Menanti Cinta Sang Letnan
Letnan Arkaffa Belanegara, seorang perwira menengah berpangkat Letnan Satu, mengepalkan tangannya erat. Wajahnya kecewa dan muram, setelah mendapat penolakan dari sang kekasih Sersan Satu Marini, untuk diajaknya menikah.
"Aku belum siap sekarang, Bang. Tolonglah mengerti. Aku masih mengejar karir aku, lagipula aku masih muda dan butuh mental yang kuat untuk membina suatu hubungan yang terikat." Sertu Marini memberi alasan.
Arkaffa, atau lebih akrab dipanggil Kaffa, memalingkan muka kecewa. Bukan kali ini saja ia mendapat penolakan dari sang kekasih atas ajakannya menikah.
"Karir apa lagi, sih, Sayang? Kamu sudah mapan berkarir. Sersan satu di pundak. Karir kamu nanti juga menanjak kalau sudah waktunya, naik pangkat atau jabatan," sela Kaffa memberi penegasan.
"Aku tidak hanya sekedar menunggu begitu saja untuk naik pangkat. Tapi, aku ingin sekolah lagi ke jenjang perwira. Kamu nggak ingin gitu melihat aku memiliki pangkat seperti yang Abang sandang? Kalau sama-sama perwira, kan asik," ujarnya memperkuat alasan.
Kaffa melebarkan bibir kecut, sungguh itu alasan yang konyol. Marini ingin mengejar jenjang karir ke jenjang perwira hanya karena alasan asik. Kaffa justru khawatir, setelah Marini sama seperti dirinya atau pangkat lebih darinya, maka akan ada kesenjangan sosial diantara mereka. Tidak jarang, apabila pangkat perempuannya lebih tinggi, maka hubungan percintaan ikut dikorbankan. Banyak yang seperti itu, dan Kaffa tidak mau itu terjadi.
"Kamu jangan terlalu terobsesi, Dik. Setelah menikah, jika kamu memang pengen mengejar perwira, itu bisa. Sekarang, akan lebih baik kita pikirkan rencana awal kita yang pernah dirancang setahun yang lalu."
"Aku berubah pikiran. Aku ingin mengejar karir aku dulu. Mumpung tahun ini sekolah Secapa sedang dibuka," tuturnya kembali mempertegas niatnya.
Kaffa terdiam, dia meremas jambulnya kuat. Susah sekali meluluhkan gadis cantik berambut sebahu itu. Dia masih terobsesi dengan jenjang karir yang lebih tinggi. Sementara rencana menikah yang pernah dirancang berdua tahun lalu, terpaksa harus batal.
"Baiklah, aku pulang, ya." Marini mengangkat tubuhnya dari sofa.
"Beri aku kepastian, Sayang," pinta Kaffa masih berusaha sabar.
Marini diam dan berpikir untuk beberapa saat, "Sekolah Secapa, naik pangkat, penempatan, setelah itu ...."
"Pergilah. Jika itu yang kamu mau," potong Kaffa. Marini menoleh sesaat ke arah Kaffa, tidak ada kesedihan di wajahnya, lalu dia keluar dari ruang tamu rumah orang tua Kaffa.
Deru motor terdengar, Marini berlalu, meninggalkan hati Kaffa yang kecewa. Kaffa menghela napasnya kasar, tangannya terkepal erat. Dia benar-benar kecewa dengan keputusan yang diambil Marini. Padahal rencana pernikahan itu, sempat mereka obrolkan bersama orang tua Marini. Namun, jawaban Marini, justru mengambang, setelah rencana itu berlalu setahun kemudian.
Davira, segera menjauh dari balik tembok ruang tamu. Dia sudah mendengar semua pembicaraan sang kakak angkat dengan kekasihnya tadi. Bukan sekali, tetapi beberapa kali obrolan itu berhasil dia rekam dalam ingatannya.
Davira memasuki kamarnya. Dia menduduki ranjang. Rasa iba menyelinap begitu saja di dalam dadanya.
"Setampan dan mapan Kak Kaffa, masih saja ditolak Mbak Marini. Kak Kaffa sepertinya sangat mencintai Mbak Marini. Seandainya aku yang jadi Mbak Marini, pasti sudah aku terima pinangan Kak Kaffa," gumam gadis berhijab itu penuh harap.
Akan tetapi, Davira segera menepis andaian itu, sebab dirinya bukanlah siapa-siapa. Davira hanyalah seorang anak angkat di keluarga ini.
"Tapi, tidak salah bukan kalau aku mencinta Kak Kaffa?" batinnya bertanya.
Perasaan itu muncul seiring berjalannya waktu. Sikap Kaffa yang dingin dan jarang bicara padanya, membuat Davira jatuh hati. Terlebih setelah suatu kejadian enam bulan lalu. Davira yang digendong Kaffa ketika kakinya terpeleset di depan teras rumah yang licin.
Saat itu Kaffa memberikan pertolongan pertama pada Davira. Mengurut kaki Davira yang keseleo, sampai Davira bisa berjalan kembali dengan normal.
"Sejak saat itu, aku mencintai kakak. Aku tidak tahu kenapa perasaan ini semakin hari semakin muncul dan besar saja. Bahkan aku tidak bisa melupakan wajah kakak dalam pikiran aku."
Davira menuliskan perasaannya di sebuah buku diary. Semua tentang Kaffa, ditulisnya di sana.
"Dengan cara apa lagi aku harus meluluhkan hati Marini? Dia tidak bisa seperti ini, membiarkan hatiku kecewa. Aku mencintaimu Marini. Kalau aku harus menunggu, maka akan kutunggu." Alih-alih kecewa, Kaffa justru akan tetap menunggu Marini.
***
Sebulan berlalu, Kaffa masih menjalin kasih dengan Marini. Dia belum menyerah, sebab Kaffa memang sangat mencintai Marini. Mereka sudah dekat sejak pendidikan dulu. Ketika itu, Kaffa menjadi pembinanya. Cinta pun tumbuh diantara mereka sampai sekarang.
"Aku tetap akan menunggu kamu, Sayang. Berapa lama, dua tahun? Sampai kamu penempatan? Aku akan segera melamar kamu setelah itu, dua tahun hanya sebentar. Lagipula tahun ini, aku juga dikirim Satgas ke Papua. Aku bisa menunggu," ujarnya sedikit merasa lega.
Kaffa sedikit bernapas lega, setelah dirinya ternyata masuk ke dalam daftar personil yang dikirim Satgas ke Papua.
Marini tidak menjawab, dia membiarkan Kaffa bicara dan meremas jemarinya.
Pembicaraan itu sudah seminggu berlalu. Kaffa melangkahkan kaki, menuju rumah kedua orang tuanya.
"Gimana Kaf, apa Marini berubah pikiran?" Bu Daisy sang mama menyambut kedatangan sang anak di muka pintu. Dia penasaran dengan kabar hubungan sang putra dengan kekasihnya.
"Marini masih tetap ingin sekolah perwira, Ma. Tapi, Kaffa akan menunggunya."
"Berapa lama, setahun, dua tahun? Mama rasa belum tentu hanya setahun dua tahun. Bisa lebih malah," tukas Bu Daisy.
"Mama, jangan melemahkan harapan Kaffa. Harusnya Mama doakan biar Marini bisa luluh dan melupakan obsesinya."
Bu Daisy tersenyum hambar. "Vira, tolong ambilkan minum buat kakakmu," suruh Bu Daisy ketika bayangan Davira melintas. Davira patuh, ia segera menuju dapur, menuangkan air bening dari dispenser untuk Kaffa.
***
Sudah beberapa hari ini, Kaffa tinggal di rumah kedua orang tuanya. Padahal dia sudah memiliki rumah sendiri. Rumah impian yang rencananya akan dia tinggali bersama Marini.
Kaffa menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai dua. Begitupun Davira, kamarnya sama berada di lantai atas.
Davira segera memasuki kamarnya. Davira semakin nelangsa ketika dia mendengar Kaffa masih akan menunggu Marini. Marini yang sebenarnya justru tidak setia terhadap Kaffa.
"Aku melihat dua kali, Mbak Marini jalan dengan seorang Perwira Polisi. Aku tidak tahu ada hubungan apa mereka. Tapi, kalau sekedar teman, kenapa mereka begitu mesra dan sempat saling suap-suapan di kafe dekat kampus?"
"Kenapa Kak Kaffa harus mencintai Mbak Marini seperti itu? Tidak bolehkah aku berharap?" Lalu dengan cara apa aku bisa menyadarkan bahkan membuat Kak Kaffa berpaling dari Mbak Marini?" Davira kembali menuliskan apa yang dia pikirkan ke dalam buku diarynya.
Hingga malam itu, sebuah cara licik merasuki pikiran Davira. Hanya untuk sebuah alasan, supaya Kaffa menjauhi Marini.
Kaffa terbangun dengan tubuh terlilit selimut tipis. Di sampingnya, Davira dalam keadaan yang sama. Sialnya lagi, keadaan mereka dipergoki sang mama.
"Apa yang kalian lakukan? Daviraaaa." Bu Daisy berpekik sambil menarik lengan Davira di samping Kaffa.
Kira-kira apa yang terjadi antara Kaffa dan Davira?
Tes ombak ya. Mana nih like dan komennya. Kalau suka, Author akan rajin up date.
Kisah ini hanya hiburan, mohon maaf jika kisahnya kurang relate dengan kehidupan nyata. Karena ini kisah fiktif. Kesamaan nama atau tempat, mohon dimaklumi. 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Ghiffari Zaka
AQ mampir Thor....
masih nyimak ni.....
AQ plng suka loh Thor lok ceritanya tu ttg abdi negara....
semangat Thor.....semoga bayak yg suka🙏🙏
2025-08-23
2
Penapianoh📝
nyimak dlu thor😌
2025-09-08
1
Ella
mampir thor..lanjut thor...
2025-08-26
1