Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: PELARIAN SINGKAT KE SURGA
Senin pagi, Alara baru sampai kantor ketika ponselnya berdering. Nathan.
"Halo?"
"Pack your bag. Kita liburan."
Alara berhenti di tengah langkah. "Ha? Liburan? Sekarang? Tapi—"
"Emerald Heights sudah approved semua. Mr. Hartawan happy. Tim marketing bisa handle sisanya." Nathan terdengar sedang nyetir. "Kita deserve break. Dan aku... aku pengen waktu sama kamu. Tanpa kerjaan. Tanpa orang lain. Cuma kita berdua."
Sesuatu di dada Alara bergetar mendengar kata-kata itu.
"Kemana?"
"Bali. Flight jam 2 siang. Aku jemput kamu jam 12."
"Nathan, itu cuma tiga jam lagi—"
"Makanya cepetan pack. Casual clothes aja. Dan swimsuit." Alara bisa mendengar senyum di suara Nathan.
"Tapi aku belum izin ke—"
"Aku CEO. Aku yang ngasih izin. See you at 12." Nathan tutup telepon sebelum Alara bisa protes lagi.
Alara berdiri di lobby dengan ponsel di tangan, tersenyum lebar seperti orang gila. Rian yang kebetulan lewat langsung menghampiri dengan mata berbinar.
"Kenapa senyum-senyum sendiri? Ada kabar baik?"
"Nathan ajak aku liburan ke Bali. Mendadak. Flight siang ini."
"WHAT?!" Rian berteriak—bikin beberapa orang menoleh. "Girl! That's so romantic! Cepetan pulang pack! Jangan sampe telat!"
Alara tertawa—tertawa yang lepas, yang bahagia—lalu berbalik keluar kantor menuju apartemennya.
BANDARA SOEKARNO-HATTA, JAM 1 SIANG
Nathan sudah menunggu di boarding gate dengan kacamata hitam, kaos putih casual, dan jeans—penampilan yang sangat berbeda dari Nathan versi CEO. Ia terlihat... muda. Terlihat seperti pria biasa yang sedang liburan.
Begitu melihat Alara datang dengan koper kecil dan tas ransel, Nathan tersenyum lebar—senyum yang membuat jantung Alara melompat.
"Kamu dateng," katanya sambil berdiri.
"Kamu pikir aku akan lewatkan kesempatan liburan gratis?" Alara balas sambil tersenyum jahil.
Nathan tertawa—tawa yang jarang Alara dengar, tawa yang lepas dan genuine. Ia meraih tangan Alara—menggenggam dengan jari yang terjalin—lalu berjalan bersama menuju gate.
Di pesawat, Nathan sudah booking first class—kursi yang luas, private, dengan service yang excellent. Tapi yang paling Alara suka adalah—Nathan tidak lepas genggaman tangannya sejak duduk.
"Kamu pernah ke Bali?" tanya Nathan sambil bersandar di kursi, menatap Alara.
"Sekali. Waktu SMA. Trip sekolah. Tapi cuma sebentar dan nggak kemana-mana." Alara balas sambil tersenyum. "Kamu?"
"Sering. Tapi biasanya untuk business meeting atau resort conference. Nggak pernah... nggak pernah beneran enjoy Bali-nya."
"Lalu kali ini?"
Nathan tersenyum—senyum yang lembut. "Kali ini aku mau enjoy. Bareng kamu."
BALI, SEMINYAK BEACH, JAM 6 SORE
Mereka check in di villa private yang menghadap langsung ke pantai—villa dengan kolam renang infinity, kamar tidur besar dengan jendela kaca yang memandang samudra, dan privacy total.
"Nathan... ini terlalu mewah—" Alara terpesona melihat sekeliling.
"Nggak ada yang terlalu mewah buat kamu." Nathan memeluk Alara dari belakang—dagu bertumpu di bahu Alara. "Nikmatin aja."
Mereka berganti pakaian—Alara pakai dress pantai putih yang simple tapi cantik, Nathan pakai kemeja linen putih yang tidak dikancing penuh dengan celana pendek—lalu berjalan ke pantai yang hanya beberapa meter dari villa.
Matahari mulai terbenam—langit berubah jadi gradasi orange, pink, dan ungu yang memukau. Ombak bergulung pelan, pasir putih hangat di bawah kaki telanjang mereka.
Nathan menggenggam tangan Alara—berjalan menyusuri pantai dengan langkah santai. Tidak ada yang bicara—hanya menikmati suara ombak, angin laut yang sepoi-sepoi, dan kebersamaan yang... damai.
"Ini indah," bisik Alara sambil menatap sunset.
"Kamu lebih indah," balas Nathan—kalimat yang cheesy tapi membuat Alara tertawa.
"Kamu belajar gombal dari mana sih?"
Nathan tertawa. "Dari hati. Ternyata kalau lagi jatuh cinta, gombal keluar natural."
Alara berhenti berjalan—menatap Nathan dengan mata berbinar. "Kamu jatuh cinta sama aku?"
Nathan berbalik—menghadap Alara sepenuhnya. Tangannya menyentuh pipi Alara—lembut, penuh kasih sayang.
"Sangat," bisiknya. "Sangat jatuh cinta sampai aku nggak tahu dunia ada sebelum kamu."
Air mata Alara mulai berkumpul—tapi ia tersenyum. "Aku juga. Aku jatuh cinta sama kamu sampai... sampai aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu."
Nathan menciumnya—ciuman yang lembut, yang panjang, dengan latar matahari terbenam yang sempurna.
Ketika ciuman berakhir, Nathan berbisik, "Thank you."
"Untuk apa?"
"Untuk datang ke hidupku. Untuk nggak menyerah. Untuk... untuk cinta kamu."
Alara memeluk Nathan—memeluk erat sambil mendengar detak jantung Nathan yang berdetak cepat, sama seperti jantungnya.
MALAM HARI, VILLA
Mereka makan malam di villa—seafood BBQ yang diantarkan oleh chef private, dimakan di tepi kolam dengan lilin-lilin kecil yang menerangi. Suasana romantis yang sempurna.
Nathan menceritakan tentang masa kecilnya—tentang ibunya yang meninggal saat ia berusia 8 tahun, tentang bagaimana ayahnya jadi sangat strict setelahnya, tentang bagaimana ia membangun tembok di sekitar hatinya sejak kecil.
"Sampai kamu datang," katanya sambil menatap Alara. "Kamu... kamu bobol semua tembok itu. Perlahan. Tapi pasti."
Alara menggenggam tangan Nathan di atas meja. "Aku senang bisa bobol tembok itu."
Nathan tersenyum—lalu tiba-tiba berdiri. "Ayo berenang."
"Sekarang? Habis makan?"
"Yoi. Rebellious dikit nggak apa-apa." Nathan sudah melepas kemejanya—revealing tubuh yang atletis dengan abs yang... membuat Alara menelan ludah.
"Kamu... kamu nggak ajak aku ganti baju dulu?"
"Nggak usah. Pakai dress aja juga bisa." Nathan sudah nyemplung ke kolam—dengan celana pendek yang masih ia pakai.
Alara tertawa—tertawa yang lepas—lalu ikut nyemplung dengan dress pantai yang langsung basah kuyup.
Mereka bermain air seperti anak kecil—Nathan menyipratkan air ke Alara, Alara balas dengan cipratan yang lebih besar, mereka tertawa, berkejar-kejaran di kolam, sampai akhirnya Nathan menangkap Alara—memeluknya dari belakang di tengah kolam.
"Got you," bisiknya di telinga Alara.
Alara berbalik dalam pelukan Nathan—menghadapnya. Tubuh mereka menempel—basah, dingin dari air kolam tapi hangat dari kedekatan.
"Nathan," bisik Alara.
"Hm?"
"Aku bahagia. Sangat bahagia."
Nathan menatapnya—menatap dengan tatapan yang sangat lembut, yang sangat tulus.
"Aku juga. Untuk pertama kalinya sejak lama... aku benar-benar bahagia."
Mereka berciuman lagi—ciuman yang panjang, yang intens, di tengah kolam dengan cahaya lilin dan bintang sebagai saksi.
Dan malam itu berakhir dengan mereka tidur berpelukan—tidak ada yang terjadi lebih jauh karena Nathan menghormati Alara, tapi pelukan itu cukup. Cukup untuk membuat Alara merasa dicintai, dihargai, dan... di rumah.