Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayar plus bonus nya
“Oma, jangan dulu ngomong masalah nikah. Cantika masih kuliah, biar dia capai cita-citanya dulu,” kata Albert dengan nada lembut namun tegas.
Oma Zoya menghela napas panjang.
“Kamu ini gimana sih, Al? Udah nikah masih bisa kuliah, kan? Lagian umur kamu udah tiga puluh tahun. Menurut Oma, lebih baik kalian buru-buru menikah,” ucapnya sambil melirik Cantika.
Albert tersenyum, berusaha menenangkan suasana.
“Biar nanti kita bicarakan lagi ya, sayang,” katanya sambil menggenggam tangan Cantika, membuat sandiwara mereka terlihat semakin meyakinkan.
Cantika mengangguk pelan, senyumnya lembut menutupi kegugupan yang mulai merayap.
“Iya, Oma… Tika cuma ingin menata masa depan dulu, biar nanti bisa lebih pantas bersanding sama Mas Albert.”
Oma Zoya berdecak kecil, lalu mengusap punggung tangan Cantika dengan kasih.
“Kamu tuh udah pantas, Nak. Gak ada syarat khusus buat jadi istri Albert.”
Cantika hanya mampu menelan ludah. Mampukah ia terus menguasai drama yang ia ciptakan bersama Albert? Atau justru ia akan terjerumus dalam sesuatu yang tak pernah ia inginkan?
Makan siang pun berakhir, percakapan hangat di meja makan berubah menjadi suasana pamit. Semua bersiap untuk pulang.
“Al, kamu antar Cantika pulang, ya. Oma pulang sama supir, soalnya udah nunggu di luar,” ujar Oma Zoya sambil berdiri.
Albert mengangguk sopan. “Iya, Oma.”
Cantika menunduk hormat, lalu mencium punggung tangan Oma Zoya.
“Makasih, Oma, buat hari ini. Maaf udah merepotkan, apalagi belanjanya banyak banget.”
Oma Zoya terkekeh kecil, wajahnya hangat.
“Ah, tak masalah, Sayang. Sekali-kali Oma pengin ngajak kamu belanja. Jangan kapok ya jalan sama Oma. Lain waktu kita jalan lagi.”
Cantika tersenyum lembut. “Iya, Oma.”
Sebelum Cantika melangkah pergi, Oma Zoya sempat mengecup pipinya singkat, seolah benar-benar menganggap Cantika seperti cucunya sendiri.
“Hati-hati di jalan, ya.”
“Oma juga hati-hati,” balas Cantika tulus.
Albert pun segera menggenggam tangan Cantika, berjalan dengan romantis. Seakan menunjukkan bahwa mereka adalah kekasih sesungguhnya.
Oma Zoya yang berjalan di belakang mereka tersenyum, hatinya sangat lega melihat Albert sudah memiliki kekasih. Bahkan sesuai dengan kriteria yang dia inginkan.
**
Jalanan sore itu cukup padat. Deru kendaraan bersahutan, lampu-lampu mulai menyala, dan langit mulai memudar kejinggaan. Cantika terus menatap keluar jendela, matanya mengikuti gedung-gedung tinggi yang mereka lewati, seolah berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa canggung di dada.
“Tika, kamu tadi belanja banyak sama Oma, ya?” tanya Albert, memecah keheningan.
Cantika menoleh cepat, lalu tersenyum kikuk. “Iya, Tuan. Padahal saya udah nolak, tapi Oma maksa.”
Albert terkekeh pelan. “Gak apa-apa. Ikuti aja kemauannya. Oma tuh gak suka kalau ditolak.”
“Tapi saya gak enak, Tuan... barang-barangnya mahal semua.”
Albert menatap ke depan, matanya tenang namun suaranya lembut.
“Gak masalah, Cantika. Uang segitu gak sebanding dengan kebahagiaan Oma.”
Cantika melirik sekilas, senyumnya tipis. “Tuan Albert pasti sayang banget, ya, sama Oma?”
Albert mengangguk pelan. “Iya. Oma satu-satunya orang yang paling saya sayangi sekarang.”
Cantika sempat ingin bertanya lebih jauh. “Emm... kalau—”
“Yang lainnya saya gak peduli,” potong Albert cepat, suaranya datar namun dalam.
Cantika terdiam. Matanya kembali menatap ke luar jendela. Ada sesuatu di nada suara Albert, dingin, tapi menyimpan luka yang tak ia mengerti.
Suasana kembali tenggelam dalam keheningan. Hanya suara wiper yang sesekali berderik di kaca depan, menghapus sisa gerimis yang turun pelan.
Cantika melirik ke arah Albert sekilas. Wajah pria itu tampak tenang, tapi ada sesuatu di balik ketenangannya, seolah menyimpan beban berat yang tak pernah diceritakan pada siapa pun.
“Maaf, Tuan... kalau tadi saya lancang,” ucap Cantika hati-hati.
Albert tak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, bibirnya terkatup rapat, lalu berkata dengan suara rendah, “Kamu gak salah. Cuma... ada hal-hal yang gak perlu diungkit lagi.”
Cantika menunduk, jemarinya meremas tas di pangkuan.
“Saya ngerti, Tuan. Kadang diam memang lebih baik daripada harus ngomong sesuatu yang bisa nyakitin diri sendiri.”
Albert menoleh sekilas, sorot matanya sedikit melunak. “Kamu pernah ngerasain itu juga, ya?”
Cantika tersenyum hambar. “Sering, Tuan. Tapi gak apa-apa, dari situ saya belajar buat gak berharap terlalu banyak sama siapa pun.”
Albert terdiam, seolah kalimat itu menampar hatinya sendiri.
Untuk sesaat, hanya desiran angin yang terdengar. Tapi di antara mereka, ada sesuatu yang perlahan tumbuh, bukan cinta, bukan juga iba, melainkan semacam rasa mengerti satu sama lain.
Mobil terus melaju, membawa dua orang dengan luka masing-masing, yang tanpa sadar mulai saling menyembuhkan lewat percakapan kecil di antara jeda hujan sore itu.
Tak terasa, mobil berhenti di depan rumah sederhana Cantika. Lampu teras sudah menyala, memantulkan cahaya kekuningan yang hangat di antara rintik hujan yang mulai reda.
“Udah sampai,” ucap Albert pelan sambil mematikan mesin mobil.
Cantika menoleh, lalu mengangguk sopan. “Terima kasih udah nganter, Tuan.”
“Iya.” Albert menatap ke depan sejenak sebelum melirik padanya. “Kamu istirahat aja, ya. Jangan terlalu banyak mikir. Oma pasti senang banget hari ini.”
Cantika tersenyum kecil, meski matanya masih menyiratkan keraguan.
“Iya, Tuan. Tapi saya tetep ngerasa gak enak... takut nanti ketahuan kalau semua ini cuma...”
Ucapan Cantika terhenti di udara.
Albert menatapnya dalam, lalu berkata tenang, “Jangan pikirin itu dulu. Selama kita jaga peran masing-masing, semuanya akan baik-baik aja.”
Cantika menunduk, bibirnya sedikit bergetar. “Baik, Tuan. Saya pamit dulu.”
Albert mengangguk pelan. “Bayaran kamu nanti saya transfer, ya.”
“Euu... nggak usah, Tuan,” tolak Cantika cepat-cepat.
Kening Albert sedikit berkerut. “Kenapa?”
Cantika menunduk, mencoba mencari alasan yang masuk akal.
“Belanjaan ini aja udah cukup, Tuan. Saya udah dikasih banyak banget.”
Albert tersenyum samar, separuh heran, separuh kagum.
Sosok LC sewaan yang menolak uang, baginya itu hal langka.
“Anggap aja baju-baju itu bonus,” ucapnya tenang. “Tapi bayaran tetap harus kamu terima, itu bagian dari kesepakatan kita.”
“Tapi—”
“Gak usah ada tapi,” potong Albert tegas namun lembut. “Nanti bayaran akan saya transfer.”
Setelah mengatakan itu, Albert menutup kaca mobilnya perlahan, lalu melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah Cantika.
Cantika berdiri mematung di tempat, menatap mobil itu sampai benar-benar hilang dari pandangan. Ia menghela napas panjang, lalu melirik tumpukan paperbag di tangannya.
“Astaga... baik banget sih orang itu,” gumamnya lirih, setengah tak percaya.
Namun baru saja ia hendak melangkah masuk, pintu rumahnya terbuka dari dalam. Seorang pria muncul, wajahnya tegas, dengan sorot mata yang penuh tanya.
“Mobil siapa itu, Tik?” suara Arkana terdengar rendah namun menusuk.
Jantung Cantika langsung berdegup kencang. Tangannya refleks menggenggam kuat pegangan kantong belanjaan.
“Dok...” hanya itu yang sempat keluar dari bibirnya, sementara pikirannya mulai kalut mencari alasan yang bisa menyelamatkannya malam itu.