Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 – Suara Yang Jatuh Di Antara Hening Malam
Embun menatap layar ponselnya yang terus bergetar dengan nama Mr. Don’t Know terpampang jelas, lengkap dengan foto profil siluet yang samar namun cukup untuk membuat rasa penasaran menelisik naik sampai ke dasar tengkuknya. Ia tidak langsung mengangkat. Bukan karena ragu, bukan juga karena takut—melainkan karena detak jantungnya bergerak terlalu cepat dan ia butuh waktu sedetik untuk memastikan dirinya tidak terbata-bata saat bicara.
Ketika akhirnya ia menggeser ikon hijau dan menaruh ponsel di telinganya, Embun bahkan belum sempat menarik napas panjang ketika suara itu datang—suara laki-laki yang terdengar langsung, tanpa filter voice note, tanpa jeda pengiriman, tanpa noise apa pun selain getaran halus dari frekuensi yang langsung menyentuh sesuatu di dalam dirinya.
“Halo…”
Hanya satu kata. Satu sapaan. Tapi ujung suara itu, yang sedikit rendah namun jernih dan lembut pada saat yang bersamaan, membuat seluruh tulang belakang Embun seakan kehilangan struktur untuk sesaat.
Ia membeku. Benar-benar ngeblank. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar, hanya udara yang terdorong dari tenggorokan tanpa bentuk kata.
Suara laki-laki itu terdengar kembali, lebih pelan, lebih hangat, seakan ia ikut tersenyum di seberang sana.
“Miss? Dengeran nggak?”
Itu bahkan tidak membantu, Embun justru tersipu semakin parah dan akhirnya menutup wajah dengan tangan satunya sambil mendongak ke langit-langit seolah sedang memohon kesadaran kembali.
“G-gue…” Embun menelan ludah, pipinya panas. “Iya… halo. S-sorry. Suara lo langsung gitu… bikin gue—ya ampun, gue ngeblank tauk.”
Tawa kecil terdengar dari seberang telepon, tawa yang tidak keras tapi cukup untuk membuat udara malam yang tadinya sunyi menjadi lebih hangat. Sebuah tawa yang membuat Embun langsung menggigit bibir bawahnya karena, oh Tuhan, suara cowok ini memang bahaya.
“Gitu doang bikin ngeblank?” tanya si Mr. Don’t Know, dengan nada menggoda yang tidak berlebihan namun sangat terasa.
Embun memutar bola matanya meski wajahnya tetap merah. “Iya. Jangan GR, tapi iya.”
Tawa itu muncul lagi. Tawa yang barusan menjadi suara favorit baru Embun.
Mereka berbicara ringan sebentar—tentang betapa tidak biasanya mereka bertukar voice note sampai akhirnya call-an, tentang betapa konyolnya mereka belum tahu nama masing-masing tapi tetap nyaman. Sampai akhirnya, di sela-sela percakapan yang mulai mengalir lebih pelan, Embun tanpa sadar menghela napas berat. Bukan napas sedih, bukan napas marah, melainkan napas seseorang yang menyimpan sesuatu terlalu lama.
Dan tentu saja, Mr. Don’t Know menangkapnya.
“Hmm… itu lagi,” gumamnya. “Kenapa suaranya kayak gitu? Seolah setengah beban dunia ada di pundak lo.”
Embun tidak bisa menahan tawa kecil. “Lo tuh kenapa peka banget, hah? Baru beberapa minggu kenal, tapi nangkep semua desahan gue?”
“Kedengeran jelas, Miss. Dan lo juga bukan tipe yang suka pura-pura.”
Ucapan itu membuat Embun terdiam pelan, karena ya… ada benarnya. Ia bukan tipe yang pandai menyembunyikan emosi. Dan malam ini, ia butuh seseorang untuk mendengarkan, bahkan jika orang itu adalah pria tanpa nama dengan suara yang anehnya terasa sangat familiar.
“Aku bingung, sebenarnya…” Embun menarik napas lagi, kali ini lebih pelan dan jujur. “Aku resign dari kantor. Dan aku belum bilang Mama. Aku takut banget Mama kecewa.”
Di seberang sana, hening tercipta, bukan hening kosong, melainkan hening seseorang yang sedang mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Hening yang membuat Embun merasa aman untuk melanjutkan.
“Aku takut Mama berpikir aku nyerah. Atau aku nggak bertanggung jawab. Atau aku hanya cari-cari alasan buat keluar dari pekerjaan yang sebenarnya stabil. Padahal alasan aku resign bukan karena aku capek, tapi karena… aku pengen ngejar sesuatu yang dari dulu nggak pernah sempat aku raih.”
Respon laki-laki itu datang dengan suara rendah yang stabil—suara yang membuat Embun merasakan ketenangan merayap naik dari ujung jari sampai ke bahu.
“Miss… orang tua itu punya radar untuk ngerasain apakah anaknya bahagia atau nggak. Dan kalau lo sampai mikir sepanjang itu, sampai takut bikin Mama lo kecewa, sebenarnya dari situ aja udah kelihatan kalo lo sayang banget sama dia.”
Embun memejamkan mata. Kata-katanya menenangkan. Hangat. Tulusan.
“Mama lo berhak tahu. Tapi lebih dari itu… Mama lo pasti ngerti. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tapi dia akan ngerti kenapa lo harus melangkah dari tempat lo sekarang ke tempat yang lebih cocok sama diri lo. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Miss.”
Embun merasa seperti baru saja diselimuti oleh udara hangat. Ia tertawa kecil, tawa yang mengandung rasa lega. “Kalo lo ngomong gini terus, gue bisa ketagihan, tau.”
“Bagus dong.” Nada suaranya terdengar seperti senyum yang bisa diraba. “Gue nggak keberatan.”
Setelah itu, Embun pun mulai cerita—pelan, panjang, sistematis, seperti seseorang yang akhirnya membuka lemari penuh kenangan yang selama ini tidak tersentuh.
Ia cerita bahwa pekerjaannya sekarang jauh dari passion dan jurusan kuliahnya. Cerita bahwa enam tahun lalu ia pernah gagal melamar di perusahaan impian. Cerita bahwa alasan penolakannya adalah “kurang pengalaman”, walaupun sebagian dirinya tahu bahwa alasan itu tidak sepenuhnya benar. Dan yang paling ia tekankan adalah betapa besar mimpinya untuk bekerja di bidang yang sesuai dengan keahliannya dan betapa ia berharap saat ini, ketika ia lebih matang dan lebih kuat, kesempatannya akan datang.
Ia tidak menyebut nama perusahaan itu. Ia tidak menyebut bahwa Jumat nanti ia interview di Atmaja Group. Ia hanya bercerita garis besarnya. Dan laki-laki itu mendengarkan seolah ia membaca setiap jeda Embun sebagai kalimat, setiap helaan napas sebagai penjelasan, setiap tawa kecil sebagai penutup rasa canggung.
Setelah Embun selesai, laki-laki itu berbicara dengan tenang.
“Miss, semua ada masanya. Dulu lo ditolak karena alasan yang bahkan lo sendiri nggak yakin. Tapi sekarang lo bukan orang yang sama. Lo punya enam tahun pengalaman kerja di dunia nyata, bahkan kalau itu bukan di posisi yang lo mau, skill lo tetap hidup, bahkan berkembang. Dunia kerja bukan cuma soal gelar dan pengalaman formal. Kadang, perusahaan nggak tau kalau mereka butuh orang seperti lo… sampai lo muncul lagi dan nunjukin kemampuan lo.”
Embun menunduk, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. “Lo ngomongnya enak ya… kayak semuanya bisa beres.”
“Karena gue percaya lo bisa handle dan beresin.”
Hening lagi. Hening yang membuat jantung Embun terasa penuh.
Percakapan berlanjut ke hal-hal ringan—tentang riwehnya hari ini, tentang kebiasaan Embun yang suka ngelamun kalau di ojek online, tentang kebodohannya dulu yang sempat ingin menyerah dan pergi jauh karena diselingkuhin mantan pacar, dan tentang bagaimana ia kini lebih sabar, lebih dewasa, lebih percaya diri.
Jam terus bergerak. Sebelas lewat lima belas. Sebelas lewat dua puluh. Embun sudah menguap tiga kali, dan di setiap kali ia menutup mulut dengan tangan, Embun bisa mendengar pria itu tertawa pelan karena merasa gemas.
Akhirnya, setelah ia menguap untuk ketiga kalinya—yang paling panjang dan tidak bisa disembunyikan—laki-laki itu berkata dengan nada lembut.
“Miss… tidur. Lo harus istirahat.”
Embun merebahkan tubuh ke sofa, satu tangan menutup matanya, suara kecil keluar dari bibirnya. “Hehe… iya. Ngantuk banget.”
Ada jeda. Lalu Embun berkata—dengan suara kecil namun penuh kehangatan manis yang tidak bisa ditutupi.
“Night, Mister… jangan ngimpiin gue ya…” Ia terkekeh kecil, geli pada dirinya sendiri.
Dan balasannya datang cepat, rendah, pelan, dan entah bagaimana… membuat Embun menutup kedua mata pelan.
“Night, Miss.”
Telepon terputus. Namun suara itu—suara yang baru ia dengar malam ini—tetap tinggal sangat lama di dalam kepalanya. Dan Embun tertidur dengan senyum di wajahnya.
**
Ruang kerja pribadi Langit di apartemennya selalu tampak rapi dan steril, seolah ia sengaja menciptakan batas jelas antara dunia luar dan dunianya sendiri. Meja kayu walnut yang licin, rak buku yang tersusun presisi, lampu meja yang memancarkan cahaya putih lembut—semuanya sudah lama menjadi tempat ia melepas penat dengan caranya sendiri: membaca laporan, memeriksa progress proyek, atau sekadar merenung dalam diam.
Namun malam itu, ruangan yang biasanya menjadi tempat paling stabil dalam hidupnya justru terasa seperti ruang yang tidak bisa ia jadikan pegangan.
Karena pikirannya… sama sekali tidak berada di sana.
Langit baru saja meletakkan ponsel di meja ketika call dengan “Miss” berakhir. Ujung bibirnya masih terangkat tanpa ia sadari. Senyum itu muncul pelan, tidak dipaksakan, tidak dibuat agar terlihat baik—senyum jujur yang sudah lama tidak mampir karena jarang ada sesuatu yang cukup… menarik untuk membuatnya muncul.
Ia menyandarkan punggung pada kursi putar, mengusap wajah dengan kedua tangan, lalu menatap langit-langit seakan ingin mencari jawaban yang sama sekali tidak ia mengerti.
“Apa sih ini…” gumamnya, terdengar pasrah tapi tidak benar-benar keberatan.
Suara itu. Suara lembut dengan sedikit gurat kelelahan namun penuh kejujuran—suara yang bergetar sedikit saat grogi, suara yang terdengar seperti senyum samar ketika dia mencoba bercanda, suara yang menurun volumenya saat ia ragu, tapi naik halus ketika ia menemukan keberanian untuk bicara.
Dan tawa kecilnya… Langit menutup mata. Tawa itu—Tuhan—tawa itu jatuh begitu lembut di telinganya seperti sesuatu yang ia ingin dengar lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Ia membuka mata, menatap ponselnya yang tergeletak diam seperti benda mati yang tiba-tiba memiliki makna baru.
Jika pagi tadi ada yang bertanya padanya apa yang ia inginkan, jawabannya pasti berupa daftar logis, performance perusahaan, perkembangan hardware terbaru, target kuartal berikutnya.
Namun setelah mendengar suara perempuan itu, jawabannya berubah menjadi satu hal sederhana yang tidak pernah ia duga: ‘Aku ingin mendengar dia bicara lagi.’
Langit berdiri dari kursinya, berjalan menuju jendela besar apartemennya. Kota Jakarta terhampar luas di bawah sana—lautan lampu yang berkedip perlahan, menciptakan pemandangan yang biasanya menenangkan. Tapi malam ini, pemandangan itu kalah jauh oleh satu suara kecil yang terus memutar ulang di kepalanya.
“Night, Mister… jangan ngimpiin aku ya…” Lalu tawa lembut yang menyusulnya.
Langit menutup mata sambil menghela napas panjang, satu tangan masuk ke saku celananya, tangan satunya memijit tengkuknya yang mendadak tegang. Ia bahkan bisa merasakan hawa panas naik ke wajahnya—reaksi yang membuatnya semakin kesal pada dirinya sendiri.
“Kok dia bisa ngomong kayak gitu sambil ketawa, sih…” gumamnya sambil menggeleng, tapi ada senyum kecil yang kembali muncul. Senyum yang ia coba sembunyikan meskipun ia sedang sendirian.
Ia tidak bisa menahannya. Ia memutar otak untuk mencari alasan kenapa suara itu begitu menempel di kepalanya.
Mungkin karena caranya jujur ketika bercerita tentang mamanya. Mungkin karena suaranya terdengar begitu manusia, begitu nyata, begitu… hidup.
Atau mungkin karena ia sudah terlalu lama terjebak dalam dunia formal—dikelilingi orang-orang yang memilih kata-kata dengan hati-hati, yang menahan diri, yang tidak pernah bicara dari hati—hingga kejujuran dan spontanitas Embun terasa seperti udara segar yang jarang ia hirup.
Langit kembali ke meja kerjanya, membuka laptop seakan ingin melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Namun begitu layar menyala, fokusnya langsung menguap. Ia hanya menatap dokumen kosong, pikiran kembali mengembara.
Ia teringat napas berat Embun sebelum curhat. Teringat suara getir dari pengakuannya soal resign. Teringat tawa memalukan saat dia mengakui dirinya ngeblank. Teringat nada ragu saat membicarakan masa depan. Teringat keberanian kecil saat ia meminta untuk call-an.
“Kalo gue pengen kita call-an… bisa?”
Langit meremas hidungnya pelan, menahan sesuatu yang terasa aneh di dada—perasaan yang tidak mudah dijelaskan, semacam kombinasi antara geli, terkejut, dan… tersentuh.
Dia bukan tipe yang suka orang terlalu berani. Namun entah kenapa, keberanian Miss terasa bukan agresif… melainkan tulus. Murni. Seperti seseorang yang memilih untuk melompat walau takut jatuh.
Semakin malam, semakin sulit baginya untuk membungkam setiap gema suara itu.
Ia senarnya bisa saja mencari semua informasi tentang si “MISS” ini tapi ia urungkan, sebab menurutnya itu melanggar privasi seseorang. Biarlah semesta yang mengatur cerita mereka, dan Langit tidak akan kecewa apabila “MISS” ini jauh dari bayangannya.
Kemudian ia mematikan laptop. Ia mencoba rebahan di kasurnya. mencoba memjamkan mata, bahkan memaksa dirinya mengganti posisi tidur berkali-kali.
Namun setiap kali matanya menutup, suara itu kembali:
“Mister…”
“Gue takut Mama kecewa…”
“Night, Mister…”
Tawa kecil itu…
Langit akhirnya duduk tegak, rambut depannya berantakan karena beberapa kali ia mengusapnya dengan frustrasi. Ia menatap jam—sudah lewat tengah malam.
“Gila sih… kenapa ini sampai bikin gue nggak bisa tidur?” gumamnya sambil memegangi dahi.
Ia merasa sangat bodoh. Ia merasa konyol. Ia merasa… seperti ABEGE yang baru pertama kali jatuh cinta.
Dan itu sudah cukup menjelaskan segalanya.
Suaranya bukan sekadar suara. Ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang menyentuh bagian dirinya yang sudah lama ia biarkan dingin dan tenang.
Sesuatu yang… untuk pertama kalinya sejak lama, membuat dia ingin mengenal seseorang bukan karena kebutuhan profesional, bukan karena formalitas, dan bukan karena kewajiban—melainkan karena rasa ingin tahu yang hangat dan memuaskan dengan caranya sendiri.
Langit bersandar pada kepala tempat tidur, menatap langit-langit satu kali lagi, lalu menarik napas panjang.
Dia tidak tahu nama Miss. Miss tidak tahu namanya. Dan entah mengapa… Semua itu terasa sempurna untuk saat ini.
Dia hanya tahu satu hal: Suara itu ingin ia dengar lagi.
Dan mungkin—meski ia tidak akan mengakuinya dengan mudah— dia ingin mendengar suara itu setiap malam.
Malam itu, Langit baru tertidur ketika hampir jam dua pagi. Dan tidurnya pun… tidak benar-benar tenang.
Karena dalam samar-samar mimpinya, ada suara lembut yang memanggilnya dengan sapaan sederhana.
“Mister…”
**
tbc