NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 21: ANYA MULAI CEMAS

Seminggu setelah pertemuan di Bandung, Anya mulai menyadari ada sesuatu yang berubah pada Elang—perubahan kecil yang mungkin orang lain tidak akan notice, tapi Anya yang setiap hari melihatnya, yang memperhatikan detail kecil seperti cara ia memegang gelas teh atau nada suaranya ketika bilang terima kasih, Anya melihat semuanya.

Elang masih sholat lima waktu. Masih bangun subuh bahkan sebelum adzan. Masih ikut jamaah di masjid kecil bersama Anya dan jamaah lain. Tapi ada sesuatu yang berbeda di sholat-nya sekarang—dulu ia sujud lama, dahi di sajadah dengan napas pelan seperti orang yang benar-benar bicara dengan Tuhannya. Sekarang sujudnya lebih cepat, lebih mechanical, seperti rutinitas yang dijalankan karena kebiasaan bukan karena kebutuhan jiwa.

Dan setelah sholat, dulu ia duduk sebentar di sajadah, kadang baca Al-Quran dengan suara pelan, kadang hanya diam dengan mata tertutup. Sekarang begitu salam, ia langsung lipat sajadah dengan cepat, naik ke kamar, dan suara ketikan laptop terdengar dari balik pintu sampai larut malam.

Matanya juga berubah—merah karena kurang tidur, ada kantung hitam di bawahnya yang semakin dalam setiap hari. Tubuhnya yang sudah mulai berisi sedikit setelah sebulan di Pangalengan sekarang kembali kurus, tulang pipi menonjol tajam lagi seperti waktu pertama kali datang.

Pagi itu, Anya mempersiapkan sarapan istimewa—nasi timbel dengan ayam goreng, sambal terasi, lalapan segar, kerupuk, dan tahu goreng yang masih hangat. Makanan favorit yang biasanya membuat Elang tersenyum lebar dan bilang "Nya, kamu ini malaikat atau apa sih?" sambil menghabiskan dua piring penuh.

Tapi ketika Elang turun—sudah jam sembilan pagi, terlambat dari biasanya—ia hanya duduk di meja dengan mata yang kosong, menatap piring tanpa benar-benar melihat.

"Mas," Anya duduk di seberangnya dengan nampan berisi piring nasi timbel yang ditata rapi, "sarapan dulu. Anya bikinin special nih."

Elang melirik sekilas, mencoba tersenyum—tapi senyum itu tidak sampai mata, hanya gerakan bibir yang dipaksakan. "Makasih Nya. Tapi aku lagi nggak terlalu lapar. Mungkin nanti aja—"

"Mas," Anya memotong dengan suara yang lebih tegas dari biasa, "badannya makin kurus. Kemarin emak bilang baju yang mas pake makin longgar. Kalo mas sakit, siapa yang mau jalanin rencana mas?"

Argumen praktis itu—bukan emosional, tapi logical—membuat Elang terdiam. Ia menatap piring di depannya, lalu dengan gerakan lambat mulai makan. Tapi Anya bisa lihat: ia makan seperti robot, memasukkan makanan ke mulut, mengunyah, menelan, tanpa benar-benar merasakan. Tanpa enjoyment. Tanpa... hidup.

Anya menonton dengan dada yang sesak. Ini bukan Mas Elang yang ia kenal—yang dulu nangis karena bawang, yang tertawa waktu pertama kali berhasil goreng tempe tanpa gosong, yang menatap kebun teh dengan mata yang mulai bisa appreciate keindahan lagi. Ini versi berbeda—versi yang terkonsumsi oleh sesuatu yang Anya tidak sepenuhnya mengerti tapi sangat takuti.

"Mas," katanya pelan setelah Elang selesai makan setengah piring—progress kecil tapi lebih baik dari tidak sama sekali, "aku tau mas lagi ada kerjaan penting. Aku nggak nanya apa—itu urusan mas. Tapi... mas istirahat dulu. Laptop bisa ditutup sehari. Kerjaan bisa ditunda—"

"Nggak bisa," Elang memotong, suara flat. "Ini ada deadline. Ada timing. Kalau aku miss momentum—"

"Momentum apapun gak penting kalau mas sakit!" Anya tiba-tiba berdiri, tangannya mengepal di sisi tubuh—bukan marah, tapi desperasi. "Mas pikir aku nggak lihat? Mas pikir aku nggak notice mas jarang tidur? Mas pikir aku nggak dengar mas jalan bolak-balik di kamar sampe jam tiga pagi?"

Elang menatapnya dengan mata yang melebar sedikit—surprised bahwa Anya memperhatikan sedetail itu. "Nya, aku... aku baik-baik aja—"

"Mas nggak baik-baik aja!" Air mata mulai mengumpul di mata Anya tapi ia paksa untuk tidak jatuh—tidak sekarang, tidak di depan Elang yang sudah punya cukup beban. "Mas lagi balas dendam. Anya tau. Anya nggak bodoh. Anya dengar mas telepon sama orang—bicara tentang strategy, tentang timing, tentang 'jatuhkan dia'. Dan Anya ngerti—Anya ngerti mas butuh keadilan. Tapi mas..." Suaranya pecah sebentar, ia menarik napas dalam untuk stabilkan, "...mas jangan sampe kehilangan diri mas sendiri di tengah semua itu. Karena kalo mas kehilangan diri mas, sanajan mas menang... mas tetap kalah."

Kata-kata yang sama yang pernah ia bilang minggu lalu, tapi kali ini dengan weight berbeda—dengan desperate plea yang membuat kata-kata itu menusuk lebih dalam.

Elang berdiri perlahan, berjalan ke jendela kecil yang menghadap kebun belakang. Tangannya memegang frame jendela dengan grip yang terlalu kuat, kuku hampir menggali kayu.

"Anya," katanya tanpa menoleh, "lo nggak ngerti. Lo belum pernah dikhianatin sama orang terdekat. Lo belum pernah kehilangan tujuh tahun kerja keras dalam semalam. Lo belum pernah duduk di penjara buat kejahatan yang nggak lo lakukan sambil orang yang ngejebak lo tidur nyenyak di ranjang mewah—"

"Mas," Anya berjalan mendekat, berdiri di samping Elang dengan jarak yang respectful tapi close enough untuk presence terasa, "aku nggak bilang mas harus maafin mereka. Aku nggak bilang mas harus lupain apa yang mereka lakukan. Aku cuma bilang... jangan biarkan dendam itu jadi satu-satunya hal yang bikin mas hidup. Karena itu..." Ia mencari kata yang tepat, "...itu kayak hidup di penjara versi lain. Penjara yang mas buat sendiri."

Elang akhirnya menoleh, menatap Anya dengan mata yang... tired. Begitu tired sampai terlihat lebih tua dari umurnya. "Mungkin," bisiknya, "mungkin aku emang udah terlalu lama di penjara sampai nggak tau lagi gimana hidup di luar."

Anya merasakan sesuatu pecah di dadanya—bukan sedih biasa, tapi sedih yang lebih dalam, sedih untuk seseorang yang kamu sayang tapi tidak bisa kamu selamatkan sendirian. Tanpa berpikir, tanpa perhitungan social appropriateness, ia melangkah maju dan duduk di kursi samping Elang—tidak, bukan duduk, ia duduk DI kursi yang sama dengan Elang, memaksa dirinya masuk ke space personal dengan cara yang gentle tapi firm.

"Mas," katanya dengan suara yang sekarang sangat pelan, hampir bisikan, "istirahat. Please. Cuma sehari. Cuma satu hari dimana mas nggak mikirin laptop, nggak mikirin rencana, nggak mikirin dendam. Cuma satu hari dimana mas... dimana mas cuma jadi mas."

Elang menatapnya—gadis yang duduk sekarang sangat dekat sampai ia bisa lihat bintik-bintik kecil di hidungnya, bisa cium aroma sabun sederhana yang ia pakai, bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan dingin yang sudah lama mengisi dadanya sendiri.

"Aku nggak tau lagi siapa 'aku'," bisiknya dengan honesty yang brutal, dengan vulnerability yang jarang ia perlihatkan. "Dulu aku CEO. Terus aku narapidana. Terus aku pelarian. Sekarang aku... aku apa, Nya?"

Anya mengangkat tangan—gerakan slow, giving Elang time to pull back kalau ia mau—dan meletakkan tangan kecilnya di pipi Elang yang kasar karena belum cukur. Sentuhan itu gentle, warm, grounding.

"Mas itu mas," jawabnya dengan simplicity yang somehow profound. "Bukan CEO. Bukan narapidana. Bukan pelarian. Cuma mas—orang yang rajin sholat, yang suka teh anget, yang suka duduk di teras ngeliat bintang, yang... yang bikin hate aku berasa anget setiap kali aku lihat mas."

Confession itu—polos dan berani sekaligus—membuat sesuatu crack di armor Elang. Ia menutup mata, bersandar sedikit ke sentuhan tangan Anya seperti orang yang kehausan akhirnya menemukan air.

"Nya," suaranya gemetar sedikit, "kalau nanti aku berubah jadi orang jahat... kalau dendam ini ngubah aku jadi monster yang nggak jauh beda sama Brian... kamu masih mau sama aku?"

Pertanyaan itu loaded dengan fear—fear yang lebih dalam dari takut kalah atau takut gagal. Takut kehilangan bagian terakhir dari kemanusiaannya. Takut menjadi exactly seperti orang yang ia benci.

Anya tidak langsung menjawab. Ia menatap mata Elang dengan mata yang berkaca-kaca tapi determined, lalu dengan gerakan yang pasti, ia peluk Elang—bukan pelukan romantis, bukan pelukan yang expect something back, tapi pelukan yang bilang "I'm here. You're not alone. You're not lost as long as I can hold you."

"Anya nggak akan biarkan mas jadi orang jahat," bisiknya di telinga Elang, suara bergetar tapi firm. "Anya akan ingetin mas jalan yang bener. Tiap hari. Tiap waktu. Sanajan mas nggak mau dengerin, Anya akan tetap ingetin. Karena Anya... Anya sayang sama mas. Sayang sama mas yang bener, bukan sama dendam yang ada di dalem mas."

Pelukan itu hold lama—berapa lama, neither of them sure. Cukup lama sampai Bu Marni muncul dari dapur, melihat mereka, tersenyum lembut, dan quietly mundur tanpa interrupt.

Cukup lama sampai Elang merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan: aman. Bukan aman fisik, tapi aman emosional—perasaan bahwa ada seseorang yang akan catch him kalau ia jatuh, yang akan hold him kalau ia pecah, yang akan remind him siapa dia sebelum dunia jadi terlalu kejam.

Ketika akhirnya mereka release pelukan, mata Elang basah—bukan menangis penuh, tapi ada air yang tidak bisa ditahan. Anya mengusapnya dengan ibu jari dengan gentleness yang membuat Elang ingin menangis lebih keras tapi ia tahan.

"Satu hari," akhirnya ia berkata, suara serak. "Anya mau aku istirahat satu hari?"

Anya mengangguk dengan senyum yang shaky tapi genuine. "Satu hari. Cuma mas jeung Anya. Nggak ada laptop. Nggak ada HP. Nggak ada planning. Cuma... hidup."

"Aku nggak inget lagi gimana caranya 'cuma hidup'," Elang admit dengan laugh yang sad.

"Anya ajarin," Anya berdiri, mengulurkan tangan dengan confident yang somehow infectious. "Yuk. Hari ini kita jalan-jalan. Ke kebun teh. Ke air terjun kecil di belakang bukit. Ke pasar buat beli snack. Ke mana aja yang bikin mas inget bahwa dunia ini nggak cuma tentang revenge—tapi juga tentang... tentang hal-hal kecil yang indah."

Elang menatap tangan yang terulur itu—tangan kecil yang somehow lebih kuat dari yang ia expect, tangan yang menawarkan lifeline ke sesuatu yang ia hampir lupa existed: normalcy. Joy. Peace.

Dengan decision yang feel both terrifying and relieving, ia raih tangan itu. "Oke. Satu hari. Tapi besok—"

"Besok urusan besok," Anya memotong dengan grin. "Sekarang mah urusan sekarang. Come on!"

Ia tarik Elang keluar dari warung, ke jalan setapak yang menuju kebun teh. Matahari sudah tinggi, udara hangat tapi angin tetap dingin khas pegunungan. Mereka jalan berdampingan—tidak gandeng tangan, tapi bahu kadang bersentuhan, dan itu cukup.

Anya bicara tentang hal-hal kecil—tentang bagaimana ia dulu suka main di kebun teh waktu kecil, tentang bagaimana bapaknya pernah kerja sebagai pemetik teh sebelum jadi driver, tentang mimpinya yang dulu mau jadi guru bahasa Inggris dan ngajar anak-anak desa supaya punya peluang lebih baik.

Elang mendengarkan—benar-benar mendengarkan, bukan dengan setengah pikiran sambil otak lain planning strategi. Dan entah kenapa, mendengar cerita sederhana Anya tentang kehidupan yang simple tapi penuh makna... itu therapeutic dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Di air terjun kecil—hanya setinggi dua meter, airnya jernih dan dingin—Anya dorong Elang untuk cuci muka dengan air itu.

"Katanya air terjun ini ada berkahnya," katanya dengan tone setengah percaya setengah playful. "Orang yang cuci muka di sini bakal dapet ketenangan."

Elang mau bilang itu superstition, mau bilang air ya tetap air, tapi ia lihat mata Anya yang berbinar penuh harapan, dan ia tidak bisa refuse. Ia cuci muka dengan air yang shockingly cold, membuat seluruh wajahnya terasa alive dengan cara yang sharp dan clear.

Ketika ia angkat kepala, air menetes dari rambut dan wajah, Anya ketawa—tertawa genuine yang terdengar seperti music.

"Mas kelihatan kayak anak kecil habis main hujan!" katanya sambil ketawa.

Dan entah kenapa, melihat Anya ketawa seperti itu, Elang ikut tersenyum—bukan senyum paksa, bukan senyum strategy, tapi senyum yang real, yang warm, yang forgot sebentar tentang Brian dan Zara dan dendam dan semua darkness.

Satu hari itu terasa seperti hiatus dari perang. Dan untuk pertama kalinya dalam sangat lama, Elang merasakan sesuatu yang almost mirip dengan... happiness.

Tapi di Jakarta, 150 kilometer jauhnya, Brian duduk di office dengan laptop terbuka menampilkan hasil investigasi dari private detective yang ia hire: foto Elang di Pangalengan, foto Stella, foto Anya.

Dan Brian tersenyum—senyum yang cold dan calculated.

"Found you," bisiknya ke layar.

---

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!