Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Office War Part 2 (Bagian 1)
Hari senin. Hari paling suci dalam kalender penderitaan umat pekerja kantoran. Aku membuka pintu kantor seperti membuka pintu ruang sidang. Langkah kaki penuh beban, pundak miring kiri karena membawa tote bag yang isinya bukan hanya laptop, tapi juga harapan palsu akan produktivitas.
Pagi itu, aku ke pantry lebih awal dari biasanya. Kupikir, bisa duduk sebentar di bangku kecil sambil menikmati kopi sachet yang rasanya pas-pasan tapi cukup menghangatkan jiwa.
Tapi baru dua tegukan—aroma parfum floral yang agresif menyeruak sebelum bayangannya muncul di pantulan dispenser air.
Natasha.
Langkahnya mantap. Tumitnya mengetuk lantai seperti countdown ke neraka kecil.
“Akhirnya kita bisa ngobrol berdua, Mbak Meisya.”
Aku menoleh pelan. Gelas di tanganku masih setengah penuh dan harapanku pada pagi yang tenang langsung pecah seperti kerupuk udah lembek.
“Ngobrol… atau ceramah?”
Natasha menyandarkan tubuhnya ke meja pantry, bersedekap. Senyum tipisnya lebih dingin dari air gallon baru.
“Lo puas, ya? Bikin Mas Kenlei balas gue di grup kayak gitu.”
“Gue? Yang balas Mas Kenlei. Gue cuma menjawab chat salah kirim dengan sopan. Atau lo mau gue diam aja waktu nama gue dipakai seenaknya?”
“Udah deh, nggak usak sok polos. Semua orang juga tahu lo sengaja deket-deket sama dia. Gue lama suka sama Mas Kenlei. Tapi lo? Lo tuh cuma bawahan yang cari perhatian. Pakai alasan kerja, tapi sebenarnya modus.”
Aku tertawa pendek. Bukan karena lucu, tapi karena heran ada manusia se-berani itu menuduh pakai teori imajinasi.
“Wow. Jadi sekarang kerja sesuai jobdesk di sebut modus? Keren. Bentar lagi kalau gue print laporan dua rangkap, pasti disebut ngode biar bisa minta kertas tambahan dari Mas Kenlei.” Jawabku penuh sarkas.
“Jangan ngeles. Gue perhatiin lo. Lo tuh emang sengaja nggak punya pacar, kan? Karena lo lagi incar Mas Kenlei.”
Aku berhenti. Lalu ku taruh gelas kopi dimeja. Pelan. Supaya nggak ada alasan untuk di lempar.
“Pertama, status pacaran seseorang bukan urusan lo. Kedua, gue single bukan karena gue ngincer siapa pun. Tapi karena gue lagi fokus sama karier gue.”
Aku diam sejenak.
“Sementara lo? Saking pengennya punya hubungan, sampai lupa kalau yang lo suka itu atasan orang lain, dan lo juga bukan satu divisi sama dia. Kalau lo memang mau pendekatan, ya silahkan. Tapi jangan seret gue seolah-olah keberadaan gue ini kesalahan.”
Natasha melotot. Tapi belum sempat dia menyahut, pintu pantry terbuka.
Dan takdir tampaknya sedang menikmati drama pagi—karena yang masuk adalah Mas Kenlei sendiri.
Dia menatap kami berdua—dan untuk sesaat, waktu terasa seperti menahan nafas.
“Pagi.”
“Pagi Mas,” jawabku datar. Natasha hanya menunduk.
Kenlei membuka laci, megambil teh celup, lalu menoleh padaku.
“Mbak Meisya, nanti tolong bantu review laporan Q2 lanjutannya ya. Yang meeting kemaren.”
“Siap Mas,” jawabku sambil menatap Natasha.
“Karena itu bagian dari pekerjaan saya.”
Kenlei hanya mengangguk kecil dan pergi tanpa tahu bahwa dia barusan jadi saksi tidak langsung pertengkaran pasif-agresif dengan satu tokoh antagonis dan satu tokoh yang cuma pengen ngopi damai.
Setelah dia pergi, Natasha melirikku lagi—kali ini tanpa kata. Tapi aku tahu, ini belum akhir. Karena ketika seseorang lebih sibuk menuduh dari pada memperbaiki dirinya, mereka nggak butuh alasan untuk menyalahkan.
Dan aku? Aku tetap single. Tetap kerja. Tetap tergoda drama. Tapi siap, kalau suatu hari nanti—aku juga jadi alasan orang panik tanpa aku sadari.
Setelah masalah dipantry. Aku kembali ke mejaku. Aku buka grup chat perusahaan yang udah rame dari jam 6 pagi. Topik? Revisi laporan mendadak dan—update kucing Mbak Dela lagi hamil anak keempat. Aku sih cuma scroll sambil nelen air putih penuh dendam karena gara-gara Natasha aku ngak jadi ngopi pagi.
Sampai jam 10, semua terasa almost normal. Sampai—terjadi peristiwa yang akan mengguncang fondasi gossip perusahaan kami.
Pintu utama kantor terbuka.
Dan muncul Mbak Dela dari front office dengan seseorang di belakangnya.
Sosok tinggi, eksotis dengan senyum hangat dan cup tray berisi empat kopi di tangan.
Mas Johan.
Si tetangga pemilik coffee shop di perempatan jalan. Yang setiap pagi suka menyapaku dengan “jogingnya kok makin niat, Mei?” padahal aku cuma jalan cepat demi dapat ojek online. Yang selalu punya ide coffe baru dan juga aku adalah tester bersetifikatnya.
Dengan gaya santai, kaos putih lengan panjang, apron dikalungin di pinggang, dan aroma kopi yang bikin separuh divisi desain di ruang sebelah nyaris mimisan.
Seketika, suasana kantor berubah.
Laptop berhenti di ketik. Slide design nge-freeze. Printer bahkan nyaris meledak karena semua langsung menoleh.
“Permisi—Mbak Meisya, ada yang nyari,” ucap Mbak Dela. Kemudian mempersilahkan Mas Johan masuk.
Aku yang baru ngunyah tahu bulat rebus langsung kaget, nyaris tersedak.
“M-Mas Johan?” kataku dengan nada tenggorokan yang barusan gagal proses.
Mas Johan melangkah mantap ke arahku, senyum tipis sambil menyodorkan cup kopi bertuliskan “Mei, gue tau akhir-akhir ini lo punya masalah di kantor, tapi semangat terus ya” lengkap dengan gambar kucing pegang kalkulator.
“Nitip kopi tester menu baru. Sekalian lewat tadi. Cobain ya…”
Aku menerima kopi itu dengan tangan bergetar kayak mau nerima surat tilang. Wangi kopinya menghipnotis, tapi tatapan kantor lebih menakutkan dari seminar motivasi MLM.
Momen Mas Johan benar-benar pas. Seperti udah di rencanakan dari awal. Dan dia datang saat gosipku dan Mas Kenlei sedang panas-panasnya.
Natasha, yang entah bagaiman mengetahui itu, sudah berdiri di depan pintu, langsung memasang wajah seperti habis nyium aroma kegagalan.
“Oh… coffee delivery sekarang ya, Mbak?” tanyanya sinis, sambil melangkah ke meja Mbak Mira yang berdekatan dengan pintu.
Aku hanya menjawab dengan senyum palsu yang seolah berkata, “Aku juga nggak ngerti hidup ini, sumpah.”
Mas Johan pamit dengan sopan, dan ketika dia keluar… ITU TERJADI. Chat room jadi rame.
Sarah – HR Dept
“Eh guys, barista ganteng antar kopi ke Mbak Meisya. Ulang tahunnya belum ya? Wah…”
—Divisi desain tiba-tiba mengirimkan gif “penghuni surge versi nyata”
—Divisi Finance? Udah buka spreadsheet berjudul:
“Siapa pacar Meisya.xlsx”
Satu jam kemudian: aku viral internal.
Judulnya: “Mbak-Mbak 30an yang selama ini ngaku jomblo udah diikat barista eksotis”
Tagline: “katanya suka tahu bulat, ternyata selera pria-nya espresso blend.”
Rahma aku kabarin langsung.
Aku kirim voice note sambil ngunyah kuaci.
“RAHMA.MAS JOHAN NGANTER KOPI KE KANTOR. MOMENTNYA SANGAT PAS LAGI. BTW MAS JOHAN TAHU DARIMANA GUE LAGI ADA MASALAH DI KANTOR? ORANG-ORANG PADA LIHAT. GUE UDAH MAKIN VIRAL. RASANYA MAU RESIGN TAPI KOPINYA ENAK, GIMANA NIH?”
Rahma bales dalam waktu 0.2 detik:
“TUHAN ITU MAHA ROMANTIS SYA. LIAT LO DIKIRIM PRIA DENGAN APRON, TINGGI, BERTATO RASA AROMA VANILLA BUAT BUNGKAM NATASHA. ‘MAKA NIKMAT MANA LAGI YANG KAU DUSTAKAN’. MINIMAL SEKARANG, ORANG PADA PERCAYA KALO LO BUKAN PENGGODA MAS KENLEI.”
Aku: nangis. Tapi karena biji kuaci nyangkut di tenggorokan.
Kemudian aku langsung ngirim pesan ke Mas Johan.
“Mas Jo, gue nggak tau lo tau dari mana. Tapi thank you banget atas mental supportnya. Gue benar-benar terharu.”
Mas Johan bales:
“It’s Okay. Gue liat lo nggak minat berangkat kerja. Padahal biasanya selalu lari cepet-cepet kayak lagi jogging.”
Aku terdiam.
DEMI APA?
DIA MEMPERHATIKAN HAL KECIL KAYAK GITU?
Aku bales lagi:
“But Overall, konsumen puas. Bintang lima!”
Dia bales:
“Auto resto jempolan”
Aku tersenyum kecil dan hendak balik ke meja kerja. Tiba-tiba dapet notifikasi WA lagi.
Felix – GameDev
“Butuh tester. Lo tertarik? Nanti sore di kantor gue. Ada snack.”
Aku, sambil rebahan di kursi, menatap layar dengan tatapan kosong penuh keraguan.
“Apakah ini jebakan? Apakah ini skema MLM dengan visualisasi 3D? ataukah—ini hanya bentuk dia mempertahankan beta-tester relation dengan gue?”
Tapi satu kata dalam pesan itu menggoda imanku: Snack.
Aku mengetik ‘oke’ sebelum kembali ke meja kerja kemudian berubah ke gaya corporate slave seperti biasanya.
**