Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Volume 1 : Retakan
Suasana kelas riuh rendah oleh suara tawa, candaan, dan obrolan saat jam istirahat. Tapi di antara keramaian itu, Ferdi duduk diam di bangkunya, kepala terbenam di atas meja. Matanya terpejam, berusaha memejamkan dunia luar, berharap bisa tertidur sejenak.
...
"Ini lagi..." gumam Ferdi pelan.
Ia berdiri di tengah hutan yang sama, tempat yang ia lihat dalam mimpinya semalam. Pepohonan tinggi menjulang ke langit, dan daun-daun yang diterpa angin menimbulkan suara lirih seperti bisikan.
"Tempat ini... persis sama."
Tak ada siapa-siapa. Hanya dirinya, sunyi, dan rasa penasaran yang tak bisa ia tahan.
Di hadapannya, kastil besar berwarna merah darah kembali muncul di balik sela-sela pepohonan. Bayangannya begitu nyata dan memikat, seolah menarik langkahnya untuk mendekat.
Ferdi mulai berjalan cepat, lalu berlari kecil. Kali ini, dia tidak akan ragu.
"Kemarin aku nggak sempat masuk ke dalam... sekarang—"
Ia tiba di depan pintu gerbang kastil. Besi tua berukir simbol aneh berdiri kokoh, dan gagang pintunya tampak berat dan dingin. Ferdi meneguk ludah, menatap ke atas kastil yang menjulang begitu tinggi, hampir menyentuh langit.
Tangannya terangkat, hendak menggenggam gagang pintu.
Namun—
"Oi, bangun!"
Suara seorang gadis terdengar samar. Tubuh Ferdi terasa diguncang keras.
"Ck...!"
Ia terbangun.
Nafasnya sedikit terengah. Matanya berkedip cepat, buram. Cahaya kelas menyilaukan pandangannya sesaat. Ia melihat sosok Yuka berdiri di sampingnya, masih dengan tangan di bahunya.
"Oi, bangun! Pelajaran mau dimulai!" ulang Yuka, agak kesal sekaligus khawatir.
Ferdi hanya menatapnya sekilas, lalu menoleh ke arah jendela. Matanya masih gelisah, pikirannya belum benar-benar kembali.
Tanpa sadar, lidahnya bergeser dan...
"Tch."
Suara kecil itu cukup terdengar. Ekspresi kesal tergambar jelas di wajah Ferdi.
Yuka sedikit tersentak, langkahnya mundur pelan. Ia pun kembali ke bangkunya dengan wajah yang sulit dibaca.
Kenapa dia... keliatan kesal banget? gumamnya dalam hati, matanya sesekali melirik ke arah Ferdi, yang kini hanya menunduk diam dengan ekspresi tak terbaca.
"Apa maksud mereka tadi?" Yuka menggigit bibirnya pelan, matanya menerawang ke papan tulis tapi pikirannya jauh dari pelajaran.
"Kondisi Ferdi... makin parah? Apa maksudnya dia nggak sehat? Tapi dia terlihat biasa aja..."
Kata-kata Adit di lorong tadi terus terngiang. Rasa bingung dan penasaran saling bersaing di dalam hatinya. Sejak tadi, dia tidak benar-benar fokus. Hanya memandangi buku sambil berpura-pura mencatat.
Dan akhirnya—
Triiiinggg...
Bunyi bel istirahat kedua menggema ke seluruh penjuru sekolah. Suara kursi berderak dan murid-murid beranjak dari tempat duduk masing-masing.
Di sebelahnya, Yuka mendengar suara bangku bergeser. Ia menoleh. Ferdi bangkit berdiri tanpa sepatah kata, lalu berjalan ke arah pintu.
Langkahnya cepat. Dingin. Tanpa menoleh.
Yuka hanya bisa memandanginya hingga bayangan punggungnya menghilang di balik pintu kelas. Matanya tak berkedip, penuh tanya.
Saat itulah sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya.
"Yuk, mau ke kantin?" suara lembut Kayla membuat Yuka tersadar.
"Ah, iya... ayo," jawab Yuka cepat-cepat, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
Mereka berjalan beriringan keluar dari kelas, menyusuri koridor yang kini mulai ramai. Tapi langkah Yuka terasa lebih berat dari biasanya. Hatinya masih digelayuti rasa penasaran yang belum sempat terjawab.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di kantin, Ferdi duduk sendirian bersama Fino. Tiga orang lainnya entah ke mana, bangku mereka kosong, sunyi tanpa tawa khas geng mereka.
"Yang lain kemana?" tanya Ferdi, sedikit heran. Biasanya, mereka udah ramai duluan sebelum bel makan siang berbunyi.
"Lagi ada urusan," jawab Fino sambil menggigit gorengan yang masih hangat. Suaranya datar, matanya gak lepas dari piring.
"Urusan? Tumben. Kukira hidup mereka adem ayem kayak gak punya masalah sama sekali," ucap Ferdi sambil nyengir.
Fino cuma nyengir kecil, lalu menatap Ferdi dengan pandangan setengah serius.
"Jadi gimana?"
"Gimana apanya?" Ferdi mengerutkan kening.
"Yah, hubungan lu sama si Ketos Hina... atau sama cewek dari lain itu, Lisa."
Ferdi terdiam. Tatapannya beralih dari Fino ke langit-langit kantin yang mulai menguning karena usia bangunan. Lalu, dia menoleh lagi, kali ini menatap Fino lebih tajam.
"Fin, lu masih inget masa-masa SD kita?" tanyanya tiba-tiba.
Fino terlihat kaget sesaat, tapi kemudian mengangguk pelan. "Eh? Iya, inget... emangnya kenapa?"
Ferdi menghembuskan napas, suaranya pelan. "Gua gak inget apa-apa dari masa itu."
Fino terdiam. Gorengan di tangannya sekarang cuma jadi properti hampa.
"Oh... itu karena kecelakaan yang lu alamin, Fer," jawab Fino akhirnya. "Kepala lu sempet kebentur parah... dokter bilang itu sebabnya lu kena amnesia."
"Serius?" Ferdi terlihat gak percaya. Alisnya menyatu, seolah sedang mencoba menggali ingatan yang gak kunjung muncul.
"Iya," Fino mengangguk lagi. Wajahnya mendadak serius.
"Terus... obat yang selama ini selalu gua minum?"
"Itu buat ngeredain efek sampingnya. Kadang kan lu suka pusing atau linglung sendiri..." jelas Fino.
Ferdi memejamkan mata sebentar, menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menopang dagu dengan tangan. Otaknya berputar. Kayak ada sesuatu yang ingin muncul dari dalam kepalanya, tapi masih samar, kabur, dan berdebu.
Fino memperhatikannya diam-diam. Ada rasa lega karena Ferdi kelihatan nerima penjelasannya. Tapi di dalam hati, ada ketakutan kecil yang mulai tumbuh.
Apa ingatannya mulai balik? Kalau iya... waktu kita tinggal satu bulan lagi.
Dan Hina... seharusnya dia juga tahu soal ini. Mereka kan udah kenal sejak kecil. Tapi kenapa...
"Lu kenapa, Fin?" suara Ferdi memotong lamunannya. Tatapan Ferdi sekarang tajam, kayak nembus isi kepala.
"Lagi mikirin sesuatu, ya?"
"Eh? Enggak, enggak kok!" Fino langsung tergagap. "Cuma kepikiran soal remed ujian harian tadi, hahaha..." tawanya maksa banget, gak lucu bahkan buat dirinya sendiri.
Dia langsung berdiri dari kursinya. "Gua duluan ya, Fer. Mau belajar, soalnya jam terakhir ada ujian juga!"
Tanpa nunggu jawaban, Fino ngeloyor pergi, hampir kayak kabur. Punggungnya cepat menghilang di balik kerumunan kantin.
Ferdi cuma bisa melongo.
"Dia kenapa sih? Tiba-tiba jadi anak rajin gitu..." gumamnya sambil melirik gorengan Fino yang belum habis.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sebuah jalan kota yang lengang, seorang gadis melangkah turun dari bus dan berdiri di bawah halte yang mulai pudar catnya. Angin sore menyapu lembut ujung rambutnya yang panjang, berwarna merah muda, seindah kelopak bunga sakura yang mekar di awal musim semi.
Matanya besar, berkilau dengan warna biru cerah seperti langit yang jernih setelah hujan reda. Bibirnya merah ceri, lembab dan tampak manis, seakan menyimpan ribuan kata yang belum diucapkan. Kulitnya putih mulus, sehalus susu yang dituangkan di pagi hari. Ia tampak kontras namun begitu menyatu dengan dunia di sekitarnya.
Gaun kuning cerah yang ia kenakan melambai pelan ditiup angin. Sebuah topi lebar berwarna krem melindungi wajahnya dari matahari sore yang hangat. Di tangannya, koper berwarna merah muda menggelinding pelan, mengikuti langkahnya yang ringan namun pasti.
Gadis itu menatap sekeliling, lalu berhenti. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Tangannya menyentuh bibirnya perlahan, dan suara lembutnya terdengar seperti bisikan angin.
"Jadi kamu tinggal di sini, yah... Darling~"
Ia menatap lurus ke depan, matanya berbinar penuh teka-teki.
"Aku akan segera menemuimu."
kayaknya bertambah saingannya