Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTUNANGAN BERDARAH
Pagi itu, udara masih diselimuti kabut tipis. Luna duduk di tepi ranjang hotelnya. Matanya menatap kosong pada layar ponsel yang baru saja masuk notifikasi. Sebuah pesan singkat yang dikirimkan Ares.
“Aku akan bertunangan besok. Aku mohon datanglah.”
Pesan itu begitu singkat, namun membuat Luna bingung. Mengapa harus secepat ini. Baru saja Ares mengabari 2 hari yang lalu ia akan bertunangan.
Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalanya. Untuk apa Ares mengundangnya? apa maksudnya memohon kehadiran Luna, sementara dunia akan tahu, Ares memilih Celine?
Luna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia ingin menangis, namun entah mengapa air matanya tertahan. Seolah sudah tidak ada lagi stok air mata nya.
Siang menjelang, Luna akhirnya memutuskan untuk menemui Nuri dan Noval, dua sejoli yang kini selalu ada di sisinya. Namun, baru saja mobilnya melewati persimpangan jalan, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya penasaran.
Sebuah mobil hitam dengan nomor plat yang sangat ia kenali. Yaitu mobil milik Ares. Naluri spontan membuat Luna membelokan kemudi, mengikuti mobil Ares dari belakang.
Mobil Ares berhenti di depan gerbang pemakaman. Ares turun, dengan kemeja kerja yang familiar bagi Luna.
Luna memarkirkan mobil agak jauh, lalu keluar dan mengikutinya diam-diam. Dari balik pohon besar, ia melihat Ares berdiri di depan dua batu nisan sederhana.
Itu adalah makam ayah dan ibu Luna.
Luna tertegun, tubuhnya nyaris membeku ketika mendengar suara lirih Ares.
“Pak… bu… maafkan aku. Aku gagal memenuhi janji untuk selalu ada di sisi Luna. Aku terpaksa melakukan ini. Aku ingin Luna selamat. Jika aku mundur, justru Luna yang akan menjadi korbannya. Aku rela menanggung semuanya, asal bukan dia korbannya.”
Suara Ares bergetar. Tangan besarnya memegang erat batu nisan ayah Luna. Seolah menyandarkan diri pada ayah Luna.
“Aku tahu aku sangat pengecut. Tapi, sedetikpun aku tidak pernah berhenti mencintai Luna.”
Luna menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan isak tangis yang hampir pecah. Tubuhnya gemetar. Jadi benar, semua yang ia lakukan bukan karena cinta pada Celine? Lalu untuk apa ia melakukan ini?
Ares kemudian mengusap batu nisan itu pelan, lalu berdiri memandangi batu nisan dengan tatapan kosong. Ia kembali ke mobil dan melaju pergi. Luna masih berdiri terpaku disana, dadanya terasa penuh oleh rahasia yang baru saja terungkap.
Sore itu, Luna akhirnya tiba di kafe kecil tempat ia berjanji bertemu dengan Noval dan Nuri. Mereka berdua sudah cukup lama menunggu kehadiran Luna. Begitu mereka melihat wajah cemas Luna, mereka berubah menjadi cemas.
“Lun, kamu kenapa?” Nuri dengan cepat, meraih tangan Luna.
Luna duduk, menarik napas panjang, lalu menceritakan semuanya. Tentang pesan undangan dari Ares, tentang ia yang tanpa sengaja mengikuti Ares ke pemakaman, tentang kalimat-kalimat dari Ares di pemakaman yang membuatnya shock.
Noval terdiam lama, menatap meja dengan alis berkerut. “Kalau memang benar begitu, sepertinya Ares sengaja mengundangmu ke pertunangannya hanya untuk menipu Celine. Ia ingin Celine mengira bahwa rencananya berhasil. “
Nuri mengangguk setuju. “Dari awal aku juga mengira Ares tidak benar-benar mengkhianatimu. Ares sering terlihat marah tapi juga melindungimu diam-diam. Tapi yang menjadi ketakutan…” Nuri menggigit bibirnya. “Jika Celine menyadarinya, bisa saja ia melakukan hal yang lebih gila lagi.”
Luna hanya menunduk. Kata-kata mereka semakin membuat hati dan pikirannya kacau. Namun satu hal yang harus ia lakukan. Ia harus datang ke pertunangan Ares dan Celine.
***
Hari pertunangan pun tiba. Sebuah hotel mewah di pusat kota menjadi saksi perayaan itu. tamu undangan berdatangan. Kebanyakan dari mereka membawa kamera dan merekam pesta tersebut untuk sebuah konten. Mengingat Celine adalah selebriti media sosial.
Tamu undangan datang dengan pakaian glamor, musik lembut mengalun, semua sangat terlihat sempurna.
Saat Luna melangkah masuk ke aula bersama Noval dan Nuri, dengan gaun biru sederhananya, tatapan langsung mengarah kepadanya. Belum sempat ia merasa canggung, ibu Ares berlari menghampirinya dari arah depan.
Begitu melihat kehadiran Luna, ibu Ares tidak bisa menahan air matanya. Ia langsung mendekap Luna erat-erat, tubuhnya bergetar hebat.
“Luna…” isaknya. “Nak, maafkan Ares, maafkan ibu.”
Luna terkejut, matanya ikut berkaca-kaca. Luna berusaha menenangankan ibu Ares, namun ia semakin sesegukan, membuat beberapa tamu melirik ke arah mereka yang sedang berpelukan.
Dengan suara parau, ibu Ares berbisik, “Jangan pernah membenci Ares Luna. Apapun yang terjadi, jangan pernah.”
Luna tertegun.
Ia tak tahu harus menjawab apa. Matanya perlahan mengarah ke arah Ares berdiri. Ares memperhatikan Luna dan Ibunya berpelukan dengan sorot mata seolah ingin menyampaikan sesuatu.
Pelukan itu terasa sangat berat, Luna dapat merasakan rahasia yang sedang di pendam oleh mertuanya itu. Hanya isak tangis yang Luna dengar saat itu.
Di panggung utama, Celine berdiri anggun dengan gaun berwarna keemasan. Di sampingnya Ares berdiri dengan jas hitam elegan. Namun dari kejauhan, Luna bisa melihat rahang Ares mengeras, matanya tidak benar-benar menatap Celine.
Acara dimulai dengan sambutan keluarga, doa, lalu penguman resmi pertunangan. Semua berjalan normal seperti pesta pertunangan pada umumnya, sampai tiba-tiba, tepat saat cincin selesai di kenakan, suara letusan keras terdengar dari arah pintu masuk.
Dor!
Kepanikan langsung melanda ruangan. Tamu-tamu berteriak, berhamburan mencari perlindungan.
Luna spontan menunduk, tubuhnya gemetar. Kedua tangan Noval meraih tangan Luna dan Nuri kemudian menarik ke arah belakang panggung untuk berlindung, khawatir akan ada tembakan susulan setelah itu.
Ares reflek memeluk Celine, tapi sorot matanya menajam, mencari arah datangnya suara. Beberapa detik kemudian, terdengar teriakan dari salah seorang tamu:
“Orang bersenjata! Ada yang menembak. Lihat kue pertunangannya.”
Terlihat kue pertunangan dengan dekorasi mewah bertaburan akibat tembakan peluru.
Para satpam berlarian, musik berhenti mendadak. Situasi menjadi kacau.
Namun satu hal yang Luna, Noval dan Nuri sadari, arah peluru tersebut sebenarnya mengarah ke Luna karena Luna berdiri tepat disisi kue pertunangan tersebut.
Semua orang mengira temakan itu di tujukan pada Ares dan Celine. Namun dari posisi yang terjadi jelas targetnya adalah Luna.
Pihak keamanan mencoba menutup akses, untuk mengetahui pelaku penembakan. Namun si penembak, lenyap entah kemana.
Luna duduk terdiam di kursi, wajahnya pucat pasi. Nuri memegang bahu Luna erat. “Luna, kamu baik-baik saja? Apa sebaiknya kita pulang saja?”
Luna mengangguk lemas. Berusaha melengkungkan senyum di bibirnya.
Ares yang masih di panggung, menatap ke arah Luna dari jauh. Sekilas, ada kepanikan di matanya. Celine justru tersenyum samar, seolah puas menunjukan pada Luna bahwa kejadian buruk hampir menimpanya dan Luna kali ini hanya beruntung selamat dari insiden itu.
Luna menggenggam tangan Nuri dengan erat. Jantungnya berdegup dengan kencang.
Malam itu, acara ditutup dengan kekacauan. Walaupun pertunangan Ares dan Celine sudah di laksanakan.
Namun bagi Luna, Nuri dan Noval, yang menjadi ketakutan bukanlah kegaduhan yang terjadi, melainkan kenyataan bahwa tindakan semakin liar, bahkan bisa merenggut nyawa.
Di balik semua permainan gosip, foto, dan manipulasi, kini yang paling menakutkan adalah nyawa yang dipertaruhkan.
Dan ketika Luna kembali ke hotelnya malam itu, belum sempat ia merebahkan tubuhnya, ia menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal:
“Peluru tadi hanya peringatan. Lain kali, tidak akan meleset.”
Luna menjatuhkan ponsel dari tangannya dan terduduk di lantai. Tubuhnya lemas, dunia serasa runtuh. Waktu seakan menghitung mundur menuju sesuatu yang lebih berbahaya lagi.