Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Adrian
Beberapa menit setelah Raka dipindahkan ke ruang VIP dan kondisinya dipastikan stabil, suasana bangsal sedikit lebih tenang. Tirai sudah ditutup rapat, cahaya redup menenangkan, dan hanya suara mesin pemantau detak jantung yang sesekali terdengar.
Cheviolla duduk di sofa panjang dekat jendela. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih berputar—tentang tol, tentang Raka, dan tentang kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar di balik semua ini.
Sambil menghela napas, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pendek kepada salah satu bawahan ayahnya:
> “Ambil mobilku. Lokasi terakhir di pinggir tol, dekat pembatas barat. Gunakan jalur belakang, jangan sampai terekam kamera.”
Pesan terkirim. Setelah itu, gadis itu hanya bisa menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Dalam hitungan menit, ia pun tertidur di sofa VIP, masih mengenakan blazer mahal yang kini sedikit kusut.
Sementara itu, Raka yang kini duduk bersandar di ranjang, menerima sebuah laptop hitam melalui kurir rumah sakit yang masuk secara diam-diam. Laptop itu bukan sembarang perangkat—ini rakitan pribadinya, dikirim langsung dari markas kecil yang selama ini disamarkan sebagai rental game.
Ia membuka laptop itu, lalu menyalakan sistemnya. Cahaya layar memantul di matanya yang mulai serius.
> “Oke, Adrian…” gumamnya pelan, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard.
Beberapa malam sebelumnya, Raka sudah menyusup ke jaringan rumah dosen muda itu. Dengan chip mikro yang dipasang di perangkat router, dia sudah bisa mengkloning semua lalu lintas jaringan—tanpa suara, tanpa jejak.
Sekarang, dia membuka data-data yang tersimpan dalam cache server bayangan yang ia buat sendiri: riwayat browsing, pesan-pesan terenkripsi, kamera keamanan internal—semuanya mulai diuraikan satu per satu.
Wajah Raka berubah serius. Tangan kirinya menggeser peta jaringan, tangan kanannya menulis skrip cepat untuk membuka celah baru. Beberapa dokumen terenkripsi milik Adrian mulai terbuka, termasuk satu folder mencurigakan bernama:
> “Project M–Universitas”
Klik.
Mata Raka menyipit. Ada sesuatu di sini. Terlalu rapi untuk sekadar tugas akademik.
Jari-jarinya menari cepat, menembus firewall dan sistem pengamanan lapis ganda milik dosen muda—Adrian.
> "Bukan cuma dosen cerdas, tapi juga terlalu percaya diri soal keamanannya," gumam Raka dingin.
Ia membuka direktori yang tersembunyi, yang secara sistem hanya bisa muncul lewat input algoritma tertentu. Folder itu berjudul:
> “Δ–A.P.W.”
Raka langsung terdiam sesaat.
> Akmal Putra Wijaya... Ini dia.
Tangannya dengan cepat membuka file satu per satu. Di dalamnya:
Log kamera kampus yang dimanipulasi.
Data sidik jari dan biometrik milik Akmal yang disalin dan dipalsukan.
Laporan mental condition palsu yang menyatakan Akmal mengalami gangguan psikologis dan "mengundurkan diri sukarela".
Dan yang paling mencolok: komunikasi terenkripsi antara Adrian dan kontak dari luar negeri, membahas potensi "rekrutmen individu dengan IQ di atas 140 untuk proyek Daemon-Seed."
> "Proyek Daemon-Seed? Kedengarannya bukan skripsi biasa ini..."
Raka mengerutkan dahi. Dia membuka file audio panggilan suara terenkripsi. Isinya suara Adrian:
> “Subjek APW sudah diserahkan. Sudah diamankan. Tim kita telah memindahkannya ke lokasi bawah tanah di sektor 8. Tidak akan ada yang menyadari. Dia sangat berguna...”
Raka mengepalkan tangan.
> “Jadi Akmal tidak menghilang. Dia disembunyikan. Digunakan.”
Dalam folder yang sama, Raka menemukan blueprint jaringan yang menghubungkan Adrian dengan beberapa nama dosen lain—semuanya bertugas di kampus yang sama. Bahkan ada nama staf IT kampus dan satu nama pejabat tinggi yayasan.
> "Seluruh jaringan ini tertanam dalam kampus, bergerak dalam bayangan, membangun sesuatu..."
Ia menyalin semua data ke hard drive eksternal. Kemudian ia membuka tab baru dan mengakses kanal khusus rahasia—mengirim satu salinan terenkripsi kepada komandannya di unit rahasia.
Namun sebelum mengirim, dia meng-copy satu file terakhir: lokasi terakhir Akmal.
> “Subjek dipindahkan 13 bulan lalu ke bunker di bawah fasilitas kosong kawasan barat. Lokasi: [Tertanam dalam sistem utilitas kampus]”
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya tetap tajam.
> “Satu langkah lebih dekat, Akmal… tunggu saja. Gue datang.”
. Setelah itu dia menutup laptop dan pikiran melayang, setelah misi selesai apa kau harus menunjukkan jari diri atau tetap berpu pura culun..
lalu menengok ke arah sofa, cheviolla yang tertidur namun terlihat sangat cantik, raka berdiri menarik sudut bibirnya dan menyelimuti cheviolla
Di belakangnya, Cheviolla masih tertidur pulas. Ia belum tahu... bahwa tunangannya sedang menghadapi musuh yang mungkin jauh lebih besar dari sekadar organisasi kriminal biasa..
...
..
[Markas Divisi Bayangan Nasional – Lokasi Dirahasiakan]
Sebuah ruangan gelap dengan pencahayaan biru dingin. Dinding-dindingnya dipenuhi layar yang menampilkan peta panas, saluran komunikasi, dan rekaman drone dari berbagai penjuru negeri.
Seorang pria paruh baya duduk di tengah ruangan. Rambutnya sudah memutih sebagian, namun tubuhnya masih tegap, matanya tajam penuh pengalaman tempur dan intrik. Di dadanya terpampang lencana logam berbentuk burung garuda hitam.
Di layar utama, muncul notifikasi:
> [PRIORITY LEVEL: HITAM — ENKRIPSI KODE 33D-RK]
“Laporan lapangan: Agen Bayangan – RK.07”
Dia menekan tombol, dan layar menampilkan video real-time hasil rekaman laptop Raka—sorotan file, suara rekaman Adrian, peta jaringan dosen, dan blueprint sistem internal kampus.
Komandannya—Kolonel Rahmad Prasetyo, mantan kepala intel cyber—menyipitkan mata, wajahnya mengeras.
> “...Jadi, ini bukan sekadar kasus mahasiswa hilang. Ini operasi rekrutmen ilegal, mungkin proyek teknologi berskala nasional atau bahkan lintas negara...”
Tangannya bergerak cepat menandai tiap wajah dosen yang terhubung ke Adrian. AI militer segera mencocokkan identitas mereka dengan berbagai database. Tiga dari mereka pernah dikontrak dalam proyek pertahanan nasional. Satu orang bahkan memiliki akses terhadap sistem satelit kampus yang pernah dipinjamkan ke proyek luar negeri.
> “Brengsek... mereka membangun jaringan di bawah hidung kita.”
Ia berdiri, menatap layar dengan kedua tangan di punggung.
Lalu mengaktifkan koneksi suara dengan para deputi rahasianya.
> “Ini saya. Markas Hitam. Rute Sektor 9, aktifkan operasi tingkat satu.”
> “Tunda semua pengawasan di luar negeri, fokuskan semua unit analisis ke jaringan Universitas Harapan Bangsa. Periksa semua data keamanan jaringan kampus 5 tahun terakhir. Kita gali semuanya.”
> “Dan satu lagi…”
Ia terdiam sejenak, menatap sorotan wajah Raka yang muncul sejenak di rekaman.
> “Jangan ganggu RK.07. Biarkan dia terus di medan. Tapi pasang pengawasan tak kasat mata. Jika dia menyentuh pusat jaringannya terlalu cepat, orang-orang ini bisa lenyap tanpa jejak.”
> “...Kalau perlu, siapkan tim penjemput di bunker itu. Misi prioritas: temukan Akmal Putra Wijaya hidup-hidup.”
Setelah sambungan terputus, Kolonel Rahmad menatap layar terakhir—gambar blueprint bawah tanah dari sistem utilitas kampus. Sebuah jalur lama yang terhubung ke bunker tua… dan sekarang menjadi markas tersembunyi.
> “Sudah tiga tahun... akhirnya kita menemukan jejakmu, Nak.”
...
Di dalam ruang kerjanya yang redup, Adrian, sang dosen muda yang tampak ramah di kampus, menatap monitor di hadapannya. Tangannya berhenti mengetik ketika layar konsolnya menampilkan notifikasi aneh:
> “Unusual inbound traffic detected. Port 1427 breached.”
Matanya menyipit. Ia menekan beberapa tombol, membuka rekaman akses dalam beberapa jam terakhir.
> “Ada yang menyusup... tapi cepat, bersih. Ini
Adrian menatap layar yang kini gelap, napasnya berat. Tangannya gemetar saat membuka ulang log akses internal sistem miliknya. Hanya sepersekian detik… tapi cukup untuk menyadap semua. File komunikasi, catatan eksperimen, dan laporan rahasia—semuanya sudah tersalin.
> “Seseorang sudah masuk terlalu dalam…” gumamnya lirih.
Ia memperbesar jejak koneksi. Alamat IP penuh kamuflase, jelas menggunakan relay anonymizer berlapis. Tidak ada jejak langsung.
> “Bukan pemula,” desisnya. “Terlalu bersih.”
“Sialan!” teriaknya penuh amarah.
“Siapa yang berani masuk ke sistemku?!”
Ia berdiri, mondar-mandir di ruangannya dengan wajah memerah. Setiap langkahnya menggambarkan kemarahan yang tidak bisa diredam.
> “Chip penyadap...
Ia menyandarkan tubuh di kursi, menatap layar seperti hendak menerobosinya dengan mata telanjang.
> “Ini bukan kerjaan orang luar. Sistem kampus terlalu tertutup... kemungkinan besar, orang dalam. Tapi siapa?”
Ia terdiam sejenak. Kepalanya mengingat kembali—beberapa minggu lalu, sistem pengawasan di kampus sempat mendeteksi aktivitas aneh di area server dosen. Namun karena tidak signifikan, ia abaikan.
> “Mungkinkah seseorang dari dalam kampus, tapi bukan staf?”
“Mahasiswa tingkat atas? Atau... seseorang yang berpura-pura jadi orang biasa?”
Ia berdiri dengan gerakan kasar, lalu mengambil ponselnya dan akan memanggil seseorang.
>