Guruku Suami Rahasiaku

Seiring waktu, putri semakin terbuka. Sayangnya, keterbukaannya malah bikin banyak orang geleng-geleng kepala.

Ia mulai sering datang ke ruang guru dengan alasan “nanya pelajaran”, padahal cuma pengen ngobrol dengan Yudhistira.

“Pak, saya boleh minta tambahan penjelasan soal makna majas metafora?” tanya Clara suatu hari.

“Sudah saya jelaskan di kelas, Clarissa.” jawab Yudhistira dingin

“Iya, tapi kalau Bapak yang jelasin lagi, kayaknya saya bisa paham lebih dalam…” kata putri dengan senyum menggoda.

Yudhistira menghela napas panjang. “Clarissa, kamu bisa tanya ke ketua kelas, Yunita. Dia pasti paham.”

“Oh, Yunita?” putri menatap ke arah pintu, lalu tersenyum kecil. “Kayaknya aku lebih cocok belajar langsung sama Bapak.”

Yudhistira menatapnya datar. “Saya tidak menerima bimbingan pribadi, kecuali lewat jadwal resmi.”

putri tersipu, tapi jelas terlihat ia tidak menyerah.

Dan Yunita yang berdiri di luar pintu karena tadi disuruh mengantar kertas hanya bisa menahan tawa.

Begitu gadis itu keluar, Yunita masuk sambil membawa berkas. “Pak, tanda tangan untuk laporan minggu ini.”

Yudhistira melirik istrinya dengan wajah capek. “Kamu denger semua?”

“Denger. Seru banget, lho, kayak nonton drama cinta sepihak.” jawab Yunita

“Kamu jangan ikut-ikutan, nanti tambah kacau.” ujar Yudhistira kesal

Yunita menyeringai. “Tenang aja, aku cuma mau duduk manis sambil lihat siapa yang lebih sabar suamiku, atau murid barunya.”

Keesokan harinya, di kelas olahraga, Putri kembali mengeluarkan jurus centilnya.

“Yunita, kamu katanya deket sama Pak Yudhistira, ya?” tanya putri saat mereka ganti baju di ruang ganti.

Yunita berhenti sebentar. “Hmm, iya. Deket banget malah.”

“Wah, kamu beruntung ya bisa sering ngobrol sama beliau. Aku aja baru liat dia sekali, udah klepek-klepek.” ujar Yunita

Yunita tersenyum datar. “Hati-hati, nanti kebanyakan klepek malah pingsan.”

“Ah, kamu iri ya?” sindir putri

Yunita menatapnya lembut tapi tajam. “Enggak. Cuma kasian aja. Kamu jatuh cinta sama orang yang udah punya cincin di jari manisnya.”

putri terkejut. “Hah? Maksud kamu?”

Yunita mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin di jarinya. “Cincin yang sama kayak yang dipakai guru killer itu, sayang.”

putri membeku di tempat. “Tunggu… JANGAN BILANG—”

“Yup,” potong Yunita cepat. “Pak Yudhistira itu suami aku.”

Rara yang baru masuk ke ruang ganti langsung ngakak. “Wah! Kena batunya, Putri!”

Wajah putri merah padam, antara malu dan tidak percaya. “Serius?! Kamu… kamu istri dia beneran?”

“Kalau kamu gak percaya, boleh ikut makan malam di rumah,” jawab Yunita santai sambil menepuk pundaknya. “Tapi nanti jangan baper liat dia nyuapin aku, ya.”

putri langsung menutup mulutnya, tidak bisa berkata apa-apa lagi

----

Sore itu, Yunita dan Yudhistira pulang bersama. Di dalam mobil, Yunita tertawa tanpa henti.

“Kamu kenapa?” tanya Yudhistira curiga.

“Murid baru kamu, Pak! Udah kayak pemeran sinetron remaja. Dia tadi nembak kamu, loh!” ujar Yunita

Yudhistira memegang kemudi dengan tenang. “Saya udah duga. Tapi saya gak nyangka kamu yang akhirnya ngasih ‘pelajaran’ langsung.”

“Ya biar tahu siapa yang berkuasa,” kata Yunita sambil nyengir.

“Berkuasa, ya?” Yudhistira meliriknya dengan senyum misterius. “Nanti kita lihat siapa yang berkuasa di rumah.”

Yunita menelan ludah. “Eh… maksudnya?”

“Tugas rumah siapa yang belum beres?” tanya Yudhistira

“Eh… aku kan masak tadi pagi—”

“Dan bak cuci piringnya?”

Yunita langsung cengengesan. “Oke, oke. Aku kalah.”

Mereka berdua tertawa sepanjang jalan pulang.

Dan malam itu, saat Yunita menulis di buku hariannya lagi, ia menulis satu kalimat yang membuatnya tersenyum kecil:

“Hari ini aku belajar satu hal jadi istri guru memang berat, tapi ngeliat murid centil yang akhirnya nyerah itu rasanya... manis banget.” ucap Yunita

Di luar, bulan menggantung tinggi.

Hubungan mereka mungkin dimulai dari gosip, tapi kini berdiri kokoh di tengah tawa, kejenakaan, dan cinta yang semakin matang setiap hari.

Bersambung