Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30
[Bandara Kualanamu – Siang Hari]
Pesawat mendarat dengan mulus di landasan. Getaran terasa cukup kuat hingga membuat sebagian penumpang terbangun dari tidur mereka. Naysila perlahan membuka matanya, menyadari kepalanya masih bersandar di bahu Alden. Dengan cepat ia menegakkan tubuhnya, pipinya bersemu merah karena malu.
"S-sudah sampai ya?" tanyanya pelan, tanpa menatap langsung ke arah Alden.
Alden hanya tersenyum tipis. "Iya, sebentar lagi kita turun."
"Maaf, aku ketiduran di bahu kamu," ucap Nasyila malu.
"Aku yang sengaja menyandarkan kamu di bahuku. Jadi gak usah minta maaf," jawab Alden santai.
Naysila menggigit bibir bawahnya. Selama beberapa detik ia diam, sampai akhirnya menyadari tangannya masih bertaut dengan tangan Alden.
Matanya seketika membulat. Cepat-cepat ia melepaskan tangannya dari genggaman Alden dengan pipi yang kian terasa hangat.
Melihat Naysila yang salah tingkah, Alden diam-diam tersenyum. "Lucu juga," gumamnya dalam hati.
Pria itu lalu bangkit, membuka bagasi kabin dan menurunkan tas kecil Naysila. "Ini," katanya sambil menyerahkan. Naysila menerima tanpa banyak kata, hanya mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, mereka berempat keluar dari pesawat, berjalan beriringan menuju terminal kedatangan. Suasana bandara Medan begitu ramai, dengan suara pengumuman dan langkah-langkah penumpang yang bersahutan.
Pak Haldy sudah memesan mobil untuk menjemput mereka. Seorang sopir berdiri menunggu dengan papan nama bertuliskan "Keluarga Haldy". Setelah saling menyapa singkat, mereka pun diarahkan menuju mobil van yang sudah terparkir di area pick-up.
Naysila dan Alden yang berjalan beriringan, tidak berbicara, tapi Alden memperhatikan langkah Naysila dan mendekati sambil merenggangkan satu tangannya di belakang punggung wanita itu seolah ingin menjaga Naysila. Memastikan istrinya tak akan hilang.
Jalanan Medan siang itu cukup padat, namun suasananya berbeda dari Jakarta. Bangunan-bangunan tua bercampur dengan gedung-gedung modern terlihat sepanjang jalan. Sopir yang membawa mereka ramah, sesekali menjelaskan rute sambil menyinggung beberapa tempat khas Medan.
Bu Tamara terlihat antusias mendengarkan, sesekali menimpali dengan tawa kecil. Pak Haldy duduk tenang di samping sopir, sementara di bangku tengah, Alden dan Naysila kembali terjebak dalam diam. Sesekali, Bu Tamara menoleh ke arah mereka berdua, tatapannya penuh arti.
"Nay, besok kita akan cukup sibuk," ucap Bu Tamara, berusaha mencairkan suasana. "Kamu gak usah cemas, semuanya sudah diatur. Kamu hanya perlu istirahat setelah ini."
"Iya, Bu…" jawab Naysila sopan.
Alden melirik istrinya sekilas, lalu kembali menatap ke depan. Dalam hati, ia berharap Naysila benar-benar bisa merasa nyaman, meski tahu situasi ini masih terasa berat bagi mereka berdua.
[Hotel]
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah hotel mewah di pusat kota Medan. Bangunannya tinggi dengan desain modern, pintu kaca berputar di lobi utama memantulkan cahaya siang yang terik. Bellboy segera membantu menurunkan koper mereka.
Begitu masuk ke dalam lobi, Naysila dibuat kagum dengan interiornya. Lampu kristal besar menggantung megah di langit-langit, sementara sofa empuk tersusun rapi di area lounge. Aroma wangi bunga segar tercium samar dari vas-vas besar yang menghiasi sudut ruangan.
Pak Haldy langsung menuju meja resepsionis untuk mengurus check-in, sementara Bu Tamara menggandeng tangan Naysila. "Nay, kamu akan sekamar dengan Alden. Gak apa-apa ya? Besok pagi kita akan menghadiri acara akad nikah lalu malamnya menghadiri acara resepsi. Jadi, sebaiknya kalian istirahat biar besok lebih fit."
Mendengar itu, Naysila menegang. Matanya sekilas melirik ke arah Alden yang hanya berdiri tenang di samping koper. Wajahnya sulit terbaca, namun ia tidak membantah keputusan ibunya.
"Kenapa harus sekamar sih?" gumamnya dalam hati. "Padahal masih bisa pesan kamar yang lain, kan?"
Naysila agak kesal pada keputusan sepihak dari mertuanya, namun tak berani protes karena takut membuat mereka tersinggung.
"Sudah selesai, ayo kita naik." Pak Haldy kembali sambil menyerahkan kartu kamar pada Alden.
Mereka pun masuk ke dalam lift menuju lantai 8 hotel, tempat di mana kamar mereka berada.
Lift membawa mereka menuju lantai atas. Sesampainya di lorong panjang yang sunyi, satu per satu kamar mereka dibuka. Pak Haldy dan Bu Tamara masuk ke kamar sebelah, sementara Alden dan Naysila masuk ke kamar yang disediakan untuk mereka, yang letaknya tak jauh dari kamar Bu Tamara dan Pak Haldy.
Saat pintu kamar terbuka, menampilkan ruangan luas dengan ranjang king size yang rapi, sofa kecil di sudut, serta jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Medan siang itu.
Alden masuk lebih dulu, meletakkan koper di dekat meja. Naysila masuk pelan, menutup pintu di belakangnya. Suasana canggung kembali menyelimuti mereka berdua.
"Kamu pasti gerah," ucap Alden. "Mau mandi duluan?"
Naysila menggeleng. "Kamu duluan saja. Aku masih mau istirahat."
"Baiklah."
"Aku mandi dulu," ucap Alden singkat sambil mengambil handuk dari koper.
Naysila hanya mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang sambil meremas ujung jilbabnya. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tapi lebih pada kebingungan harus bagaimana menghadapi kebersamaan seperti ini.
Hal-hal seperti ini masih terasa tabu untuknya yang sebelumnya sangat jarang dalam satu ruang tidur bersama Alden. Naysila takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan antara mereka.
Begitu Alden masuk ke kamar mandi, Naysila menarik napas panjang. Ia melirik jendela besar, menatap langit yang cerah.
"Ya Allah... semoga aku gak bikin dia kesal kali ini. Aku gak mau membuatnya gak betah karena keberadaanku."
Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, pertanda Alden sedang mandi.
Naysila pergi ke balkon kamar dan berdiri di sana, memperhatikan suasana kota yang masih tampak sibuk.
Drrrt, drrrt...
Ponselnya bergetar di dalam tas yang masih ia bawa. Naysila merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Ibu," ucapnya, saat membaca nama kontak sang ibu yang menghubunginya.
Naysila segera menerima panggilan itu tanpa menunggu lama. "Halo, Bu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Nak." Suara Bu Diah terdengar di seberang telepon. "Apa kamu sudah sampai?"
"Alhamdulillah, sudah sampai, Bu. Sekarang aku di kamar hotel, sambil mempersiapkan diri untuk acara besok."
"Syukurlah kalau kalian sampai dengan selamat. Ibu sejak tadi menunggu kamu menghubungi, agak cemas."
"Jangan cemas lagi, aku sudah sampai dengan selamat, Bu."
"Oh iya, Alden ke mana?"
"Dia sedang mandi. Aku juga mau mandi, tapi harus gantian sama dia."
"Oh, begitu... Ya sudah, kamu istirahat ya. Ibu mau temani bapak kamu di toko."
"Baik, Bu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Setelah memutuskan sambungan telepon, Naysila berdiri sebentar di tempatnya sekarang sambil menikmati semilir angin siang itu. Begitu merasa cukup, Naysila akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar karena dirinya juga ingin segera mandi.
Tapi, saat Naysila masuk ia terkejut karena melihat Alden berada di dalam kamar dengan hanya memakai handuknya. Handuk itu melilit di pinggang, hanya menutupi bagian bawah tubuhnya saja, sementara bagian atas benar-benar polos.
Naysila dapat melihat bentuk tubuh suaminya untuk pertama kali. Dada yang bidang, perut yang terbentuk dengan sempurna.
Alden tak menyadari Naysila mematung dengan mata tertuju padanya. Ia sibuk memilih baju di dalam kopernya.
Naysila buru-buru memalingkan muka dan kembali ke balkon dengan perasaan tak karuan. Debar jantungnya terasa lebih cepat dari sebelumnya.
Ia geleng-geleng kepala, berusaha menghapus bayangan tentang Alden yang baru saja ia lihat. Ia tak boleh memikirkan hal-hal gila tentang pria itu, sekalipun Alden masih suaminya.
Naysila masih berdiri di balkon, kedua tangannya meremas pagar besi sambil menunduk. Wajahnya panas, jantungnya berdegup tak terkendali. Bayangan tubuh Alden yang hanya berbalut handuk barusan membuatnya makin salah tingkah.
Tiba-tiba, suara lembut memanggilnya.
"Nay..."
Wanita itu sontak terlonjak kecil. Tubuhnya menegang, matanya membulat. Dalam hati ia panik, membayangkan Alden mungkin masih dengan keadaan setengah polos tadi. Perlahan ia menoleh, namun seketika menghela napas lega.
Alden sudah rapi dengan kemeja kasual berwarna biru muda dan celana panjang. Rambutnya masih sedikit basah, membuat penampilannya tampak lebih segar. Tatapannya tenang, berbeda jauh dari bayangan liar yang sempat melintas di benak Naysila.
"Kamu mau mandi juga, kan?" tanya Alden, nada suaranya datar tapi sopan. "Aku sudah selesai. Kamu bisa gunakan kamar mandinya."
Naysila terdiam sejenak, lalu buru-buru mengangguk. "I-iya..."
Tanpa banyak bicara, ia segera berbalik dan melangkah cepat melewati Alden. Begitu dekat hingga hampir menyenggol bahunya. Gerakan itu membuat Alden refleks menoleh, menatap punggung istrinya yang langsung menghilang ke dalam kamar mandi.
Pintu kamar mandi tertutup dengan bunyi klik.
Alden masih berdiri di tempat, bingung dengan tingkah Naysila yang terlihat panik. Ia mengangkat alis, lalu bergumam kecil.
"Kenapa buru-buru banget... aku bikin dia kaget, ya?"
Alden menghela napas pendek, lalu akhirnya duduk di tepi ranjang. Ia menatap jendela besar kamar mereka yang menampilkan pemandangan kota Medan, sementara pikirannya masih berusaha memahami sikap Naysila yang semakin hari semakin penuh kejutan.
Beberapa saat kemudian...
Alden sibuk dengan ponselnya. Membalas beberapa pesan yang masuk dari orang-orang yang penting baginya. Hingga tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka sedikit dan Naysila memanggilnya, "Mas..."
Alden spontan menoleh ke arah pintu kamar mandi. Naysila hanya menunjukkan sedikit wajahnya, kemudian Alden pun mendekat.
"Ada apa, Nay?" tanya Alden.
"Mas, boleh minta tolong?" Naysila tampak malu-malu.
"Minta tolong apa?"
"Aku... aku lupa bawa handuk sama baju ganti," jawab Nasyila lirih. "Boleh tolong ambilkan?"
Alden tertegun, tapi kemudian tersenyum geli mendengar permintaan Naysila. Ia tahu, Naysila lupa membawa handuk dan bajunya hanya karena panik tadi.
"Baik, akan aku ambilkan," sahut Alden. "Tapi, aku harus ambil yang mana?"
"Yang jelas baju, Mas... Masa sih kamu gak tahu mana baju mana kain biasa?" Nada bicara Naysila terdengar sedikit kesal walaupun pelan.
Alden terkekeh. "Maksudnya, bajunya yang mana, Nay? Aku kan gak tahu kamu mau pakai baju yang mana. Takut salah ambil."
Naysila terdiam, berpikir sejenak. Ia menghela napas kecil, lalu menjawab dengan nada masih malu-malu.
"Ambilin aja yang ada di dalam koper… yang paling atas. Sama handuk kecil warna putih, Mas."
Alden mengangguk, lalu berjalan ke arah koper dan tas Naysila. Dengan tenang, ia membuka tas biru yang ditunjuk. Sesaat ia tertegun melihat lipatan-lipatan pakaian rapi di dalamnya. Di atas terletak gamis sederhana berwarna krem lembut, persis seperti yang Naysila maksud.
Dengan hati-hati, ia mengambil baju itu beserta handuk putih kecil yang terselip di sisi koper. Ia melangkah mendekat ke pintu kamar mandi dan berdiri di depan sana.
"Nay, ini sudah aku ambilkan," ucap Alden pelan.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit, hanya cukup untuk tangan Naysila menyembul keluar. Jemari halus itu cepat-cepat menyambar baju dan handuk yang diberikan Alden.
"Terima kasih…" suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Alden tersenyum tipis, meski pintu sudah kembali tertutup rapat. Ia melangkah mundur, kembali duduk di tepi ranjang. Dalam hati, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sisi rapuh dan polos istrinya ini membuat Alden semakin menyadari bahwa kebersamaan mereka akan penuh kejutan-kejutan kecil.
Ia baru saja hendak bersandar ketika suara lembut dari dalam kamar mandi kembali memanggil.
"Mas…"
Alden menoleh, agak heran. Ia berdiri lalu berjalan mendekat ke pintu. "Apa lagi?" tanyanya, suaranya terdengar tenang.
Dari balik pintu, terdengar jawaban pelan, nyaris malu-malu. "Kamu… nggak bawain dalamannya. Aku… nggak mungkin pakai baju tanpa dalaman."
Alden terdiam sejenak, tidak menyangka akan diminta hal itu. Wajahnya refleks menegang, namun segera ia menahan senyum kecil. "Oh… iya, maaf. Tadi aku nggak sadar. Kamu juga gak minta soalnya."
Dengan hati-hati, Alden kembali ke koper. Ia membuka bagian lipatan yang berisi pakaian dalam Naysila. Sesaat ia ragu, tangannya sempat berhenti di udara. Namun ia menghela napas, lalu cepat-cepat mengambil satu set dalaman yang terlipat rapi, memastikan tidak berlama-lama.
Ia melangkah kembali ke pintu kamar mandi. "Ini…" ucapnya pelan sambil mengulurkan melalui celah pintu yang kembali terbuka sedikit.
Tangan mungil Naysila menyambutnya cepat, lalu segera menutup pintu lagi. "Makasih…" ucapnya makin lirih.
Alden hanya menggeleng tipis sambil tersenyum, lalu kembali duduk di ranjang. Dalam hati ia berbisik, "ternyata hal-hal kecil begini pun bisa bikin aku merasa semakin dekat sama dia."
*****