Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beda Kasta
Pada akhirnya, disinilah aku berada. Mendampingi dia di depan para tamunya. Ingat beberapa jam yang lalu, aku merentangkan tangan tepat di depan mobilnya dan keputusan kuambil untuk memenuhi ajakannya. Dengan penampilan yang serupa dan seadanya bahkan tanpa polesan make up di wajah.
Karena naluriku menuntun untuk menepati apa yang sudah aku janjikan, lagi pula dia tidak mengomentari penampilanku mau bagaimana pun dan gaun merah ini tetap menempel di bajuku walau tidak senada sama sekali dengannya.
Aku diberikan buku menu yang entah tidak dapat kubaca apa saja nama menunya, semua terlihat asing. Aku hanya menunjuk asal di hadapan pelayan lalu dia menyebutkan nama menunya, seumur hidup aku belum pernah makan di restoran semewah ini yang mana harga yang tertera pun dalam nominal dolar yang bisa aku kira-kira besarnya jika dikonversikan ke dalam mata uang negara sendiri.
Entah aku tidak tahu apa yang telah kupesan, tapi yang datang hanya semangkuk dessert berisi secop eskrim dan sedikit buah-buahan.
"Are you on diet, Mrs?" seseorang berwajah bule di hadapanku bertanya.
"He ... he, yeah," jawaku gagu.
Sebenarnya tidak ada kata diet di kamusku, selebar apapun badanku, aku tidak pernah menerapkan diet ketat yang bertujuan membuat lemak tubuhku menyusut, asalkan pola makan yang benar dan bergizi aku tidak mempunyai pantangan karena bagaimanapun badanku sudah besar sejak bayi sehingga susah untukku mengecilkan badan seperti ukuran tubuh wanita pada umumnya.
Namun, tanpa diduga, makanan lain datang bersamaan dan salah satunya disajikan di depanku. Daging steak dan seperangkat alat makannya yang ditata di depanku.
"This is your order, Miss. Enjoy your meal, please." ujar pelayan itu ramah dan terkesan akrab.
Apa ini? Kenapa ada makanan berat di hadapanku? Bukankah sebelumnya aku telah mengaku jika sedang diet?
Ya, aku baru menyadari jika inilah makanan yang aku tunjuk tadi pada pelayan. Ini main course, sedangkan tadi itu bukan dessert melainkan appetizer. Banyak jenis sendok, garpu, dan pisau di meja. Aku tidak tahu harus memakai yang mana, tetapi aku asal mengambilnya saja. Mungkin yang ini. Aku mengambil pisau kecil dan terlihat tajam dan garpu paling besar.
Aku gunakan untuk mengiris daging dengan potongan tipis, tetapi aku merasa menjadi pusat perhatian. Mengapa semua orang sepertinya melihat ke arahku. Adakah yang salah?
Lalu, mas Elham menyusul melihat ke arahku. Dia membisikan sesuatu, "Ini pisau untuk roti," ujarnya menunjukan roti kering di depan mata.
Dia menyita pisau di tanganku dan mengambilkan pisau yang benar kepadaku.
Malu, demi apa ini memalukan.
Dua orang pelayan masih berdatangan dan membawa nampan berisi botol minuman. Aku tak begitu mempedulikan, mungkin dia sedang melayani rekan mas Elham, aku melanjutkan makan.
Yang kudengar, pelayan itu mengucapkan excuse me atau permisi karena takut mengganggu aktivitas makanku. Lantas, kujawab "Yes, please. No problem."
Kemudian, pelayan itu menuangkan minuman berwarna ungu kehitaman ke gelas di dekatku. Mas Elham menyerukan, "No, she doesn't drunk." ucapnya kepala pelayan menghentikan aktivitasnya yang sedang menuangkan minuman.
"Kamu tidak minum wine, kan?" tanya mas Elham padaku.
Aku terkejut, pelayan itu menuangkan minum untukku? "Tidak," jawabku pada mas Elham.
Mas Elham yang mengambil alih gelas itu dari hadapanku dan dia yang meminumnya setelah dia bersulang dengan koleganya.
Makan malam yang berlangsung satu setengah jam itu yang diselingi dengan perbincangan bisnis membuatku seolah menjadi patung yang hanya bisa duduk dan mendengarkan, sesekali diajak berdiskusi tetapi aku hanya bisa menjawab 'ya dan tidak' karena jujur saja, aku malas terlibat dalam perbincangan berat yang tidak kupahami.
Kemudian, aku membayangkan jika posisiku sebagai orang lain dan memandangi diri sendiri yang hanya duduk dan diam menunduk tanpa berkata atau melakukan apapun, ini terlihat seperti orang bodoh.
Tiba-tiba aku merasa mengantuk karena merasa tidak berguna di tengah obrolan mereka yang tidak bisa untuk aku turut bergabung di dalamnya.
Hingga mas Elham mengakhiri semuanya dan mengajakku pulang. Sampai di apartemen, aku merasa kehabisan energi sama sekali. Lutut ini seakan tidak bisa menopang berat badanku sendiri, tubuh menjadi amat sangat berat dan enggan melakukan apapun.
Sekembalinya dari kegiatan itu, kami saling diam. Pada dasarnya, memang begini yang selama ini terjadi antara aku dan dia. Kami lebih banyak diam selain daripada melakukan obrolan basa-basi yang tidak penting, hanya sekilas-sekilas saja, atau paling lama berdua bersama adalah saat malam ketika sudah bersiap tidur di ranjang. Selebihnya, tidak ada obrolan lain apalagi perbincangan mengenai keromantisan dan semacamnya.
"Mas," panggilku memulai saat dia bersiap untuk tertidur dan sudah menarik selimutnya.
"Iya."
"Aku minta maaf kejadian tadi, aku benar-benar tidak tahu pisau mana yang digunakan untuk memotong steak atau untuk mengoles selai roti. Malam ini, apa aku membuat Mas malu?" tanyaku.
"Tidak papa."
"Aku tidak pernah makan di restoran seperti itu, steak yang pernah aku makan hanya tersedia satu pisau saja, bukan yang begitu banyak dan berderet di meja makan. Maafkan aku kalau kamu malu membawaku bersamamu," ujarku.
Dalam hati bertekad, lain kali tidak akan mau ikut lagi kalau dia mengajak makan malam bersama dengan klien dan koleganya.
"Maaf, ya?"
"Iya." Sesingkat itu dia menjawab ucapan sesalku yang bersumber dari hati yang paling dalam.
"Lain kali kalau Mas mau ajak aku makan bersama dengan rekan kerja atau klienmu, Maa kasih tahu mau ke restoran mana. Atau lebih baik aku tidak perlu ikut saja, biar di rumah."
Dia tak lagi menjawab, dia hanya menatapku dari posisinya yang menyamping menghadapku. Kemudian, tangannya membelai rambutku yang berantakan untuk diselipkan di belakang telinga. Tangannya yang bergerak perlahan menyusuri wajahku dan pada daguku yang double chin ini dicubitnya pelan.
"Moy."
"Hem?" Aku menoleh. Tatapannya sudah sayu, aku tahu apa yang dia mau. Sama seperti sebelum-sebelumnya, aku mulai mengetahui tanda-tanda ketika dia menginginkan sesuatu dariku.
Seperti biasa, tidak ada basa-basi atau rayuan dengan kalimat romantis untuk memulai. Mas Elham yang kukenal, dia akan melakukan semua secara to the point tanpa banyak bicara.
Setelah aku memberi lampu hijau, dia langsung menarik tengkukku supaya lebih dekat dengannya, membawaku dalam buaian yang memabukkan mesti tanpa pengawalan. Semua berlangsung hikmat dalam diam untuk mencapai kepuasan masing-masing.