NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yang Tidak Pernah Benar-Benar Diucapkan

“Alya.”

Nama itu masih menggantung di udara ketika koper kecil itu terhenti tepat di ambang pintu. Alya menelan ludah, punggungnya menegang. Ia tidak berbalik seketika—seolah dengan menunda gerakan itu, waktu bisa ikut berhenti.

“Alya,” ulang Zavian, kali ini lebih dekat. Langkah kakinya terdengar mantap, tidak tergesa, tapi jelas tak memberi ruang untuk menghindar. “Masuk.”

Bukan perintah keras. Justru itulah yang membuat Alya tak punya tenaga untuk membantah.

“Aku… cuma mau jalan sebentar,” kata Alya akhirnya, berbalik setengah. Suaranya tipis, hampir seperti bisikan yang tak yakin dengan kebohongannya sendiri.

Zavian menatap koper itu, lalu kembali ke wajah Alya. “Jam segini?”

Alya tidak menjawab.

“Taruh kopernya,” ujar Zavian pelan, namun ada garis tegas yang tak bisa disalahpahami. “Kita bicara.”

Alya memejamkan mata sejenak. Lalu, dengan gerakan pelan, ia menarik koper itu kembali masuk. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik kecil—bunyi yang terasa seperti mengunci keputusan yang belum ia siap hadapi.

Mereka berdiri di ruang tamu. Lampu temaram. Hening yang berat.

“Kamu tidak pergi,” kata Zavian. “Tidak malam ini. Tidak besok. Tidak kapan pun tanpa bicara dulu.”

Alya menunduk. “Aku nggak mau merepotkan.”

Zavian menghela napas—singkat, terkendali. “Aku tidak pernah menganggapmu merepotkan.”

Kalimat itu seharusnya menenangkan. Tapi bagi Alya, justru terasa seperti beban baru.

“Pak akan menikah,” katanya lirih. “Segalanya akan berubah.”

“Tidak semua,” jawab Zavian cepat.

Alya mengangkat wajahnya. “Bagi saya, iya.”

Zavian terdiam. Untuk sesaat, pria yang biasanya selalu tampak memegang kendali itu terlihat… ragu. Bukan pada keputusannya, tapi pada cara menyampaikannya.

“Kamu tetap di sini,” katanya akhirnya. “Itu bukan tawaran. Itu keputusan.”

Alya mengangguk. Ia selalu mengangguk. Tapi malam itu, ada sesuatu yang patah pelan di dalam dadanya—karena ia tahu, keputusan yang tidak diikat oleh siapa pun selain kehendak satu orang, bisa berubah kapan saja.

---

Evelyn tidak mengatakan apa-apa malam itu.

Ia tersenyum seperti biasa. Mengucapkan selamat malam. Membiarkan Zavian naik ke lantai atas, sementara ia tetap duduk di sofa, menatap cangkir teh yang sudah dingin.

Rumah itu terlalu besar untuk perasaan yang tiba-tiba terasa sempit.

Ia tahu siapa Alya. Tahu kisah singkatnya. Tahu status “adik” itu. Semua orang di sekitar Zavian selalu punya cerita—dan Evelyn bukan wanita yang buta terhadap dunia tempat ia akan menikah masuk.

Namun mengetahui tidak sama dengan menerima.

*Bagaimana mungkin aku membangun rumah tangga,* pikir Evelyn, *jika ada gadis lain yang sudah lebih dulu menempati ruang yang seharusnya menjadi milik kami?*

Ia tidak cemburu dalam arti sederhana. Alya terlalu muda, terlalu rapuh. Tapi justru itu yang membuatnya berbahaya—karena Zavian bukan pria yang mudah tersentuh, dan ketika ia tersentuh, ia tidak melepaskannya dengan mudah.

Evelyn bangkit, melangkah ke jendela besar. Di lantai atas, lampu kamar Alya menyala redup.

*Ini tidak sehat,* batinnya. *Bukan untuk pernikahan. Bukan untuk masa depan.*

Namun Evelyn juga tahu satu hal: menentang Zavian secara langsung bukanlah pilihan bijak. Ia harus berhati-hati. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan—nama, keluarga, posisi. Dan cinta, yang dalam dunianya, selalu datang dengan syarat-syarat tak tertulis.

---

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme baru.

Undangan pernikahan mulai berdatangan. Perancang gaun datang dan pergi. Telepon Zavian lebih sering berdering, percakapan bisnis bercampur dengan pembahasan tempat dan tanggal. Rumah itu kembali ramai—bukan oleh kehangatan, melainkan oleh persiapan.

Zavian mengurus semuanya dengan efisiensi dingin. Pernikahan baginya adalah komitmen besar, ya, tapi juga aliansi. Ia tidak mengeluh. Tidak terlihat bimbang. Seolah semua ini sudah ia rencanakan sejak lama.

Alya mengamati dari kejauhan.

Ia belajar menghilang di antara jadwal yang padat. Sarapan lebih cepat. Pulang sekolah lebih sore dengan alasan les tambahan. Makan malam sering dilewatkan. Ia memilih diam di kamar, menutup pintu, menata ulang buku-bukunya yang sebenarnya sudah rapi.

Tak ada yang memintanya pergi.

Justru itu yang paling menakutkan.

Di sekolah, pikirannya melayang. Papan tulis menjadi kabur. Suara guru terdengar seperti gema jauh. Pernah suatu hari, namanya dipanggil tiga kali sebelum ia tersadar.

“Alya? Kamu kenapa?” tanya guru matematika, alisnya berkerut.

“Maaf, Bu,” jawab Alya cepat. “Kurang tidur.”

Itu tidak sepenuhnya bohong. Malam-malamnya diisi pikiran yang berputar—tentang koper yang kembali ia sembunyikan, tentang catatan kecil yang masih ada di bawah buku, tentang kapan tepatnya kata *tetap di sini* akan berubah makna.

Nilainya mulai turun. Bukan drastis, tapi cukup untuk membuatnya gelisah. Ia tidak berani gagal. Gagal berarti alasan. Alasan berarti pintu.

Mira memperhatikannya.

“Kamu kenapa sih, belakangan ini?” bisik sahabatnya di perpustakaan. “Kamu kayak… ada tapi nggak di sini.”

Alya tersenyum kecil. “Capek aja.”

Mira menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang.”

Alya ingin. Sungguh. Tapi bagaimana menjelaskan ketakutan yang bahkan tidak punya bentuk jelas?

---

Di rumah, Evelyn mulai lebih sering berada di sana. Bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus. Rumah ini akan menjadi rumahnya.

Ia dan Alya jarang berbincang. Jika bertemu, percakapan mereka singkat dan sopan. Senyum yang dijaga. Kata-kata yang dipilih hati-hati. Dua orang yang sama-sama tahu ada jarak tak terlihat di antara mereka.

Suatu sore, Evelyn mengetuk pintu kamar Alya.

“Aku boleh masuk?” tanyanya lembut.

Alya terkejut, tapi segera mengangguk. “Silakan.”

Evelyn duduk di kursi dekat meja belajar, menatap kamar itu sejenak. “Kamar ini rapi.”

“Terima kasih.”

Hening sejenak.

“Alya,” kata Evelyn akhirnya, “aku harap kamu merasa nyaman di sini.”

Alya mengangguk. “Saya… berterima kasih.”

Evelyn tersenyum tipis. “Pernikahan itu perubahan besar. Untuk semua orang.”

Kalimat itu menggantung.

“Iya,” jawab Alya.

“Aku hanya ingin semuanya berjalan… wajar.”

Alya menunduk. *Wajar* adalah kata yang aneh—karena sejak kapan hidupnya berjalan wajar?

“Aku tidak akan lama,” lanjut Evelyn, bangkit berdiri. “Istirahat yang cukup.”

Setelah pintu tertutup, Alya duduk lama tanpa bergerak. Ia tahu, percakapan itu bukan ancaman. Tapi juga bukan penerimaan.

Ia merasakan batas mulai ditarik—halus, rapi, tak kasat mata.

---

Zavian memperhatikan perubahan itu.

Ia melihat Alya lebih sering diam. Lebih kurus. Lebih jarang menatap mata orang. Ia melihat raport sementara Alya—angka-angka yang tidak buruk, tapi tidak lagi cemerlang. Ia mendengar laporan sopir tentang Alya yang sering minta diturunkan lebih jauh dari gerbang.

“Ada yang mengganggumu?” tanya Zavian suatu malam, singkat.

Alya menggeleng. “Tidak.”

Zavian tahu itu jawaban aman. Ia tidak memaksa. Ia jarang memaksa Alya—pelajaran yang ia pelajari sejak awal.

Namun di malam yang sunyi, ketika mansion kembali tenang, Zavian berdiri lama di depan pintu kamar Alya tanpa mengetuk. Ada hal-hal yang bahkan pria sepertinya tidak tahu cara mengatakannya.

Ia memilih pergi.

Di kamar, Alya menatap langit-langit, mendengar langkah kaki itu menjauh. Ia memeluk bantal, berusaha menahan napas yang terasa terlalu berat.

*Aku tidak disingkirkan,* katanya pada diri sendiri. *Belum.*

Tapi ketakutan tidak menunggu kepastian. Ia tumbuh di ruang-ruang kosong, di kalimat yang tidak lengkap, di janji yang tidak diikat.

Dan di rumah besar itu—di antara persiapan pernikahan dan senyum-senyum yang dijaga—Alya merasa semakin kecil.

Seolah keberadaannya hanyalah jeda sementara.

Menunggu waktu yang tepat untuk menghilang

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!