FB Tupar Nasir, ikuti FB nya ya.
Diam-diam mencintai kakak angkat. Namun, cintanya tidak berbalas. Davira, nekad melakukan hal yang membuat seluruh keluarga angkatnya murka.
Letnan Satu Arkaffa Belanegara, kecewa dengan kekasihnya yang masih sesama anggota. Sertu Marini belum siap menikah, karena lebih memilih jenjang karir yang lebih tinggi.
Di tengah penolakan sang kekasih, Letnan Arkaffa justru mendapat sebuah insiden yang memaksa dia harus menikahi adik angkatnya. Apa yang terjadi?
Yuk kepoin.
Semoga banyak yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Berpamitan
Hari itu, toko buku kecil milik Pak Herman terasa lebih sepi dari biasanya. Lampu neon di langit-langit berkedip samar, bau kertas lama bercampur dengan hujan yang merembes dari jalanan. Suara tik-tik hujan di atap seng terdengar bagai denting perpisahan. Davira berdiri di balik meja kasir, menatap selembar amplop berisi surat pengunduran dirinya yang sudah ia tulis semalaman.
Tangannya bergetar saat menyerahkan amplop itu pada lelaki paruh baya berkacamata yang sedang menyusun buku di rak. "Pak Herman… saya mau bicara sebentar," ucapnya pelan.
Pak Herman menoleh, tersenyum ramah. "Ada apa, Vira? Tumben mukanya serius sekali?"
Davira menunduk, suaranya bergetar. "Saya… mohon izin pamit, Pak. Mulai minggu depan saya tidak bisa lagi bekerja di sini."
Pak Herman terdiam. Tangannya yang tadi meraih buku berhenti di udara. Ia menatap Davira lama, lalu menerima amplop itu. "Pamit? Kenapa, Nak? Apa ada yang salah dengan toko ini?"
Air mata hampir jatuh dari pelupuk mata Davira. Ia buru-buru menggeleng. "Tidak, Pak. Justru saya sangat berterima kasih. Bapak sudah menolong saya sejak awal, memberi pekerjaan saat saya tidak tahu harus ke mana. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Bapak."
Pak Herman menghela napas, tersenyum getir. "Lalu, kenapa? Bukankah kamu butuh pekerjaan ini?"
Davira menggenggam jemari erat-erat. "Ada tawaran kerja di sebuah perusahaan, Pak. Sebagai resepsionis. Saya pikir … ini kesempatan yang harus saya coba."
Lelaki tua itu mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca, meski senyum masih mengembang. "Ah, jadi begitu? Syukurlah. Saya kira kamu tidak betah di sini. Jujur saja, Vira, saya sudah lama merasa bersalah. Gaji di sini terlalu kecil untuk anak muda seusiamu. Kalau ada kesempatan lebih baik, tentu harus kamu ambil." Pak Herman terdengar sangat pengertian.
"Pak…." Suara Davira tercekat. "Saya benar-benar berhutang budi pada Bapak. Kalau bukan karena toko ini, mungkin saya tidak bisa bertahan."
Pak Herman menepuk pundaknya lembut. "Tidak usah berhutang budi. Saya hanya menolong sebisa saya. Lagipula, kamu pekerja jujur dan rajin. Doa saya, semoga kamu lebih sukses di tempat baru."
Davira tidak kuasa menahan air mata. Ia menunduk dalam, lalu mencium tangan Pak Herman dengan penuh hormat. "Terima kasih banyak, Pak. Mohon doa restunya."
"Pergilah, Nak. Jangan menoleh ke belakang. Hidupmu masih panjang. Tapi ingat, kalau lelah, toko ini selalu terbuka untukmu," ujar Pak Herman tulus.
Davira terisak pelan. Dalam hatinya, rasa syukur sekaligus haru menyelimuti. Toko buku ini sudah seperti rumah kedua, dan Pak Herman seperti ayah yang selalu menguatkan. Meninggalkannya bukan hal mudah, tapi ia tahu harus melangkah.
***
Pagi pertama di kantor baru, langkah Davira terasa ringan sekaligus bergetar ketika ia menginjakkan kaki di lobi PT Graha Nusantara Sejahtera. Plang besar di dinding menyambutnya dengan megah, kontras dengan toko buku kecil yang sederhana. Di sini, ia resmi memulai hidup baru sebagai resepsionis.
Seragam putih biru muda membalut tubuhnya, tanda pengenal tergantung di dada. Ia sempat gugup saat diperkenalkan dengan staf lain, tapi sambutan ramah dari beberapa rekan membuat hatinya sedikit tenang.
Hari-harinya perlahan terbentuk, bangun pagi bersama teman-teman mess, berangkat dengan bus karyawan, menyapa setiap tamu yang datang ke lobi, lalu pulang sore dengan tubuh lelah. Kehidupannya kini stabil, meski jauh dari sederhana yang dulu. Ia mulai terbiasa dengan jadwal padat, pekerjaan administratif, hingga senyum formal yang harus selalu dipasang meski hati penat.
Mess tempat tinggalnya jauh lebih layak daripada kontrakan kecilnya dulu. Ada ranjang bertingkat, kamar mandi bersih, dan dapur sederhana untuk bersama. Meski harus berbagi dengan dua rekan kerja lain, Davira merasa hidupnya lebih manusiawi.
Namun, perubahan itu juga membuatnya semakin sulit ditemukan. Ia jarang keluar mess, hanya sesekali berbelanja atau mencari udara segar. Seolah semua akses yang mungkin menghubungkannya dengan masa lalu kini tertutup rapat.
***
Di tempat berbeda. Malam itu layar ponsel Kaffa kembali redup. Puluhan chat yang ia kirim hanya dibalas centang biru tanpa jawaban berarti. Jempolnya sempat berhenti di nama seorang adik leting, lalu menekan tombol hapus pesan sebelum sempat terkirim. Rasanya sia-sia. Seakan setiap jalan yang ia coba selalu berujung buntu.
Kaffa menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Di ruang kamarnya yang gelap, hanya detak jam dinding terdengar. Ada kelelahan yang sulit ia ungkapkan, lelah mencari, lelah berharap, tapi juga tidak pernah sanggup menyerah.
Di sisi lain, Arda tampak semakin bahagia. Ia sering turun ke lobi sekadar menyapa, kadang mampir ke mess mengantarkan makanan. Semua dilakukan tanpa pamrih, hanya dengan niat menjaga. Tapi dalam hatinya, benih perasaan tumbuh semakin kuat.
Suatu malam, Arda datang dengan bungkusan berisi sup hangat. Hujan rintik di luar membuat aroma kuahnya semakin menggoda. Davira, yang baru saja selesai mandi dengan rambut masih setengah basah, tertegun melihat Arda berdiri di depan pintu mess sambil tersenyum.
"Mas Arda? Malam-malam begini ke sini?" tanya Davira, suaranya ragu, tapi ada nada hangat di balik suaranya.
"Aku tahu kamu pasti capek. Jadi kupikir sup hangat bisa sedikit menenangkan," jawab Arda ringan. Ia menyerahkan bungkusan itu, jemarinya sempat bersentuhan dengan jemari Davira. Sekejap, kehangatan samar menyusup ke hati keduanya.
Davira buru-buru menarik tangannya, wajahnya memerah. "Terima kasih, tapi Mas tidak perlu repot-repot."
"Tidak repot, Vira. Justru aku senang bisa melakukan hal kecil untukmu," kata Arda lembut. Tatapannya menembus, seakan ingin mengatakan lebih banyak daripada yang ia ucapkan.
Davira menunduk, menyembunyikan debaran yang tiba-tiba menyeruak. Ia tahu, tidak seharusnya hatinya bergetar. Ada nama lain yang masih ia genggam di dalam doa. Namun perhatian Arda begitu tulus, begitu hangat, hingga sulit menolak getar samar yang perlahan hadir.
Arda melanjutkan dengan nada bercanda, "Kalau besok kamu sakit karena kehujanan, siapa yang repot? Aku juga, kan? Jadi ini sekalian pencegahan."
Ucapan itu membuat Davira tanpa sadar tersenyum tipis. Senyum yang begitu langka, dan justru semakin membuat Arda jatuh hati.
Malam itu, saat Davira menutup pintu mess, ia bersandar sejenak. Wajahnya panas, dadanya bergemuruh. "Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya lirih. Ia tahu jawabannya, meski enggan mengakuinya.
Arda, dari kejauhan, berjalan kembali ke mobilnya. Hatinya penuh keyakinan kecil. Ia tidak ingin terburu-buru, tapi ia tahu, ia telah menyentuh sesuatu di hati Davira.
Malam semakin larut. Davira duduk di tepi ranjang mess, memandangi sup hangat yang tersisa di meja kecil. Matanya basah, bukan hanya karena terharu, tapi juga karena takut. Takut jika suatu saat perasaannya melangkah terlalu jauh, sementara hatinya masih terikat pada Kaffa.
Namun satu hal pasti, sejak hari itu, Davira tahu hidupnya tak lagi sama.
dr awal sudah dianggap rendahan..
klo kafa g suka mending talak aja biarkan davira bahagia dgn caranya
krn tdk prnh mo jujur tu yg sdh bw davira dlm kebodohanx😏🙄
sm halx dgn diri qt,
suami mna yg tdk marah lo dpati qt ber2 sm laki" lain sx pun qt cm anggap tmn yg suami qt tdk knl???
psti mrh kan....
sm lo suami qt kdpatan ber2 sm perem lain qt j9 psti marah.
z ttap d pihak kafa, krn sbgai istri tdk mnjaga MARWAHNYA.
pinterx cm mghilang sj n jd prempuan bodoh.
z jd jemek jengkel dgn sifat davira ni, dsni jd tokoh utama tp tokoh utamax goblok bin o'on🙄🙄🙄
bner yg d blg kafa lo davira ni pengecut, kafa jg tdk slh dgn kata" yg d lontarkan buka sj hijab mu n menarikx hingga lepas
krn kafa jg py hAk krn suamix, lo kafa blg bk sj hijab mu mang benar ...
krn apa....krna davira goblok, sbgai istri tdk bs mnjaga MARWAHNYA
seenakx jln sm laki" lain bhkan smpe dbw krmh ortux,
untung ortux arda menolak
jd perempuan tu hrs tegas davira, jgn jd prempuan goblok trus.
lo ad apa" tu mulut mu bicara jgn diam jd pengecut.
lm" z jd pngin ulek mulut davira ni biar bs bicara jujur bkn jd pengecut trus mnerus