Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan yang Menyembuhkan
Siang di sakit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.
Pak Damar sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat inap.
Cahaya matahari masuk dari jendela besar, menimpa tirai putih yang bergerak lembut setiap kali angin lewat.
Alya sedang duduk di sisi tempat tidur, menyuapi ayah mertuanya.
Wajahnya tenang, ucapannya lembut, penuh perhatian seperti seorang anak kepada ayahnya sendiri.
“Pa, ini Alya gantiin Mama dulu ya. Biar Mama bisa makan siang,” katanya lirih.
Pak Damar yang masih lemah hanya mengangguk pelan, tersenyum samar. “Terima kasih, Alya. Kamu ini… gak henti-henti bantu.”
Alya tersenyum, menunduk sopan. “Sudah kewajiban, Pa. Orang tua Mas Arga juga orang tua Alya.”
Bu Retno yang duduk di sofa kecil di ujung ruangan menatap pemandangan itu diam-diam. Ada haru di matanya.
Sejak pertama mengenal Alya, ia memang tahu menantunya lembut. Tapi melihatnya langsung merawat suaminya dengan penuh ketulusan, membuat hatinya hangat, bu Retno sedang menyantap bekal yang dibawakan oleh Alya dari rumah.
Arga berdiri di depan pintu, memperhatikan dari jauh.
Ia baru saja selesai bicara dengan dokter, dan ketika kembali, pemandangan itu membuat langkahnya terhenti.
Ada sesuatu yang berbeda.
Alya tidak hanya merawat, tapi menyembuhkan dengan kehadiran.
Bahkan ruangan yang dingin itu terasa lebih hidup karena kehadirannya.
Arga bersandar di dinding, menatap wajah Alya yang begitu tenang.
Gerakannya pelan, teratur, seolah setiap sentuhan adalah doa.
Dan saat itu, entah kenapa, Arga merasa malu pada dirinya sendiri karena baru sekarang ia benar-benar menyadari betapa berharganya perempuan itu.
“Mas Arga, sudah makan?” tanya Alya, menyadari kehadiran suaminya tanpa menoleh.
Arga sedikit terkejut, lalu tersenyum kecil. “Udah, bareng Bima tadi.”
Alya mengangguk. “Kalau Mas belum, nanti Alya bisa ambilkan makan di kantin.”
Arga mendekat, duduk di kursi sebelahnya. “Kamu aja yang makan dulu. Dari tadi belum istirahat.”
Alya menatapnya sebentar. “Aku masih kuat kok mas."
Bu Retno ikut bicara, “Kamu ini dari tadi gak duduk diam, Nak. Udah sana makan dulu, nanti malah pingsan. Biar ditemani Arga ya.”
Alya tertawa kecil. “Nanti Alya makan, ma. Janji.”
"Ayo. Biar aku temani." Arga menepuk bahu Alya pelan, interupsi agar Alya berdiri.
---
Kantin rumah sakit sore itu tidak terlalu ramai. Hanya terdengar denting sendok dan suara TV kecil yang menyiarkan berita. Aroma sop hangat dan nasi goreng bercampur dengan bau antiseptik khas rumah sakit.
Alya berjalan pelan menuju meja makan, membawa nampan berisi dua porsi nasi dan lauk sederhana, ayam goreng, sayur bening, dan tempe orek. Arga mengikuti dari belakang, menatap punggung istrinya yang kecil namun tegas, seolah lelah tak pernah mampu menundukkannya.
Begitu sampai di meja, Alya meletakkan nampan itu perlahan.
“Ini untuk Mas,” katanya lembut.
Arga menatap makanan itu sebentar, lalu menatap Alya. “Lho, kamu aja yang makan. Aku udah makan sama Bima tadi.”
Alya tersenyum samar, tapi tatapannya menenangkan. “Aku tahu Mas belum makan.”
Arga mengangkat alis. “Kok tahu?”
“Kalau Mas udah makan, pasti gak akan nunduk waktu Mama nanya tadi,” jawab Alya pelan sambil duduk di seberang. “Mas tidak pernah begitu.”
Arga tercenung sesaat, lalu tertawa kecil. “Kamu hafal banget ya kebiasaan aku?”
Alya menunduk, tersenyum canggung. “Belum hafal, Mas… cuma memperhatikan aja.”
Ada jeda sunyi yang hangat di antara mereka. Suasana yang dulu kaku kini perlahan mencair. Arga mengambil sendok, mencicipi makanan yang sudah dipesankan Alya. Hangat, sederhana.
Alya menatapnya sebentar. “Mas, di kantor tadi gimana? Mas bolak-balik dari rumah sakit. Pasti capek, ya?”
Arga menatap wajah Alya. Ada kejujuran di matanya, perhatian yang tulus tanpa pamrih. “Iya, agak padat. Tapi gak apa-apa. Semua bisa ditunda dulu. Papa lebih penting.”
Alya mengangguk pelan. “Mas Arga pasti juga capek, ya. Aku bisa gantian jagain Papa kalau nanti Mas mau pulang dulu.”
Arga meletakkan sendoknya, menatap Alya dengan serius. “Aku gak mau pulang. Aku mau di sini.”
Alya mengerjap, sedikit terkejut dengan nada suara suaminya. “Tapi rapat Mas?”
“Udah aku undur,” jawab Arga santai, meneguk air putih di depannya. “Rapat bisa dijadwalin lagi, tapi waktu sama keluarga gak bisa diulang.”
Alya menunduk. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Entah kenapa kalimat sederhana itu menimbulkan rasa hangat di dadanya. Mungkin untuk pertama kalinya, ia mendengar suaminya berbicara dengan nada selembut itu.
“Terima kasih, Mas,” katanya pelan.
Arga menatapnya. “Untuk apa?”
“Untuk tetap di sini. Papa pasti senang lihat Mas gak tinggalin beliau.”
Arga tersenyum samar, lalu memperhatikan wajah Alya yang kini sedikit memerah karena menahan malu. Ia baru sadar betapa jarangnya ia benar-benar menatap istrinya seperti ini. Garis lembut di wajah Alya, cara ia menunduk setiap kali bicara, bahkan suara lirihnya, semuanya terasa… menenangkan.
“Kalau kamu capek, kamu juga boleh istirahat,” kata Arga akhirnya. “Aku bisa gantian jagain Papa. Aku serius, kamu dari pagi belum duduk lama.”
Alya menggeleng. “Aku gak capek, kok Mas. Melihat Papa membaik aja udah cukup bikin tenang.”
Arga diam. Ia tidak ingin memperdebatkan ketulusan semacam itu. Perempuan di depannya bukan hanya perhatian, tapi juga kuat dengan cara yang lembut, cara yang tidak pernah ia mengerti sebelumnya.
Beberapa detik hening. Lalu Alya berkata pelan, “Mas Arga…”
“Hm?”
“Terima kasih, ya. Aku tahu, mungkin Alya bukan istri yang Mas inginkan. Tapi aku akan terus belajar biar bisa jadi istri yang Mas butuhkan.”
Kata-kata itu membuat dada Arga terasa sesak. Ia menatap Alya lama, benar-benar lama.
Dalam benaknya terlintas semua kesalahpahaman yang pernah terjadi di antara mereka. Sikap dinginnya, ucapannya yang kasar, bahkan tatapan-tatapan cuek yang sering ia berikan. Tapi Alya tidak pernah membalas dengan amarah, selalu dengan senyum yang tenang.
Arga akhirnya tersenyum kecil. “Kamu gak perlu berubah jadi siapa-siapa, Alya. Aku cuma... baru sadar aja, mungkin selama ini aku yang gak cukup ngerti kamu.”
Alya menatapnya sebentar, lalu menunduk lagi, menahan senyum malu.
Alya menatapnya lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih hangat. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka, halus, tapi nyata.
Tanpa sadar, Arga mengambil piring Alya yang sudah setengah kosong. “Ini masih banyak, kenapa gak dihabisin?”
Alya mengerutkan kening kecil. “Mas… itu buat Alya.”
“Nah, makanya habisin,” kata Arga ringan, menyodorkan sendok ke arahnya. “Kalau kamu gak makan cukup, nanti malah kamu yang sakit.”
Alya tertawa kecil, tapi menurutinya. “Mas juga, jangan kebanyakan mikirin kerjaan.”
Arga hanya tersenyum, membiarkan keheningan kembali hadir di antara mereka. Tapi kali ini bukan keheningan yang dingin, melainkan tenang dan hangat. Seperti keduanya sedang belajar berbicara dengan cara yang baru, dengan bahasa yang tidak lagi diselimuti jarak.
Setelah makan, Alya membereskan piring mereka dan berdiri, siap kembali ke ruang rawat. Tapi sebelum melangkah, Arga menahan lengannya lembut.
“Alya…”
Alya menoleh, sedikit bingung.
“Terima kasih, ya.”
Alya tersenyum. “Untuk?”
Arga menggeleng. “Untuk semuanya.”
Alya menatap mata suaminya beberapa detik, mata yang untuk pertama kalinya sejak lama, tampak tulus dan lembut. Ia mengangguk kecil, lalu berjalan meninggalkan kantin dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.
Arga tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Alya yang menjauh.
Dan di hatinya, ia tahu rasa yang dulu samar kini mulai tumbuh. Pelan, tapi pasti.
Bukan sekadar rasa iba, bukan karena tanggung jawab, tapi karena mulai benar-benar melihat siapa Alya sebenarnya: perempuan yang dengan ketenangannya mampu membuat rumah sakit terasa hangat seperti rumah.
Waktu berjalan sampai sore.
Pak Damar mulai tampak lebih segar, meski suaranya masih pelan.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk.
“Permisi…”
Bu Retno menoleh, lalu matanya berbinar. “Lho, Bu Ratna! Pak Rasyid!”
Alya sontak berdiri. “Ayah, ibu?”
Raut wajahnya berubah bahagia sekaligus gugup.
Dua orang paruh baya masuk dengan senyum hangat. Bu Ratna mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, sedangkan Pak Rasyid tampak tenang dengan peci hitam di kepalanya.
“Assalamu’alaikum,” sapa mereka berdua hampir bersamaan.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Bu Retno cepat, berdiri dan menyalami mereka dengan penuh hormat.
“Ya Allah, senangnya akhirnya bisa ketemu. Harusnya kami yang duluan ngabarin, tapi kami takut ganggu waktu keluarga,” ucap Bu Ratna lembut.
“Ah, gak apa-apa,” sahut Bu Retno sambil mempersilakan duduk. “Aduh, senang sekali bisa bertemu besan. Anak kalian ini luar biasa, Bu, Pak. Dia yang paling sigap bantu kami di sini.”
Bu Ratna tersenyum, melirik anak perempuannya yang duduk menunduk malu. “Begitulah Alya, Bu. Dari kecil udah biasa ngurus orang lain duluan baru dirinya sendiri. Kadang bikin saya khawatir juga.”
Pak Rasyid menatap Pak Damar yang terbaring lemah tapi tersenyum ramah. “Semoga Allah angkat segera sakitnya, Pak,” katanya lirih.
“Amin, terima kasih, Pak Rasyid. Terima kasih sudah datang jauh-jauh,” balas Pak Damar pelan.
Arga ikut berdiri, menyalami kedua mertuanya. “Terima kasih udah datang, ayah, ibu. Maaf belum sempat kabarin langsung, Alya khawatir ganggu waktu ayah.”
Pak Rasyid menepuk bahu menantunya pelan. “Kamu udah kayak anak sendiri, Ga. Jangan sungkan.”
Bu Retno tersenyum melihat interaksi itu. Ada kehangatan baru yang tumbuh di antara dua keluarga, seperti dua sungai kecil yang akhirnya bertemu di satu aliran yang tenang.
Beberapa menit kemudian, mereka duduk bersama di sofa ruang rawat.
Alya menuangkan air minum, sementara Bu Ratna menatapnya penuh kasih. “Nak, kamu gak capek jaga begini terus?”
Alya menunduk sopan. “Capeknya hilang kalau lihat Papa mulai membaik, bu.”
Bu Ratna mengelus tangan putrinya lembut. “Anak ibu memang begitu… selalu pakai hati dalam semua hal.”
Bu Retno mengangguk setuju. “Saya jadi belajar banyak dari Alya. Kadang saya sendiri kalah sabar.”
Mereka tertawa kecil bersama, mencairkan suasana yang sempat tegang beberapa hari ini.
Arga duduk di samping Alya, memperhatikan semua percakapan itu dengan hati yang hangat.
Ia jarang melihat keluarganya berbicara sedamai ini.
Dan di tengah semua kelelahan, ia sadar: kehadiran Alya membawa keseimbangan, seperti sejuk air di tengah panasnya hari.
Menjelang sore, setelah Bu Ratna dan Pak Rasyid pamit pulang, Arga mengantar mereka sampai ke parkiran.
Pak Rasyid sempat menepuk bahunya, menatap Arga dengan bijak.
“Jagal Alya, Nak. Dia bukan perempuan yang akan banyak menuntut. Jangan biarkan diamnya berubah jadi jarak.”
Arga tertegun sejenak, menatap mertuanya dengan hormat. “Iya, ayah. Arga janji.”
Saat mobil mereka menjauh, Arga berdiri diam beberapa detik. Kata-kata itu terngiang di kepalanya.
Ketika Arga kembali ke ruangan, Alya sedang merapikan selimut Pak Damar.
Bu Retno duduk di samping, berbincang ringan.
Alya menoleh sebentar, tersenyum melihat Arga datang.
Arga menghampirinya. “ayah sama ibu udah pulang?”
“Iya,” jawab Alya pelan. “Mereka titip salam untuk Mama dan Papa.”
Arga mengangguk. “Terima kasih. Udah jagain semuanya."
Alya terdiam, sedikit tersipu. “Jangan berlebihan, Mas. Aku cuma melakukan apa yang seharusnya.”
Arga menatapnya dalam. “Iya, tapi gak semua orang bisa seikhlas kamu.”
Untuk pertama kalinya sejak insiden di kantor, Alya menatap Arga dengan tatapan yang benar-benar lembut.
Tidak ada lagi jarak, hanya sisa kehangatan yang mulai kembali tumbuh.
“Kalau semua dilakukan dengan cinta,” jawab Alya pelan, “maka lelah pun berubah jadi ladang pahala.”
Dan saat itu, Arga tahu, tidak ada kemewahan dunia mana pun yang bisa menandingi ketenangan yang diberikan oleh seorang istri yang ikhlas.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣