Married To Fierce Boss

Loralei malu karena ketahuan berbohong dan membawa pria bayaran. Tapi, dia lebih sedih lagi karena gaji satu bulan ludes seketika. Walaupun masih ada sisa uang, tapi tetap saja sepuluh ribu euro melayang sia-sia. Bukannya berhasil terbebas dari pernikahan yang entah kapan ujungnya, justru semakin terjerat, terjajah, dan tertindas.

Sejak kepergian Stainslav, Loralei diam, tak bertenaga, dan duduk di kursi kerjanya. Jangan harap dia berada di luar ruang CEO, tidak, meja kerja sekretaris ada di dalam jangkauan seorang Agathias. Dia memang niat sekali ingin menindasku.

Hanya diberi sekat sebuah rak buku untuk membatasi wilayah kerja. Tapi tetap saja bisa melihat satu sama lain melalui celah kosong. Sudah satu tahun ini Loralei merasakan penindasan itu, dua tahun awal ia ditempatkan pada ruang sendiri. Namanya juga budak, menurutlah dengan bos demi uang.

“Lo,” panggil Agathias. Sorot matanya menangkap sekretaris itu dari celah rak yang sengaja tidak dibuat penuh.

Loralei mengangkat tangan saja, namun enggan melihat bosnya. “Jangan ajak bicara saya jika bukan tentang pekerjaan.” Dia sedang malas diganggu. Cukup sedih kehilangan uang sebanyak itu.

“Kenapa jadi kau yang marah denganku? Seharusnya aku yang kesal karena sudah dibohongi.” Agathias melipat kedua tangan di dada, walau tak dilihat oleh istrinya.

“Kantor untuk bekerja, bukan membicarakan masalah pribadi, profesional!” tegas Loralei. Ia sedang melakukan perlawanan. Ditindas terus dua puluh empat jam juga lama-lama bisa muak.

Loralei menatap Agathias dengan sorot kesal. Dia kemudian berdiri untuk merubah posisi kursi kerja supaya tidak menghadap ke arah bos menyebalkan itu.

Agathias hanya diam dan melihat kelakuan istrinya yang sekarang mulai berani membangkang juga melawannya. Padahal Loralei biasa selalu menurut perintahnya.

...........

Jam kerja pun habis. Loralei lekas menyimpan semua pekerjaannya dan segera berkemas. Dia meraih tas dan menyampirkan ke bahu. “Aku pulang sendiri naik taksi,” ucapnya saat mendapati Agathias menatapnya.

Loralei keluar begitu saja tanpa menanti perizinan dari bosnya. Kaki sengaja berjalan cepat supaya lekas sampai ke lift dan meninggalkan si menyebalkan. Berharap tidak bisa disusul.

“Untung dia tak mengikutiku.” Loralei bernapas lega ketika masuk ke dalam lift dan tidak mendapati Agathias berada di lorong. Tandanya pria itu masih berada di dalam ruangan.

Loralei berdiri di tepi jalan, menanti ada taksi yang lewat karena ia berangkat bersama Agathias. Jadi, tak membawa kendaraan sendiri.

Sudah satu jam lamanya Loralei berdiri, tapi tak kunjung ada taksi yang melaju di depan perusahaan tempatnya bekerja. Kalau naik bus terlalu jauh jalan ke halte, sudah lelah hati, pikiran, masa iya mau ditambah lelah fisik, kan malas. “Aneh, biasanya banyak,” gumamnya bingung.

Loralei menyapu pandangan, pasti ada yang tidak beres. Benar saja, ternyata ada bosnya yang sedang berdiri di tepi jalan berjarak dua puluh meter dari tempatnya berada saat ini. Pria itu nampak memberhentikan setiap taksi yang lewat dan entah apa yang dikatakan oleh manusia itu, mobil yang sejak tadi ia nanti pun berputar tak jadi melaju melewatinya.

Tangan Loralei terkepal, kakinya menghentak sebal. “Pasti dia sengaja melakukan penjajahan jenis lain.” Sejak menjadi istri bosnya, ia jadi sering menggerutu.

Loralei menghampiri Agathias. Tidak bisa dibiarkan, pria itu perlu ditegur. “Kenapa kau jahat sekali! Aku mau pulang naik taksi tapi mereka semua putar balik setelah kau cegat.” Ia menarik lengan bos sekaligus suaminya supaya menatap wajahnya yang sudah ditekuk cemberut.