Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angka Dingin dan Mentor Sang CEO
Minggu pertama setelah penetapan tanggal pertunangan berlalu dengan cepat, disibukkan oleh dua hal: persiapan acara yang diurus oleh Bunda Fatma, dan kewajiban baru yang diamanatkan oleh Gus Ammar Fikri—kursus Akuntansi Dasar.
Aku menghabiskan malam-malamku bukan dengan merenungkan cincin pertunangan, tetapi dengan mencoba memahami perbedaan antara Debit dan Kredit. Sebuah ironi besar. Seorang mahasiswi Sastra dan Filsafat kini harus berhadapan dengan logika angka yang kaku.
Ammar tidak main-main. Ia menugaskan manajer keuangannya, Ibu Nita, sebagai mentorku. Ibu Nita adalah seorang wanita paruh baya yang sangat profesional, dengan kacamata bingkai tipis dan ekspresi yang selalu terfokus. Pertemuan kami dilakukan secara daring melalui panggilan video, menggunakan platform internal Ammar Fikri Group yang memerlukan password dan authentication berlapis.
"Selamat sore, Saudari Indira," sapa Ibu Nita pada sesi pertama kami, nadanya ramah namun sangat formal. "Saya Nita Sari, Manajer Keuangan Senior di holding Gus Ammar Fikri Group. Saya ditugaskan untuk memastikan Anda mencapai pemahaman dasar financial literacy dalam waktu yang sudah ditentukan."
"Selamat sore, Ibu Nita," balasku, merasa seperti sedang diwawancarai untuk posisi C-Level.
"Sebelum kita mulai, saya perlu menjelaskan standar kerja kita," kata Ibu Nita, menggeser beberapa berkas di mejanya yang tampak sempurna. "Gus Ammar Fikri memiliki standar yang sangat tinggi, terutama mengenai laporan dan analisis risiko. Beliau tidak menoleransi ketidakjelasan, dan beliau menuntut Anda untuk memahami bukan hanya apa, tetapi juga mengapa sebuah angka itu ada di sana."
Aku menelan ludah. Ammar bahkan mengutus utusannya dengan standar yang begitu menakutkan.
"Saya akan berusaha keras, Bu Nita," janjiku.
"Bagus," Ibu Nita tersenyum kecil. "Gus Ammar Fikri sudah memberi saya timeline dan target yang jelas. Beliau mengatakan bahwa Anda adalah aset yang memiliki potensi tinggi, namun membutuhkan restrukturisasi di sektor finansial agar value Anda meningkat."
Ammar benar-benar melihatku sebagai aset.
Pelajaran dimulai, dan rasanya seperti tenggelam di lautan yang kering. Angka-angka itu terasa dingin, tak berjiwa, dan jauh dari keindahan kata-kata yang biasa kutekuni.
"Prinsip dasar Akuntansi, Saudari Indira, adalah keseimbangan. Aset harus sama dengan Liabilitas ditambah Ekuitas," jelas Ibu Nita, menampilkan persamaan dasar di layar. "Dalam hidup, prinsip ini juga berlaku. Jika Anda punya banyak aset (kemampuan, waktu, iman), tetapi Anda juga punya banyak liabilitas (utang moral, gangguan emosi), maka keseimbangan itu tidak akan stabil."
Aku menyadari, Ammar tidak hanya memaksaku belajar akuntansi; dia memaksaku melihat hidup dari kacamata logika keseimbangan yang sama.
Aku berjuang. Aku mencatat detail tentang arus kas, return on investment, dan fixed assets. Aku berjuang untuk tidak membandingkan logika kaku ini dengan surat perpisahan hangat dari Revan yang kini sudah hancur menjadi serpihan. Revan memberiku emosi. Ammar memberiku fondasi.
"Gus Ammar Fikri sangat mementingkan proyeksi risiko," lanjut Ibu Nita, saat kami membahas break-even point. "Beliau ingin Anda memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko keuangan di masa depan. Beliau percaya, istri yang cerdas adalah pelindung pertama kekayaan keluarga."
Aku mengerti. Ammar ingin aku menjadi Manajer Risiko bagi diriku sendiri, bahkan bagi asetnya. Permintaannya ini, meskipun dingin, adalah bentuk penghormatan. Ia tidak ingin aku menjadi istri yang hanya bergantung, tetapi menjadi mitra yang kompeten.
Sesi dengan Ibu Nita berlangsung selama dua jam penuh, dan aku pulang dengan kepala penuh rumus dan otak yang berasap.
***
Pagi berikutnya, aku menerima notifikasi dari email pribadiku, bukan dari WhatsApp. Sesuai Kontrak Komunikasi Taaruf, Ammar menggunakan jalur formal untuk urusan yang substansial.
Subject: [Audit] Laporan Kemajuan Tugas Pekan 1
Sender: Ammar Fikri
Saudari Indira,
Saya telah menerima laporan kemajuan Anda dari Ibu Nita Sari. Beliau menyatakan Anda memiliki semangat belajar yang tinggi, namun tingkat retensi terminologi teknis masih membutuhkan peningkatan.
Tugas Anda pekan ini adalah: Menghafal dan menjelaskan konsep Arus Kas (Cash Flow) kepada Ibu Nita pada pertemuan berikutnya, tanpa melihat catatan.
Tolong prioritaskan tugas ini. Stabilitas proyek bergantung pada kecepatan Anda beradaptasi.
Wassalamu'alaikum.
Ammar Fikri
Aku menatap email itu. Sebuah email berisi tugas dan feedback yang kering. Tidak ada pertanyaan basa-basi. Tidak ada ucapan 'semangat' atau 'hati-hati di jalan'. Hanya perintah dan harapan efisiensi.
Aku membalasnya dengan singkat dan profesional, seperti yang ia harapkan.
Subject: Re: [Audit] Laporan Kemajuan Tugas Pekan 1
Wassalamu'alaikum, Gus.
Tugas diterima. Saya akan memastikan konsep Arus Kas sudah saya kuasai pada pertemuan berikutnya.
Wassalamu'alaikum.
Indira
Sambil memegang buku akuntansi dan mencoba memahami mengapa Kredit itu ada di sisi kanan, Bunda Fatma masuk ke kamarku, membawa sebuah kotak berisi renda dan kain brokat.
"Nak, nanti sore kita fitting kebaya pertunangan ya," kata Bunda, wajahnya berseri-seri.
"Semua sudah hampir siap. Tinggal menunggu kamu dan cincin itu resmi terpasang."
"Baik, Bun," jawabku, meletakkan buku akuntansi.
"Ayahmu lega sekali, Nak. Pertunangan ini menjamin semuanya. Dia bilang, dengan pertunangan ini, semua gosip di kampusmu tentang masa lalumu akan otomatis terhenti. Tidak ada lagi yang berani mengganggu calon menantu seorang Kyai besar dan istri seorang CEO hebat," bisik Bunda penuh makna.
Aku tahu Bunda merujuk pada bayangan Revan yang masih bergentayangan. Pertunangan ini adalah pengamanan aset yang sempurna, seperti yang Ammar inginkan. Ini adalah pengumuman publik bahwa Indira sudah memiliki Garis Batas Keyakinan yang permanen.
Aku mengangguk. Aku harus segera menguasai Arus Kas agar aku tidak mengecewakan Manajer Resiko. Aku harus kuat, stabil, dan kompeten. Karena sebentar lagi, cincin itu akan mengunci takdirku pada pria yang mengajarkanku bahwa keseimbangan hidup adalah kunci menuju surga yang halal.