NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Jam di dinding sudah menunjuk setengah dua belas malam, namun Leora masih terjaga. Bukan karena rindu, apalagi menunggu ia hanya khawatir. Leonard tidak pulang, dan lebih dari itu, tidak memberi kabar. Padahal siang tadi di kantor, ia masih sempat bicara singkat. Seharusnya kalau memang pulang larut Leonard setidaknya mengatakannya.

Ketika jarum jam tepat menyentuh pukul dua belas, lorong rumah itu sunyi.

Tiba-tiba terdengar langkah berat yang tidak beraturan.

Leora menoleh.

Beberapa detik kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tidak teratur. Seperti ragu, seperti hampir jatuh.

Saat pintu dibuka, Leonard berdiri sempoyongan di ambang pintu. Jasnya kusut, dasinya longgar dan miring, kemeja bagian atas terbuka satu kancing. Matanya merah, napasnya berbau alkohol.

Leora refleks mengerutkan kening.

“Kau mabuk… dasar,” gumamnya, lebih ke diri sendiri.

Belum sempat ia melangkah mundur, tubuh Leonard limbung ke depan. Leora terkejut saat pria itu jatuh ke dalam dekapannya. Berat. Hangat. Tidak seimbang.

“Leonard!”

Namun Leonard hanya bergumam, suaranya tidak jelas, kata-katanya melantur ke mana-mana. Leora menghela napas, lalu dengan susah payah membantu menyeretnya masuk ke dalam kamar. Leonard jatuh terduduk di tepi ranjang, lalu merebahkan diri begitu saja. Sepatunya masih terpasang.

Leora mengambil segelas air dan kembali.

“Minum,” katanya tegas, menyodorkan gelas itu.

Leonard perlahan duduk kembali, menerima gelas tersebut. Tatapannya kosong, namun tiba-tiba ia mengangkat tangan, menyibakkan rambut Leora yang terurai dari bahunya gerakannya kikuk, tidak fokus, jelas karena pengaruh alkohol.

Leora terkejut.

“Jangan..”

Ia mendorong bahu Leonard dengan refleks. Leonard kehilangan keseimbangan dan jatuh telentang ke kasur. Leora berdiri kaku beberapa detik, dadanya naik turun.

Saat itu, matanya tanpa sengaja menangkap bekas samar di leher Leonard tidak mencolok, tapi cukup jelas.

Langkah Leora mendekat pelan.

Nada suaranya turun, dingin.

“…Kau habis ciuman?”

Leonard menoleh setengah sadar. Senyum tipis aneh muncul di wajahnya.

“Kau… marah?” gumamnya, tidak menjawab pertanyaan.

Leora mengepalkan tangan.

“Aku tanya baik-baik, Leonard.”

Leonard menutup mata sesaat, lalu tertawa kecil tanpa arti.

“Kalau aku bilang iya… kau mau apa?”

Sunyi.

Leora menatapnya lama, lalu berkata pelan namun tegas,

“Aku tidak peduli kau dengan siapa. Tapi jangan pulang ke rumah ini tanpa kabar, apalagi dalam keadaan seperti ini.”

“Apa benar…?” suara Leonard rendah, serak, napasnya berat. “Kau bahkan tidak peduli… aku pulang seperti ini?”

“Leonard, lepaskan,” Leora berusaha menarik tangannya, jantungnya berdegup kencang.

Namun Leonard malah mendekat, terlalu dekat. Tatapannya tidak fokus, tapi ada sesuatu yang liar dan tidak seperti dirinya.

“Kau tahu,” gumamnya kacau, “kau selalu terlihat… terlalu tenang. Seolah aku tidak berarti apa-apa.”

Leora mendorong dada Leonard, kali ini lebih keras.

“Ini bukan dirimu. Kau mabuk.”

Leonard terdiam sesaat, lalu tertawa kecil pahit.

“Atau mungkin… ini justru diriku yang sebenarnya.”

Leonard yang benar-benar kehilangan kendali.

Ia menarik Leora sehingga leora terjatuh ke kasur, lalu Leonard berganti posisi diatas leora.

Leonard mencengkram kuat leher Leora sehingga leora sesak nafas. Lalu tanpa aba-aba Leonard langsung mencium mulut Leora. Leora langsung memberontak dan memukul dada Leonard.

Tapi, Leonard tetap melanjutkan aksinya. Tanpa memikirkan perasaan Leora.

"Arghhh" desah Leora.

Lalu Leonard yang masih tidak merasa bersalah ia justru dengan perlahan membuka kancing baju Leora dan ia pun menelusuri bagian dada Leora.

"Hmmf,Leonard..." suara leora serak.

Saat itulah Leora meneteskan air mata. Tapi Leonard tidak berhenti disitu saja.

"Husttt" Saut Leonard sambil membungkam mulut Leora yang sedang menangis.

"Aku suamimu Leora" ucap Leonard

Aksi itu terus lanjut hingga entah kapan selesainya.

......................

Pagi itu masih terlalu muda. Cahaya matahari baru menyelinap tipis di sela tirai kamar, membuat ruangan bernuansa abu-abu keemasan.

Leonard terbangun lebih dulu.

Ia terbaring telentang, hanya mengenakan celana panjang tanpa atasan. Dada bidangnya naik turun perlahan, napasnya masih berat seolah sisa malam tadi belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyadarkan diri.

Pandangan Leonard kemudian beralih ke sisi ranjang.

Leora masih tertidur lelap, wajahnya setenang pagi itu sendiri. Selimut menutupi tubuhnya rapi, hanya helai rambutnya yang terurai di bantal.

Leonard mengangkat satu tangannya, menutup matanya sambil mengusap wajahnya pelan.

“Sial… apa yang aku lakukan tadi malam…”

Ada rasa sesak di dadanya. Bukan penyesalan yang keras, tapi lebih ke kebingungan yang menyesakkan. Ia terbiasa memegang kendali atas perusahaan, atas orang lain, atas hidupnya sendiri. Tapi pagi ini, ada sesuatu yang terasa… melenceng.

Ia kembali melirik Leora sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan.

Leonard meraih ponselnya yang tergeletak di samping ranjang. Jarinya bergerak cepat membuka kontak yang paling ia percaya.

Leonard:

Hari ini aku datang terlambat.

Tolong urus surat izin Leora satu hari.

Bilang dia tidak enak badan.

Tak lama kemudian, pesan terkirim. Leonard menghela napas panjang, seolah sedikit beban terangkat dari pundaknya.

Saat ia bangkit dari kasur, matanya menangkap pemandangan di lantai, pakaian Leora berserakan, termasuk pakaian kecilnya. Leonard terdiam sesaat. Tangannya refleks meraih satu per satu, gerakannya hati-hati, nyaris terlalu hati-hati.

Tanpa banyak pikiran, ia melipatnya seadanya lalu menaruh semuanya ke dalam keranjang baju kotor.

Leonard kemudian melangkah ke kamar mandi.

Suara air mengalir memenuhi ruangan, menenggelamkan pikirannya yang masih kacau.

Air dingin membasahi wajah Leonard. Ia berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap pantulan dirinya sendiri dengan rahang mengeras.

Matanya berhenti di satu titik.

Bekas samar di lehernya.

Leonard memejamkan mata sejenak. Napasku tertahan.

Bagaimana aku bisa sejauh ini kehilangan kendali…

Padahal semua batasan itu—aturan itu—dibuat oleh dirinya sendiri.

Kilasan malam tadi kembali menyeruak. Lampu klub yang redup. Musik keras. Alkohol. Wanita penghibur yang seharusnya hanya menjadi distraksi kosong. Semua bercampur menjadi satu rasa muak yang tiba-tiba memuncak.

“Brengsek…” gumamnya pelan.

Emosi yang tertahan meledak. Leonard menghantam cermin di depannya tanpa pikir panjang.

Suara pecahan menggema.

Ia tersentak. Tangannya perih, dan ia segera menariknya kembali. Air dari pancuran terus mengalir, menutupi apa pun yang terjadi barusan. Leonard mengutuk pelan, mematikan shower dengan gerakan kasar.

Pada saat yang hampir bersamaan

Leora terbangun.

Tangannya meraba sisi ranjang. Kosong.

Jantungnya berdegup tidak karuan. Ia menunduk, menyadari kondisinya sendiri, lalu buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Dengan langkah cepat, ia berdiri dan mengetuk pintu kamar mandi.

“Leonard… kau baik-baik saja?” suaranya terdengar cemas.

Tak ada jawaban.

Leora menelan ludah. Ia segera meraih pakaian, mengenakannya seadanya. Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka.

Leonard keluar dengan handuk di punggungnya, dada terbuka, wajahnya dingin—terlalu dingin.

Leora refleks memalingkan wajah.

“Kau sudah melihatnya,” suara Leonard datar, nyaris tanpa emosi.

Leora mengernyit. “Suara apa tadi?”

“Kaca kamar mandi pecah,” jawabnya singkat. “Nanti biar diurus.”

Namun pandangan Leora terhenti di tangan Leonard. Ada luka yang jelas terlihat.

“Tanganmu”

Leora refleks mengulurkan tangan, tapi Leonard langsung menepisnya.

“Tidak perlu.”

Nada itu membuat Leora membeku. Leonard melewatinya begitu saja dan masuk ke ruang ganti.

Beberapa saat kemudian, Leonard sudah berpakaian rapi. Leora berdiri di dekat jendela, membuka tirai. Cahaya pagi mulai masuk, menerangi wajahnya yang tenang namun penuh pertanyaan.

Leonard menatapnya dari belakang.

“Maafkan aku.”

Leora terdiam. Tangannya masih memegang tirai, jemarinya menegang.

Leonard menarik napas. “Soal tadi malam… aku ke klub. Aku minum terlalu banyak. Aku kehilangan kendali.”

Leora akhirnya menoleh. Tatapannya lurus, tidak menghakimi—hanya jujur.

“Lalu kenapa di lehermu ada bekas ciuman?”

Leonard terdiam cukup lama. Rahangnya mengeras sebelum akhirnya ia berkata pelan, “Itu tidak berarti apa-apa. Dan seharusnya tidak pernah terjadi.”

Hening menyelimuti kamar.

“Kau tidak usah berangkat hari ini,” lanjut Leonard. “Istirahat saja. Adriel sudah mengurus semuanya.”

Leora mengangguk kecil.

Beberapa detik berlalu sebelum ia berkata lirih, “Kau belum pernah memberiku nomor ponselmu. Aku hanya… khawatir.”

Leonard menatapnya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Ia menyerahkannya tanpa kata.

Leora menerimanya, mencatat nomor itu dengan tenang.

Untuk pertama kalinya, ada jarak yang tidak diisi oleh kebisuan melainkan oleh sesuatu yang belum mereka pahami sepenuhnya.

Leonard merapikan jasnya, memasukkan kedua lengannya dengan gerakan tegas. Wibawanya kembali terpasang rapi, seolah pagi yang kacau barusan tak pernah terjadi.

“Seharusnya kau tidak perlu menungguku seperti kemarin,” ucapnya sambil mengancingkan jas.

Leora menoleh pelan. Nada suaranya tidak tinggi, tapi jelas menyimpan sesuatu.

“Kau tidak bicara apa pun. Tidak ada pesan. Tidak ada kata izin.”

Leonard berhenti sejenak. Tatapannya mengeras.

“Kenapa aku harus izin padamu?”

Kalimat itu jatuh seperti pisau tumpul. Leora tak membalas. Ia hanya menunduk, jemarinya saling menggenggam, menelan semua kata yang sempat naik ke tenggorokannya.

Leonard menyadari perubahan itu. Rahangnya menegang, lalu ia menghela napas pelan.

“Sudahlah,” katanya lebih rendah. “Lupakan.”

Belum sempat suasana benar-benar reda, ponsel Leora berdering. Nama Ayah terpampang di layar.

Leora tersentak kecil. “Ayah…”

Ia mengangkat telepon.

“Halo, Yah—”

Suara Damian terdengar tegas namun hangat.

“Leora, kamu ke sini hari ini. Ayah ingin bertemu.”

Leora ragu. “Ayah, aku—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Leonard sudah meraih ponsel itu dengan gerakan cepat namun tidak kasar.

“Halo, Ayah,” ucap Leonard tenang. “Sudah lama tidak mendengar suara Ayah. Apa Ayah sehat?”

Ada jeda di seberang sana, lalu Damian tertawa kecil.

“Leonard? Aku baik. Bagaimana kamu?”

“Baik,” jawab Leonard singkat. “Soal Leora… hari ini dia tidak bisa ke sana, Ayah. Aku berniat mengajaknya keluar sebentar. Apakah bisa kita jadwalkan lain kali?”

Damian terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Kalau begitu tidak apa-apa. Kesehatan dan kebersamaan lebih penting. Sampaikan ke Leora, Ayah menunggunya lain hari.”

“Tentu, Ayah. Terima kasih atas pengertiannya.”

Telepon ditutup.

Leonard mengembalikan ponsel itu ke tangan Leora. Tatapannya kini serius, sedikit menekan.

“Kenapa kau tidak bilang ingin ke kantor ayahmu?” tanyanya. “Jaraknya jauh. Bukan perjalanan singkat.”

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!