NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 25

Beberapa hari kemudian…

Hari-hari di Desa Pulosari berjalan tenang bagi Naia. Lahan kebun teh, sayur-mayur, serta peternakan yang ia kelola kini mulai menampakkan hasil. Semua itu berjalan lancar karena ditangani orang-orang yang jujur dan amanah.

Untuk mengurangi kesepian, Naia memanggil sahabat lamanya, Leni, agar mau menemaninya. Untunglah Leni dengan senang hati datang. Kini, rumah besar berlantai dua itu dihuni oleh empat orang yaitu Naia, Bu Halimah, Leni, dan Damar adik kandung Bu Halimah yang bekerja sebagai sopir pribadi sekaligus penjaga rumah.

Rumah itu memang paling mencolok di antara deretan rumah yang ada di desa Pulosari. Namun, suasana hangat di dalamnya membuatnya tak pernah terasa asing.

Damar menempati kamar di bagian belakang, sementara sisanya berkumpul di ruang utama yang nyaris tak pernah sepi oleh canda dan obrolan.

Pagi hari itu…

Naia bangun dengan langkah sedikit berat. Perutnya semakin membuncit meski usia kandungannya baru empat bulan. Sambil mengusap lembut perutnya, ia berjalan ke dapur. Aroma tumisan dan ikan goreng sudah menyambutnya.

“Bu Halimah, pagi ini masak apa?” tanya Naia dengan suara pelan.

“Sayur capcay, udang goreng tepung, sama gurame goreng. Bukankah itu yang Mbak sebut semalam?” jawab Bu Halimah sambil tersenyum, meski matanya tak luput memperhatikan wajah Naia yang tampak kurang bersemangat.

Naia hanya mengangguk singkat. Namun sorot matanya lesu, dan hal itu tak luput dari perhatian Leni.

“Kamu kayaknya nggak begitu selera makan deh,” ujar Leni sembari menaruh cangkir di meja. “Naia… jangan-jangan kamu lagi ngidam, ya?”

Wajah Naia langsung merona. Ia menunduk, menahan malu. “Aku memang ingin sesuatu, tapi rasanya sungkan bilangnya. Takut merepotkan kalian.”

“Ya Allah, Mbak Naia,” sahut Bu Halimah dengan nada lembut bercampur tegas khas orang desa.

“Kalau sedang hamil muda, ngidam itu hal biasa. Jangan dipendam, jangan malu. Kalau ada yang Mbak inginkan, bilang saja. Kami di sini untuk menemani, bukan untuk membuat Mbak merasa sendiri.” pungkas Bu Halimah.

“Iya, Naia,” tambah Leni sambil menggenggam tangan sahabatnya. “Kamu nggak usah khawatir. Kami akan selalu ada buatmu. Anggap saja rumah ini milik kita bersama, apa pun yang kamu mau, bilang aja.”

Mata Naia mulai berkaca-kaca. Kehangatan itu membuatnya merasa benar-benar diterima, seolah menemukan keluarga baru di tempat yang jauh dari hiruk pikuk masa lalunya.

“Kalau begitu…” suaranya lirih, nyaris bergetar. “Boleh nggak Bu Halimah masak makanan khas Pulosari? Entah kenapa, sejak bangun tadi aku ingin sekali mencicipinya.”

Bu Halimah menoleh, lalu tertawa kecil sambil mengangguk. “Lho, cuma itu to? Tentu boleh. Malah senang rasanya kalau Mbak pengen makanan khas sini. Biar bayi dalam kandungan ikut kenal sama tanah Pulosari.”

Damar yang sedari tadi duduk sambil menikmati kopi hanya mengangkat alis, lalu terkekeh pelan. “Waduh, kalau gitu saya siap jadi tukang cari bahan. Bilang saja, Mbak, saya yang akan belanja ke pasar.”

Leni menepuk pundak Naia dengan lembut. “Lihat kan semua orang di sini siap untuk melakukan apapun untukmu. Jadi jangan ada rasa sungkan lagi, ya. Kamu nggak sendiri, Naia.”

Air mata Naia akhirnya jatuh juga tak tertahankan, bukan karena sedih, melainkan terharu.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa aman karena dikelilingi oleh orang-orang yang tulus menjaganya.

Pagi itu, selepas sarapan sederhana di rumah barunya, Damar sang sopir pribadi sekaligus orang kepercayaan keluarga bersiap menuju pasar tradisional. Ia mendapat titah untuk mencari bahan segar yang akan diolah menjadi makanan khas Pulosari, sesuai keinginan Naia yang tengah ngidam.

Namun sebelum Damar sempat keluar, suara rengekan terdengar dari ruang tengah.

“Dam, aku ikut ke pasar, ya?” ucap Naia sambil memonyongkan bibir, ekspresinya seperti anak kecil yang sedang merayu.

Damar menoleh cepat, sempat terkejut. “Nona mau ikut? Pasar itu ramai, becek, dan penuh kerumunan. Takutnya nanti Nona tidak nyaman.”

Naia mendengus pelan lalu menyandarkan tubuh di kursi. “Justru itu yang ingin kulihat. Sejak datang ke desa ini, aku hanya sibuk mengurus kebun teh, sayur-mayur, dan peternakan. Padahal aku ingin juga merasakan suasana di luar rumah. Lagian waktu aku di desa aku juga hampir setiap hari menemani mendiang ibu ke pasar kok.”

Damar menatap wajah majikannya yang baru berusia 26 tahun itu. Muda, tegas, tapi kadang manja seperti anak gadis. Ia tersenyum kecil.

“Kalau begitu, baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti Nona pulang dengan baju berdebu dan kaki pegal.” ujarnya.

Naia tertawa riang. “Tidak masalah. Yang paling penting aku bisa jalan-jalan sedikit buang penat. Ayo, antar aku sekarang sebelum aku berubah pikiran.”

Jalan menuju pasar dipenuhi pemandangan sawah bertingkat dan kebun yang hijau. Sesampainya di sana, suasana ramai langsung menyambut. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, aroma rempah dan makanan hangat menyeruak ke udara.

Naia terbelalak kagum. “Rasanya berbeda sekali dengan pasar kota. Ramai, tapi hangat. Seperti ada kehidupan yang tidak pernah berhenti di sini.”

Damar tersenyum, lalu menunjuk sebuah warung kecil. “Itu nasi timbel khas Pulosari. Disajikan dengan lauk ikan asin, lalapan segar, dan sambal terasi. Sederhana tapi nikmat. Ada juga sayur asem khas desa ini, dimasak dengan jagung muda, kacang panjang, dan melinjo yang baru dipetik dari kebun.”

Mereka berjalan lebih jauh, aroma daging bakar tercium menggoda. Damar sudah seperti tour guide yang menemani dan menjelaskan apa saja yang mereka temui ketika berada di pasar.

“Kalau yang itu sate maranggi, Nona. Dagingnya dimarinasi dengan ketumbar, bawang putih, dan kecap. Rasanya gurih manis, apalagi disantap dengan nasi hangat,” jelas Damar.

Naia tersenyum semakin lebar. “Aku tidak menyangka desa sekecil ini punya makanan khas yang begitu menggoda. Rasanya aku ingin mencicipi semuanya.”

Damar terkekeh. “Santai saja, kita beli sedikit demi sedikit. Jangan lupa, masih ada peuyeum singkong, hasil fermentasi yang manis legit. Biasanya orang jadikan oleh-oleh dari Pulosari.”

Naia menoleh dengan tatapan penuh semangat. “Kalau begitu, belikan semuanya, Dam. Aku ingin menikmatinya di rumah nanti. Anggap saja pesta kecil-kecilan.”

Damar hanya bisa menggeleng, namun senyumnya tak bisa disembunyikan. “Siap, Nona. Saya akan jadi pemandu wisata kuliner untuk hari ini.”

Naia tergelak. “Bagus. Kalau begitu, anggap saja aku sedang wisata pasar. Hanya saja, ada satu syaratnya yaitu aku yang menentukan menu hari ini. Gimana setuju nggak?”

Damar mengangguk patuh dan memberi hormat ala anak buah sebuah kerajaan saja, “Perintah Nona adalah titah bagi hamba.”

Naia geleng-geleng kepala sembari menepuk pelan pundak anak muda itu.

“Kamu ada-ada saja, Dam.”

Di tengah hiruk-pikuk pasar itu, tatapan Naia tiba-tiba kosong. Senyum yang tadi merekah perlahan meredup. Hatinya mendadak digelayuti rindu pada kedua orang tuanya yang telah lama tiada.

Mereka dulu tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Surabaya, jauh dari keramaian, namun penuh kasih sayang.

Tangannya refleks mengusap perut yang kian membuncit meski usia kandungannya baru empat bulan. Seulas senyum tipis muncul, bercampur perasaan haru.

“Andai Ayah sama Ibu masih ada, pasti mereka bahagia menanti cucu pertamanya ini,” batinnya lirih.

Damar yang memperhatikan dari kejauhan menyadari perubahan raut wajah majikannya. Ia mendekat, lalu berbisik pelan, “Nona, apakah Nona baik-baik saja?”

Naia mengangguk, meski matanya masih sedikit berkaca-kaca menyiratkan dia berjuang menahan air matanya.

Naia menggelengkan kepalanya,“Aku baik-baik saja kok, hanya teringat dengan almarhum Ayah dengan Ibu. Semoga mereka tenang di sana.”

Damar menunduk hormat. “Aamiin ya rabbal alamin. Saya yakin mereka bangga melihat Nona sekarang, sudah jadi perempuan mandiri yang kuat.”

Tak ingin larut dalam kesedihan, Naia kembali menyibukkan diri dengan melihat-lihat dagangan yang berjejer rapi di sepanjang jalan pasar yang dilaluinya. Beberapa pedagang menegurnya dengan ramah.

“Wah, ini Mbak Naia yah, juragan muda itu, ya?” sapa seorang ibu paruh baya sambil menimbang tomat.

“Masya Allah cantik sekali, masih muda, tapi sudah punya kebun dan peternakan sendiri. Kamu sangat hebat, Nak.” ujarnya yang bernada pujian.

Naia tersipu, buru-buru menunduk sopan. “Aduh, jangan berlebihan, Bu. Saya masih belajar. Mudah-mudahan usaha ini bisa bermanfaat untuk orang banyak.”

Seorang pedagang lain menimpali sambil terkekeh, “Betul itu, Nona. Sejak ada juragan baru, banyak tetangga kami yang dapat pekerjaan. Semoga usahanya makin lancar, ya.”

Naia tersenyum lebar, kali ini penuh tulus. “Terima kasih. Doakan saya bisa amanah.”

Damar yang mendampingi hanya menggeleng kecil, kagum melihat bagaimana majikannya bisa dengan cepat akrab dengan orang-orang desa.

Tetapi, tanpa terduga dan tanpa mereka ketahui kalau ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan apa yang mereka perbuat. Orang itu menyunggingkan senyumnya melihat Naia yang berjalan dengan perutnya yang buncit.

1
Isma Isma
lanjutt teruss author 💪💪💪
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah kakak 😘🙏🏻
total 1 replies
Inha Khaerunnisa
tiket juga kecebongnya Atharva
Isma Isma
baguss Leni kasih tau niaa biar Ndak timbul masalah baruu 🥰🥰🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan bagus kalau banyak fans 🤭🤣
total 1 replies
Hana Ariska
gak sabar nunggu kelanjutan nya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak.. insya Allah besok double update
total 1 replies
Milla
Pasti nyaaa anak buah tuan muda arthava 🤭 semangat up thorrr🙏🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Belum tentu 🤭🤣
total 1 replies
Hijriah ju ju
sangat bagus menghibur
Marlina Taufik
seru ni di tunngu lanjut y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kak 🙏🏻🥰

insha Allah besok lanjut soalnya kalau malam mau jualan dulu cari tambahan penghasilan meski dikit ☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Milla
Lanjutt thorrr💪🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Hijriah ju ju
sungguh miris kisah hidupmu
Rahmi Jo
kenapa nggak dibantu??
Hijriah ju ju
najong loh Arya
Rahmi Jo
kok bisa dahulu bisa jatuh cinta??
Hijriah ju ju
wajar dikasari
Uba Muhammad Al-varo
semoga semua usaha kamu berhasil Naia dan kamu bisa bangkit sementara Artharva menjalani kesembuhan, sebenarnya Artharva orang nya baik tapi caranya salah besar membuat Naia menderita dan kau Arya tunggu detik2 kehancuran mu
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: oh ho siap
total 3 replies
Uba Muhammad Al-varo
sungguh memilukan hidup mu Naia, semoga ditempat baru nanti hidup mu akan bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
ayo Naia pergi dari kampung mu,cari daerah/tempat untuk menata hidup mu lebih baik lagi dan bikinlah hidup mu dan anakmu kuat,agar bisa membalas semua perbuatannya si Arya
Uba Muhammad Al-varo
kenapa kejadian tragis hanya terjadi pada Artahrva seharusnya terjadi juga pada si Arya keparat
Siti Aminah
ceritanya bagus
AsyifaA.Khan⨀⃝⃟⃞☯🎯™
semoga bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Ana Natsir
setuju
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!