Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh
Pagi-pagi sekali, gedung pusat PT Digdaya Guna sudah seperti medan perang. Jenara melangkah masuk dengan langkah tegas, meskipun perutnya terasa melilit karena mual pagi hari. Alexa sudah menunggunya di depan lift dengan wajah sepucat kertas.
"Bu Jenara! Kita dalam situasi darurat!" lapor Alexa cepat mengikuti langkah Jenara yang lebar.
"Jelaskan," perintah Jenara singkat.
"Terjadi kebocoran data besar-besaran di server pusat. Detail proyek investasi kita di Ibu Kota Nusantara dan data rahasia klien-klien besar kita tersebar di forum gelap sejak dua jam lalu. Nilai saham perusahaan terjun bebas, nyaris menyentuh titik terendah bulan ini dalam waktu singkat!"
Jenara berhenti mendadak, membuat Alexa hampir menabrak punggungnya. Mata Jenara berkilat tajam. "Bagaimana dengan sistem keamanan berlapis kita? Siapa yang berjaga di ruang server semalam?"
"Tim IT sedang melakukan trace, Bu. Mereka belum menemukan titik masuknya," jawab Alexa gemetar.
"Bawa aku ke ruang kontrol IT. Sekarang!"
Setelah berhasil mengisolasi kebocoran dan memerintahkan tim humas untuk merilis pernyataan guna menstabilkan harga saham, Jenara kembali ke ruangannya. Begitu pintu tertutup, ia langsung jatuh terduduk di sofa.
Napasnya memburu. Ia memegangi perutnya yang melilit hebat. "Sedikit lagi... tolong bertahan sedikit lagi," gumamnya pada janin yang dikandungnya.
Ia mengambil ponselnya, bermaksud memanggil Alexa untuk membawakannya air hangat, namun sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Bagaimana sarapan pagi ini, Jenara? Kamu menyukainya? Ini baru permulaan dan anggap saja hadiah kecil dariku. Tentu akan lebih banyak kejutan yang aku berikan. Selamat menikmati, Jenara Sayang.
Jenara merasakan darahnya mendidih. Ia segera mencoba menelepon nomor tersebut, namun sudah tidak aktif. Baru kali ini dia mendapatkan pesan seperti itu, seperti sebuah pertanda bawa perang akan dimulai .
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Gilbert.
[Pesan Teks, Gilbert-My Husband]
Kudengar sahammu anjlok. Kau butuh bantuanku segara? Suamimu ini sangat bisa diandalkan, aku bisa datang dalam waktu singkat.
Jenara membalas dengan jemari gemetar.
[Pesan Teks, Jenara Sanjaya]
Tidak perlu. Aku sudah mengatasinya. Urus saja pekerjaanmu.
Gilbert tidak membalas lagi, namun Jenara tahu pria itu pasti sedang menertawakannya atau justru sedang merencanakan sesuatu yang lain. Rasa pusing melanda, kali ini Jenara butuh istirahat yang cukup lama.
Di sebuah ruangan gelap di sudut kota Jakarta yang terpencil, seorang pria duduk di depan barisan monitor yang masih menampilkan grafik penurunan saham PT Digdaya Guna dan beberapa cabang lainnya. Cahaya biru dari layar menyinari wajahnya yang tersembunyi di balik tudung jaket.
Ia menyesap minumannya sambil tersenyum puas. Di samping laptopnya, tergeletak sebuah foto Jenara Sanjaya yang telah disilang dengan tinta merah.
"Kau pikir kau sudah menang hanya karena sedikit kesuksesan, Jenara?" gumam pria itu dengan suara serak yang penuh kebencian.
Ia tertawa kecil, suara tawa yang dingin dan menyeramkan.
"Ketenangan, kedamaian dan kesuksesan... semuanya hanya akan membuat kehancuranmu menjadi jauh lebih spektakuler. Tak seorang pun akan bisa melindungimu dari apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Tunggu saja setiap kejutan fantastis yang tak akan pernah terlupakan. Semua ini pantas untuk membayar kesombongan dan keangkuhanmu, Jenara."
Pria itu mengetikkan perintah baru di keyboard-nya. Sebuah target baru telah ditetapkan. Kali ini, bukan hanya data perusahaan yang ia incar, melainkan sesuatu yang jauh lebih pribadi bagi Jenara.
"Selamat menikmati, Jenara. Besok, mimpi burukmu yang sebenarnya baru akan dimulai."
...***********...
Di lantai eksekutif, Gilbert berdiri menghadap jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan pencakar langit Jakarta. Tatapannya tertuju pada gedung PT Digdaya Guna di seberang sana, begitu jauh namun menjulang tinggi di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya. Sejak kembali dari Bali, Gilbert seolah menarik diri dari pergaulan sosialnya yang biasa. Ia menjadi lebih serius, dingin, dan secara terang-terangan menjaga jarak dengan klien atau rekanan wanita mana pun.
Althaf masuk tanpa mengetuk, ia sudah cukup lama mengenal Gilbert untuk tahu bahwa sahabatnya itu sedang dalam kondisi pikiran yang kalut.
"Apakah semua akan baik-baik saja, Gilbert?" tanya Althaf, berdiri di sampingnya.
Gilbert tidak bergeming. "Maksudmu?"
"Kau tak membalas lagi pesan Jenara? Mereka mendapatkan serangan fajar tadi pagi. Berita kebocoran data Digdaya sudah sampai ke lantai bursa. Penurunan saham mereka mulai menyeret beberapa anak perusahaan, bahkan mempengaruhi beberapa rekanan kerja kita," Althaf mencoba memancing reaksi Gilbert. "Kau yakin tidak ingin membantunya? Aliansi kita dengan Digdaya cukup besar."
Gilbert menghela napas, jemarinya mengetuk pinggiran meja. "Aku tak ingin menghancurkan harga dirinya yang setinggi langit, Althaf. Kau tahu Jenara seperti apa. Aku ingin dia yang meminta bantuanku sendiri jika memang dia membutuhkannya. Aku tak ingin menghancurkan citranya di depan karyawannya sebagai pemimpin yang tidak berdaya jika pernikahan rahasia kita ini sampai tercium hanya karena aku terlalu ikut campur."
Althaf mendesah, ia tahu betapa keras kepalanya Gilbert dan Jenara. Keduanya memiliki gengsi yang bisa menembus awan. "Setidaknya amati kondisinya. Kebocoran rahasia perusahaan bukan masalah kecil, Gil. Jika sistemnya lumpuh, Jenara akan hancur."
Gilbert tersenyum tipis, penuh kepercayaan diri yang sombong. "Jika nanti perusahaannya hancur, aku masih sanggup membiayai hidup mewahnya. Sepuluh keturunan pun hartaku tidak akan habis. Biarkan dia belajar bahwa dia tidak bisa berdiri sendirian selamanya."
"Ya... ya... aku tahu kau kaya raya," sahut Althaf kesal. "Tapi jangan menyesal, Gilbert. Ingat kondisi Jenara. Dia tengah hamil muda. Stres tingkat tinggi bisa berakibat fatal pada kehamilannya. Jangan sampai egomu membunuh calon anakmu sendiri."
Kata-kata Althaf barusan seperti tamparan bagi Gilbert. Althaf berlalu pergi, meninggalkan Gilbert yang mulai merasa gelisah. Gilbert mengambil ponselnya yang telah berubah gambar wallpapernya menjadi potret saat mereka ijab qabul. Meskipun tak ada senyuman apalagi gaun pengantin, tetapi Jenara tetap terlihat cantik. Gilbert membuka aplikasi WhatsApp dan melihat chat terakhir dengannya yang belum dia balas. Atau lebih tepatnya tak tahu harus membalas apa.
Apa yang harus aku lakukan?
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌