuju kursi di samping Erie. Walau sedikit tidak nyaman, namun karena ini adalah perintah dari Erie maka ia harus melakukannya.
Erie melihat Dicken yang duduk dengan kaku di kursi di sebelahnya. Astaga! Ini bukan pertama kali ia duduk di dekat Erie. Lantas untuk apa ekspresi aneh itu? Apakah karena mereka berada di kapal putih yang notabene untuk orang yang memiliki kedudukan? Tapi Erie bukanlah orang seperti itu. Ia tidak pernah memandang orang lain dari statusnya sebab ia sendiri berasal dari panti asuhan.
"Apa acara selanjutnya, Dicken?" tanya Erie untuk memecahkan keheningan yang tiba-tiba ada di ruangan itu.
"Jam enam sore ada jamuan makan malam, Nyonya. Untuk acara sehabis itu, belum ada pemberitahuan, Nyonya."
Erie menghela napas. Baru sehari ia berada di tempat ini tapi rasanya seperti ia sudah berada dalam waktu yang lama. "Aku sebenarnya tidak suka dengan acara membosankan seperti ini, Dicken."
Dicken sedikit terkejut. Ia mengira Erie datang ke kapal putih atas keinginannya sendiri karena beberapa hari yang lalu, Erie berinisiatif untuk membeli sendiri keperluannya untuk acara ini. "Lalu mengapa Anda datang ke tempat ini?"
Erie memandang Dicken sekilas lalu menghadapkan wajahnya ke jendela lagi. "Ini adalah bentuk perjanjianku dengan Elden."
"Perjanjian?" tanya pria itu sambil mengerutkan keningnya bingung.
"Ya. Dia berjanji akan mengembalikan warisan daddy kepadaku jika aku mengikuti perintahnya."
"Tuan Elden yang membuat perjanjian, Nyonya?"
Erie menggeleng. "Aku yang membuatnya. Awalnya aku hanya asal berucap, tapi tak kusangka ia menyetujui permintaanku."
"Bukan hanya Anda saja yang merasa seperti itu, Nyonya. Saya juga tak mengira Tuan dapat melakukan perjanjian yang bukan dirinya sendiri yang membuatnya."
"Elden tak pernah melakukannya?"
"Tidak pernah, Nyonya. Semua perjanjian yang Tuan setujui adalah perjanjian yang beliau buat. Selama saya mengikuti Tuan, saya tidak pernah melihat Tuan melakukan perjanjian seperti itu apalagi dengan seorang wanita."
Apakah benar? Rasanya Erie tak yakin. Elden terlihat seperti pria yang selalu dikelilingi oleh banyak wanita. Apakah satu dari sekian banyak wanita itu tidak ada yang membuat perjanjian dengan Elden.
"Apakah Jessie tak pernah melakukannya?" tanya Erie penasaran. Memikirkan tentang wanita-wanita di sekeliling Elden membuat Erie tak bisa menampikkan sosok Jessie.
"Setahu saya, Nona Jessie tidak pernah meminta apapun dari Tuan. Mungkin karena semua fasilitas mewah sudah Tuan berikan kepadanya tanpa Nona minta."
Erie tersenyum getir. Ternyata wanita itu tak banyak menuntut. Wajar saja Elden jatuh hati kepadanya. Lagi, rasa ketidaksukaan muncul kembali di hatinya saat nama Jessie dengan keunggulannya terdengar oleh Erie.
Dicken memperhatikan wajah Erie yang berubah menjadi murung. Ia melirik jam tangannya sebentar lalu melihat Erie lagi. "Nyonya, sepertinya saya harus pergi karena waktu perjamuan makan malam tinggal sebentar lagi. Saya permisi," katanya sembari berdiri dan memberi hormat. Dicken kemudian berjalan keluar dari kamar Erie. Ia memberikan privasi perempuan itu untuk menyiapkan diri.
Erie membuka lemarinya di mana pakaiannya sudah disusun ke sana oleh pelayan kapal itu. Ia mengambil sebuah shealth dress berwarna hitam, gaun yang menampilkan lekukan tubuhnya dengan sempurna. Lalu ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Erie memakai dressnya. Ia memadupadankan pakaiannya dengan heels berwarna putih. Ia melanjutkan kegiatannya untuk berhias. Sebelum datang ke kapal pesiar ini, Erie telah belajar beberapa teknik make up. Ia termasuk perempuan yang pandai karena baru lima hari belajar, ia sudah bisa mengaplikasikannya dengan tepat.
Erie sudah selesai berhias sekarang. Ia melihat jam digital dari ponselnya. Masih ada lima belas menit sebelum acara makan malam di mulai. Erie membuka sebuah koper kecil yang sejak tadi menjadi pertanyaan di dalam benaknya karena isinya tidak dikeluarkan oleh pelayan. Kira-kira apa yang dimasukkan oleh Marline di sana? Erie menyerahkan semua keperluannya kepada Marline tanpa memeriksanya terlebih dahulu.
Erie menarik ritsleting koper itu. Saat terbuka, alangkah terkejutnya Erie karena isi dalam koper itu adalah sejumlah novel yang masih baru. Ia mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Ternyata Marline memahami dengan sangat baik. Novel-novel itu bisa menjadi alatnya untuk membunuh rasa bosan selama di kapal itu.
Beberapa saat kemudian, sebuah bunyi bell terdengar nyaring dari dalam kamar Erie. Perempuan itu beranjak, mengambil tasnya lalu membuka pintu. Di sana ia melihat Dicken yang memakai pakaian formalnya. Tidak ada yang berbeda sebenarnya, hanya saja kali ini Dicken terlihat lebih rapi.
Tak memakan waktu yang lama bagi Erie dan Dicken untuk tiba di tempat perjamuan makan. Tempat itu adalah sebuah restoran mahal dan mewah dengan pelayanan yang sangat berkelas. Erie berjalan masuk ke sana sendirian sedangkan Dicken hanya bisa menyaksikan majikannya dari kejauhan.
"Aku tak menyangka Nona Jessie tidak hadir dalam acara tahun ini," ucap seorang wanita yang terlihat glamor dengan memamerkan pakaian bermereknya. Wanita lain yang ada di sebelahnya menanggapi wanita itu. "Benar, sejak enam tahun yang lalu, ia selalu hadir. Apakah ia sedang sakit?"
Erie menghampiri wanita-wanita bangsawan itu. Bukan untuk menanggapi mereka, tetapi untuk mengambil makanan yang ada di samping mereka.
"Kau, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya," kata wanita glamor itu kepada Erie.
"Saya baru mengikuti acara ini Nona. Nama saya Vallerie Leontyne dari keluarga Eduard," kata Erie memperkenalkan diri. Ia melakukannya hanya untuk sekedar basa-basi.
"Tunggu dulu, bukankah Tuan Eduard tak memiliki anak?" kata wanita itu.
"Apakah dia anak dari selingkuhan Tuan Eduard?" kata wanita lainnya.
"Jadi benar gosip yang beredar?"
"Mungkin. Hahahha." Mereka tertawa. Mereka menatap Erie dengan tatapan menghina.
Erie mencoba menenangkan hatinya. Ia tak mau emosinya tersulut hanya karena ucapan para wanita itu. "Tidak, Tuan Eduard tidak pernah selingkuh. Saya adalah putri angkatnya," jelas Erie kepada mereka.
"Kau anak angkatnya?" ucap wanita glamor itu. "Bagaimana bisa seorang anak angkat bisa berada di tempat ini?" sambungnya.
"Apakah kau memiliki darah bangsawan?" kata wanita di sebelahnya menimpali.
"Tidak mungkin. Dia pasti dipungut dari tempat yang hina. Aku benar-benar tidak sudi berada di dekatnya. Sebaiknya kita segera pergi." Mereka melihat penampilan Erie dari ujung kaki hingga ke atas kepala. Kemudian mereka meninggalkan Erie seorang diri.
"Kau tidak perlu mendengarkan mereka," bisik seorang pria kepada Erie.
Erie yang terkejut segera melirik ke arah pria itu. "Kak Stefan!" serunya dengan sedikit kencang.
Stefan tersentak mendengar suara Erie yang dekat dengan telinganya. "Astaga Tuan Putri! Suaramu masih saja keras seperti dulu."
"Apa?!" Erie terlihat tidak terima dengan perkataan Stefan.
"Apa ini? Kau terlihat jelek dengan muka cemberut seperti itu," ujar Stefan lalu ia mencubit pipi Erie.
"Kakak berhenti! Kau ini selalu saja mencubitku." Erie menghempaskan tangan Stefan.
"Hahaha... Kau lebih lucu jika sedang marah." Stefan mengacak-acak rambut Erie dengan gemas yang membuatnya mendapatkan protes dari sang pemilik rambut. "Jangan dengarkan mereka. Mereka hanya orang-orang kaya yang tidak memiliki teman. Setiap tahun mereka selalu melakukan hal itu. Menghina dan mempermalukan wanita lain yang derajatnya lebih rendah dari mereka," tutur Stefan menjelaskan.
Erie hanya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia memang bisa menahan emosinya jika mereka hanya menghinanya, tapi ia tidak bisa terima jika mereka menghina sang ayah.
"Aku tak menyangka kau adalah putri dari Tuan Eduard. Tapi mengapa kau yang hadir? Seingatku yang selalu mewakili keluarga Eduard adalah Nona Betty Eduard," tanya Stefan.
"Nona Betty Eduard adalah bibiku. Adik kandung dari daddy. Apakah Bibi Betty juga diperlakukan seperti aku?"
"Hmm, yeah. Wanita itu selalu dihina oleh mereka. Tapi bibimu itu tidak pernah melawan. Karena jika ada yang berani menentang mereka, mereka tidak segan-segan akan menghancurkan perusahaannya." Pria itu mengambil beberapa makanan ke dalam piring dan memberikannya pada Erie. "Kau tahu mengapa bibimu dan wanita yang berasal dari bangsawan rendah lainnya tetap datang ke sini walaupun mereka dihina?" tanyanya menyambung ucapannya.
Erie menggelengkan kepalanya. Pria itu berkata lagi. "Mereka yakin dengan menghadiri acara ini, para investor akan menginvestasikan sahamnya ke perusahaan mereka. Kau tahukan acara ini diliput oleh media massa dan disebarkan ke penjuru negara bahkan ke negara-negara lain. Jadi, nama perusahaan dan keluarga yang mereka wakilkan juga ikut terliput."
Erie baru mengerti sekarang manfaat dari acara ini. Tapi ia masih tak menyangka Bibi Betty bisa setegar itu menghadapi wanita-wanita tadi hanya untuk melindungi perusahaan Eduard Company.
"Kau juga harus bertahan di sini. Jika kau menyerah, maka perusahaan Tuan Eduard mungkin hanya tinggal nama."
Erie mengangguk. Stefan benar. Ia harus menguatkan dirinya demi perusahaan ayahnya.
Stefan menangkap sebuah panggilan dari arah dapur. Ia harus segera kembali jika ia tidak ingin mendapatkan amukan dari sana. "Emmm, sepertinya aku harus pergi. Ingat jangan menyerah! Daahhh Tuan Putriku," kata Stefan sambil kembali mengacak-acak rambut Erie sebelum ia meninggalkan perempuan itu.
Erie menggerutu atas perlakuan Stefan. Padahal tadi ia menghabiskan banyak waktu untuk menata rambutnya sekarang malah jadi berantakan. Tapi beberapa saat kemudian ia tersenyum. Atas semangat dari pria itu, untuk sejenak Erie bisa melupakan penghinaan yang dilakukan oleh para wanita tadi.
*XXXXX
Dukung novel ini dengan tinggalkan like, comment dan vote*...
Danke ♥️
By: Mei Shin Manalu**
katanya bucin
apa BAWA ya...
Kl diangkat ke layar lebar pasti penonton nya kyk semut antrinya
kereeen