Cerita ini tidak melibatkan sejarah manapun karena ini hanya cerita fiktif belaka.
Di sebuah kerajaan Tiongkok kuno yang megah namun diliputi tirani, hidup seorang gadis berusia enam belas tahun bernama Hua Mulan, putri dari Jenderal Besar Hua Ren, pangeran ketiga yang memilih pedang daripada mahkota. Mulan tumbuh dengan darah campuran bangsawan dan suku nomaden, membuatnya cerdas, kuat, sekaligus liar.
Saat sang kaisar pamannya sendiri menindas rakyat dan berusaha menghancurkan pengaruh ayahnya, Mulan tak lagi bisa diam. Ia memutuskan melawan kekuasaan kejam itu dengan membentuk pasukan rahasia peninggalan ayahnya. Bersama para sahabat barunya — Zhuge sang ahli strategi, Zhao sang pendekar pedang, Luan sang tabib, dan Ling sang pencuri licik — Mulan menyalakan api pemberontakan.
Namun takdir membawanya bertemu Kaisar Han Xin dari negeri tetangga, yang awalnya adalah musuhnya. Bersama, mereka melawan tirani dan menemukan cinta di tengah peperangan.
Dari seorang gadis terbuang menja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Perjalanan menuju Gunung Jade memakan waktu dua hari. Di setiap desa yang ia lewati, orang-orang masih mengenang nama Han Xin bukan sebagai kaisar, tapi sebagai simbol kesetiaan dan pengorbanan.
Dan pada pagi hari ketiga, Mulan tiba di kaki gunung itu.
Di tengah hutan pinus, ada sebuah paviliun tua dengan batu nisan besar bertuliskan:
Kaisar Han Xin, Penjaga Cahaya Dunia.
Bunga liar tumbuh di sekelilingnya. Di depannya, sebuah pedang tua tertancap di tanah bilahnya retak, tapi gagangnya masih berkilau samar oleh cahaya merah dan perak.
Mulan berlutut pelan, tangannya bergetar ketika menyentuh gagang pedang itu.
“Han Xin…” suaranya bergetar. “Aku kembali.”
Angin gunung berembus lembut. Daun pinus berjatuhan, menari di sekelilingnya. Suasana sunyi, hanya ada detak jantung Mulan dan desir angin.
Ia memejamkan mata, air matanya jatuh. “Aku ingin kau tahu… dunia aman sekarang. Semua yang kita impikan sudah terwujud.”
Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari arah belakang. Mulan menoleh cepat.
Seorang pria berusia sekitar 35 tahun berdiri di sana. Rambutnya hitam dengan sedikit uban di ujung, wajahnya teduh namun tegas dan yang paling mengejutkan, matanya berwarna merah kecokelatan, sama seperti Han Xin.
Mulan terpaku.
Pria itu menatapnya lama, lalu berjalan perlahan mendekat.
“Aku tidak tahu kenapa,” katanya lembut, “tapi melihatmu membuat dadaku berdebar… seolah aku mengenalmu sejak lama.”
Mulan tak bisa menjawab. Suaranya tercekat.
“Namamu… siapa?” tanyanya pelan.
“Han Xian,” jawab pria itu. “Aku keturunan keluarga Han. Kakek buyutku dulu pernah berkata… darah kami berasal dari seorang ksisar yang pernah mencintai seorang wanita bernama Hua Mulan.”
Mulan menatapnya dengan air mata yang mulai mengalir deras. “Han Xian…”
Ia tidak tahu apakah ini kebetulan atau takdir. Tapi di mata pria itu, ia melihat semua hal yang dulu ia cintai ketenangan, keberanian, dan kasih yang lembut.
Han Xian tersenyum samar. “Lucu ya, nona. Nama dan wajahmu mirip sekali dengan pahlawan dalam kisah itu.”
Mulan mengangguk pelan. “Mungkin… karena aku ingin menepati janjinya.”
Mereka berdiri lama di depan nisan itu, dalam diam yang menghangatkan. Angin berembus membawa wangi pinus dan suara lembut seperti nyanyian naga yang jauh.
Han Xian lalu menunduk dan menaruh bunga liar di depan nisan. “Kakek buyutku berpesan, setiap tahun pada hari ini, keturunannya harus datang membawa bunga ini bunga merah dan perak dari lembah Niu Ling.”
Mulan tertegun. “Merah dan perak…”
Han Xian mengangguk. “Katanya, dua warna itu melambangkan dua jiwa yang menyatu demi dunia.”
Mulan menatap bunga itu dengan senyum penuh air mata. “Ya… dua jiwa yang tidak akan pernah terpisah.”
Mereka berdua duduk di sana hingga senja, berbagi kisah tentang dunia yang berubah, tentang legenda yang kini hanya tinggal cerita. Tapi di antara tawa lembut dan keheningan, ada sesuatu yang tumbuh kehangatan yang sama seperti dulu.
Malam pun tiba. Bulan naik perlahan di langit, memantulkan sinarnya di bilah pedang tua di depan mereka. Warna merah dan perak tampak menari di permukaannya.
Han Xian menatapnya heran. “Aneh… pedang itu seperti bernapas.”
Mulan tersenyum tipis. “Itu hanya pantulan cahaya,” ujarnya pelan. Tapi dalam hatinya, ia tahu itu bukan sekadar cahaya.
Itu adalah sapaan lembut dari Han Xin, dari cinta yang tak pernah padam.
Ia menoleh pada Han Xian, menatap wajahnya yang diterangi cahaya bulan.
“Aku rasa… aku ingin tinggal di sini,” kata Mulan lembut.
“Di gunung ini?” tanya Han Xian.
Mulan mengangguk. “Aku ingin menjaga tempat ini. Tempat di mana cinta dan damai pernah lahir.”
Han Xian tersenyum, lalu mengangguk. “Kalau begitu, aku akan menemuimu setiap tahun, pada hari yang sama.”
“Janji?”
“Janji.”
Mulan menatap langit dua bintang merah dan perak bersinar berdampingan di atas sana, tenang dan indah.
“Han Xin,” bisiknya dalam hati, “aku menepati janjiku. Dunia sudah damai. Dan kini aku hidup kembali, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai manusia yang belajar mencintai.”
Tahun-tahun pun berlalu.
Desa di kaki Gunung Jade mulai mengenal perempuan berwajah lembut yang selalu menaruh bunga merah dan perak di depan nisan kaisar Han Xin. Anak-anak menyebutnya “penjaga gunung”, para penduduk menghormatinya seperti orang suci.
Tak ada yang tahu siapa sebenarnya dirinya.
Tapi setiap kali angin berhembus, terdengar suara lembut berbisik di antara pepohonan pinus:
“Dua naga terbang di langit, satu merah satu perak.
Mereka tak berperang lagi, hanya menjaga cinta yang abadi.”
Dan di bawah cahaya bulan, Mulan tersenyum hatinya tenang, karena meski waktu terus berjalan, cinta itu… tetap hidup.
Bersambung