NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

murid baru

Kelas dua belas IPA itu nyaris tak pernah benar-benar tenang. Suara kursi yang digeser sembarangan, tawa keras tanpa sebab, hingga penghapus papan tulis yang melayang dari satu meja ke meja lain seolah sudah menjadi rutinitas harian. Beberapa siswa saling berteriak, sebagian lain sibuk dengan ponsel, sementara Arsen justru bersandar malas di kursinya, topi seragam menutupi sebagian wajahnya, tertidur tanpa memperdulikan dunia.

“Woi, lempar aja sekalian itu bangku,” celetuk seseorang, disambut tawa ramai.

Kericuhan itu baru mereda ketika pintu kelas terbuka. Seorang guru perempuan melangkah masuk, diikuti oleh seorang gadis yang berdiri tepat di belakangnya. Suasana yang tadi gaduh mendadak melandai, bukan karena takut, melainkan karena rasa ingin tahu.

“Anak-anak, jangan ribut,” ucap sang guru tegas.

Di belakangnya, gadis itu berdiri dengan kepala tertunduk. Rambut hitamnya tergerai rapi, menutupi sebagian wajah, membuat tak satu pun siswa bisa menangkap ekspresinya dengan jelas.

“Hari ini kelas kalian kedatangan murid baru,” lanjut guru itu. “Silakan perkenalkan diri kamu, Nak.”

Gadis itu menarik napas pelan sebelum akhirnya mengangkat wajahnya sedikit. Suaranya lembut, hampir bergetar.

“P-perkenalkan, nama aku Maevira Celestine Aruna,” ucapnya hati-hati. “Kalian bisa panggil aku vira. Semoga… kita bisa berteman dengan baik.”

Beberapa murid langsung saling pandang. Nama itu terdengar asing, tapi wajahnya tenang, polos, dengan sorot mata yang sulit ditebak—membuat kelas kembali ramai oleh bisikan.

“Hai, Vira,” seru seorang cowok dari bangku tengah sambil berdiri setengah. “Kenalin, gue Rehan. Cowok paling ganteng di kelas ini.”

Tawa pecah. Namun belum sempat Rehan membusungkan dada, sebuah suara cewek menyela dengan nada mengejek, “Halah, muka kayak orang-orangan sawah aja dibangga-banggain.”

“Heh diem, Lo kali yang kaya boneka Annabelle."balas Rehan kesal, membuat kelas kembali ricuh.

“Sudah, diam!” guru itu menepuk meja. “Apa ada yang ingin bertanya?”

“Saya, Bu,” ucap seorang siswa berkacamata dari barisan depan.

“Kamu kenapa, Dzikri?”

Dzikri berdiri tegak. Nada bicaranya datar, tapi tajam. “Kenapa Vira bisa pindah ke kelas ini, Bu? Padahal kami sudah kelas dua belas. Apa benar rumor yang beredar kalau dia masuk ke sekolah menggunakan uang sogokan.”

Kelas mendadak hening. Beberapa siswa mengangguk setuju, bahkan ada yang berteriak kecil mendukung pertanyaan itu. Aruna menunduk kembali, jemarinya saling menggenggam erat.

Guru itu tampak terkejut, lalu melirik jam tangannya. “Stop. Ibu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang karena waktu sudah habis. Ibu akan kembali ke ruang guru.”

Tanpa memberi kesempatan lanjutan, guru itu langsung keluar kelas, meninggalkan sorakan kecil dan desas-desus yang semakin liar.

“Tuh kan,” gumam Ezra sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Berarti bener, dia nyogok sekolah ini biar dia bisa masuk kesini."

“Iyalah,” sambung Kairo. “Gue aja heran, ngapain pindah sekolah ini, dia juga udah kelas dua belas, apalagi mau ulangan semester 1."

“Udah diem,” ucap seseorang pelan. “Dia ngeliatin ke arah kita.”

Sementara itu, Aruna berdiri canggung di depan kelas, berusaha tersenyum meski matanya sempat berkilat singkat—sesuatu yang nyaris tak tertangkap oleh siapa pun.

Tak oleh siapa pun… kecuali Kaizen.

Dari bangkunya, Kaizen memperhatikan dengan perasaan tak nyaman. Sejak tadi, ia menyadari satu hal: tatapan Aruna beberapa kali tertuju pada Arsen yang masih tertidur pulas, seolah keberadaan cowok itu jauh lebih penting daripada seluruh isi kelas.

Dan entah kenapa, firasat Kaizen mengatakan—kehadiran gadis itu bukan sekadar pindahan biasa.

★★★

Pada waktu istirahat, Arsen masih duduk santai di bangkunya, satu tangan menyangga dagu, sementara Kaizen berdiri di dekat jendela, menatap halaman sekolah dengan ekspresi datar.

Belum sempat mereka beranjak, seorang gadis berhenti di depan bangku Arsen cs.

“H-hai,” sapanya pelan.

Mereka menoleh hampir bersamaan.

Gadis itu menunduk sedikit, jemarinya saling bertaut seolah gugup. Rambut panjangnya digerai rapi, wajahnya terlihat pucat, namun senyumnya berusaha manis.

“Kenalin, aku Vira,” ucapnya malu-malu.

Ezra menghela napas kecil. “Gue udah tau kali. Kan lo udah ngenalin diri tadi di depan kelas.”

Nada suaranya terdengar malas, seolah keberadaan Vira sedikit mengganggu waktu istirahatnya.

Vira terkekeh pelan, lalu memutar ujung rambutnya. “Aku kira kalian lupa.”

Arsen menatap wajah asing itu beberapa detik. Tatapannya datar, tanpa ekspresi. Vira yang menyadari hal itu justru tersipu, pipinya memerah samar. Namun Arsen hanya menggeleng kecil, lalu melirik ke arah Kaizen.

“Anak baru,” ucap Kaizen singkat, seolah sedang menjelaskan sesuatu yang sangat sederhana.

“Oh,” respon Arsen pendek.

Vira menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu memberanikan diri melanjutkan. “Ehm… kalian mau ke kantin, kan? Kalau aku ikut, boleh nggak? Aku masih nggak tau area sini.”

Leonhardt langsung menyahut dengan semangat. “Boleh dong.”

“Heh, Lele,” Kairo langsung mencubit pinggang Leonhardt. “Kenapa lo ngajakin orang asing masuk ke geng kita?”

Leonhardt meringis. “Kasian, anjir. Liat mukanya pucet gitu.”

Ezra mengangkat bahu. “Yaudah, ayo.”

Mereka pun berjalan menuju kantin. Di sepanjang jalan, Vira berjalan sedikit di belakang Arsen, sesekali melirik ke arahnya, lalu kembali menunduk ketika mata mereka hampir bertemu. Kaizen memperhatikan semua itu tanpa komentar, tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa mengganjal.

Begitu tiba di kantin, pandangan mereka langsung tertuju pada satu meja di sisi kanan. Elara, Nayomi, dan Keira terlihat tertawa bersama. Suasana di sekitar meja itu terasa hangat, penuh keakraban.

Kaizen dan Arsen refleks tersenyum kecil.

“Mereka udah duluan,” ucap Arsen.

Tanpa banyak bicara, mereka menghampiri meja tersebut. Elara yang pertama kali menyadari kedatangan mereka langsung menoleh, senyumnya mengembang.

Namun sebelum siapa pun sempat duduk, Vira tiba-tiba melangkah lebih cepat.

“KEI!”

Teriakannya cukup keras hingga menarik perhatian beberapa siswa di sekitar. Vira langsung memeluk Keira erat-erat, seolah mereka sudah lama tidak bertemu.

Ketujuh pasang mata menatap adegan itu dengan ekspresi yang hampir sama—bingung.

Keira tampak kaku. Senyumnya terangkat, tapi jelas terasa canggung. “V-Vira…”

“Kok lo bisa sekolah di sini?” tanya Keira gugup.

Vira melepaskan pelukan, lalu tersenyum cerah. “Bisa dong. Jadi kita bisa berangkat sama pulang bareng.”

Ia langsung duduk di sebelah Keira tanpa ragu, seolah posisi itu memang sudah disiapkan untuknya.

Nayomi menoleh ke Kaizen, berbisik pelan. “Kai, dia siapa?”

“Anak baru di kelas gue,” jawab Kaizen singkat.

“Oh…” Nayomi mengangguk pelan, lalu melirik Elara.

Elara sendiri sejak tadi menatap Vira dengan sorot mata yang sulit diartikan. Bukan marah, bukan cemburu, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

“El, lo kenapa liatin dia kayak gitu? Serem gue liatnya,” bisik Nayomi.

“Jangan mikirin aneh-aneh, Nay,” balas Elara pelan. “Gue cuma penasaran aja sama ni anak baru.”

Vira yang mendengar bisikan itu mendadak menoleh. “Kalian kok bisik-bisik sih? Nggak sopan tau, di depan banyak orang.”

Nayomi mengerjap, sedikit kaget dengan nada Vira yang tiba-tiba berubah.

“Eh, by the way,” lanjut Vira cepat, kembali memasang senyum. “Aku belum kenalan sama kalian.”

Ia berdiri sedikit, lalu meraih tangan Nayomi dan Elara bergantian. “Kenalin, aku Maevira Celestine Aruna. Panggil aja Vira.”

“Gue Elara,” jawab Elara singkat, membalas jabatan tangan itu.

“Gue Nayomi,” sambung Nayomi.

Ezra mendengus. “Lo juga belum kenalan sama kita, tapi udah sok akrab aja.”

Vira tertawa kecil. “Aku udah tau kok nama kalian.”

Kairo menyipitkan mata. “Kok bisa tau? Kita kan belum kenalan. Jangan-jangan lo mata-matain kita.”

“M-mana ada,” Vira cepat menggeleng. “Aku nanya ke temen sekelas.”

Nayomi menepuk meja. “Udah, gue laper. Jangan ngobrol terus.”

“Yaudah,” ucap Kaizen sambil berdiri. “Ayo pesen.”

Mereka mulai memesan makanan, tapi suasana meja itu tak lagi sama. Elara masih terdiam, Kaizen makin memperhatikan Vira, dan Arsen—tanpa sadar—menjadi pusat dari tatapan yang terlalu sering singgah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!