NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep.19 : Surat Kedua dari Charles de Bruijn

"Gedung tinggi bisa runtuh. Lembah yang luas bisa terbakar. Hanya karena tidak adanya pengendalian diri. Bisa dibayangkan, betapa pentingnya pengendalian diri dalam hidup ini,"

Mbah Lodra berbicara dengan suara rendah. Di depannya Cakra sedang bersimpuh sambil menunduk.

"Seseorang bisa menguasai dunia bukan karena memiliki pengetahuan seluas samudra, tetapi juga karena memiliki pengendalian diri yang besar. Ilmu tanpa pengendalian diri sama seperti melepas kuda yang jago berlari tanpa penunggangnya. Dia akan menyambar apapun di depannya dengan sembarang sehingga membahayakan dirinya sendiri,"

Cakra menunduk semakin dalam. Pikiran dan hatinya sedang kalut.

"Apa kamu tahu akibat dari ketidakadaan pengendalian diri mu di de Rozenkamer, Cakra?,"

"Tahu, Guru," jawab Cakra pelan.

"Kamu bisa membuat dirimu dan Dhyas terbunuh. Lodewick itu pimpinan yang sangat berpengaruh. Selama ini dia sulit dijangkau. Saking kuat pengaruhnya, tidak pernah ada yang bisa menyentuh bisa legalnya. Hanya dengan beberapa kalimat, dia bisa membuat pasukan Belanda di beberapa daerah mengangkat senjata untuk menyerang. Dan kamu mengacaukan misi ini,"

Cakra memejamkan matanya. Kalimat itu seperti tikaman pisau belati di hatinya. Mengubek-ubek semua yang ada di dalam. Berdengung terus di telinganya sehingga menimbulkan rasa bersalah yang teramat dalam.

Cakra keluar dari pendopo gurunya tanpa membela diri sedikitpun. Dia tahu dia salah. Tapi alasan dia melakukan itu tidak salah. Yah setidaknya itu yang dia yakini.

Yudistira mendekati Cakra yang duduk sendirian di sudut sunyi pendopo. Duduk melantai menatap hampa ke depan.

"Syukurlah kalian bisa pulang dengan selamat," Yudistira menepuk bahu Cakra.

Cakra menoleh lalu membuang wajahnya lagi.

"Kenapa? Ada masalah?," Yudistira duduk di samping Cakra.

"Aku menggagalkan misi," jawab Cakra lirih.

"Yang penting kalian selamat,"

"Aku hampir membuat Dhyas terbunuh," suara Cakra lebih lirih, "Aku tersulut cemburu ketika mendapat pria itu ingin menyentuh Dhyas di kamar," Cakra mengusap kasar rambutnya.

"Kalau aku jadi kamu aku juga akan melakukan hal yang sama. Bukankah pasangan kita adalah harga diri kita,"

"Aku gagal melindungi Dhyas," keluh Cakra dengan lirih yang mendalam.

"Justru kamu berhasil melindunginya," hibur Yudistira.

Cakra menggeleng hampa.

**

Sri lestari bergetar menatap surat yang dia terima itu. Susah payah dia menelan ludahnya. Napasnya seperti tersekat.

"Tahu dari mana dia. Tidak boleh. Aku tidak boleh diceraikan. Aku harus bertindak," gumamnya panik.

Cakra masuk dengan wajah lesu, tubuh yang letih, jiwa yang lunglai.

Sri Lestari langsung menyerbu anaknya itu,

"Cakra, kamu harus menolong ibu,"

Cakra menoleh. Tatapannya masih kosong. Dia masih terbebani peristiwa semalam.

Sri Lestari beranjak dari tempat duduknya dan menarik tangan Cakra untuk duduk. Cakra menurut tanpa berkata apa-apa.

"Cakra, kamu harus berangkat ke Belanda. Kamu harus menemui ayahmu dan mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam surat ini hanyalah sebuah tuduhan. Katakan kalau kamu melihat ibu tetap setia padanya," ujar Sri Lestari panik.

Cakra menoleh dengan wajah sangat kesal,

"Tidak. Sudah kukatakan aku tidak akan ke Belanda,"

"Ibu juga keberatan sebenarnya kamu kesana. Tapi lihat surat ini. Ayahmu tahu kalau ibu punya pacar di sini. Entah dia mendapat kabar dari mana. Ambil hati ayahmu dengan mengikuti keinginannya untuk kamu bersekolah di sana. Jangan sampai ayahmu membuang kita berdua," suara Sri Lestari getir.

"Aku sudah memperingatkan pada ibu agar tidak melakukan itu. Tapi apa? Ibu selalu bilang jangan ikut campur. Sekarang ketika ayah tahu, ibu malah minta bantuan ku. Aku yang ibu suruh berkorban," kekesalan Cakra semakin menumpuk.

"Cakra. Sebenarnya kamu sayang tidak sama ibu. Diminta melakukan hal sekecil ini saja kamu menolak. Apa tidak cukup pengorbanan ibu membawamu sembilan bulan dalam perut ibu dan melahirkanmu. Sekalinya minta tolong kamu merasa sudah hebat, begitu?,"

Cakra berdiri,

"Aku tidak pernah meminta dilahirkan. Tidak ada satupun anak di dunia yang minta dilahirkan. Ibu mengandungku, melahirkanku, membesarkanku bukankah itu bagian dari tanggung jawab. Itulah mengapa Tuhan menitipkan ku pada ibu karena ibu dilihat mampu bertanggung jawab bukan sekadar melakukan tindakan yang pamrih. Anak lahir bukan untuk membalas budi tapi untuk dicintai, Bu,"

Sri Lestari ikut berdiri,

"Begitu? Itu yang diajarkan padepokanmu? Membalas kata-kata ibu. Sudah merasa hebat kamu ya,"

Cakra membuang napas kasar,

"Berhenti jadi orang yang selalu menyalahkan pihak lain atas apa yang terjadi. Padepokan ku tidak ada hubungannya dengan ini. Aku seperti ini adalah buah didikan ibu sendiri. Berapa kali aku melarang ibu memperingatkan ibu jangan seperti itu. Tapi ibu tidak mendengarkan. Lalu sekarang ibu mau menyalahkan ku? Menyalahkan padepokanku? Heh!,"

Cakra menuju kamarnya dan menutup pintu. Tidak peduli berapa kali ibunya mengetuk pintu.

"Cakra! Buka pintunya!," teriak Sri Lestari sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Cakra.

Cakra menutup telinganya dengan bantal.

**

Dhyas menekan dadanya yang nyeri. Perkelahian di de Rozenkamer membuat luka bekas tembakan di dadanya meradang.

Nyai Rindi masuk membawa teh jahe untuk anaknya,

"Sampai kapan kamu seperti ini, Yas. Kamu perempuan loh nak,"

Dhyas hanya meringis tidak berkata-kata. Seluruh tubuhnya merasakan sakit dan kelelahan membuatnya malas untuk berkata-kata.

"Menikah saja, nduk. Biar kamu jadi ibu rumah tangga saja. Tidak perlu seperti ini lagi. Kamu membuat ibu dan ayah selalu khawatir setiap hari,"

Dhyas merasakan tubuhnya mulai menggigil.

"Kalau ayah tidak memberi restu teman baikmu itu, si anak bule itu, yah cari lain saja. Masih banyak laki-laki yang mau sama kamu,"

Nyai Rindi menatap Dhyas,

"Nduk..Dhyas...Yas.. Astagfirullah, panas sekali. Ayah, ayah, ayah," Nyai Rindi panik.

Cak Din masuk tergopoh-gopoh,

"Ya Bu?,"

"Dhyas demam,"

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!