Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihampiri Sosok Begu Ganjang
Malam ini, Aji dan yang lainnya tidur di rumah kenalannya Batubara. Namanya Togar. Sekarang mereka sedang di halaman rumahnya Togar. Togar dan beberapa orang lainnya sedang memanggang babi hutan yang tadi diburu siangnya. Sambil menunggu babi itu selesai dimasak, Aji dan lainnya mendengarkan cerita si Ompung tentang urban legend di kawasan tersebut. Tentang begu ganjang.
"Begu ganjang itu seperti apa, Ompung?" tanya Aji penasaran.
"Ada yang bilang, tangannya panjang-panjang. Tapi, aku sendiri belum pernah berjumpa dengan begu ganjang itu."
Yang lainnya lalu sibuk menyimak cerita si Ompung tentang begu ganjang tersebut. Bau babi panggang mulai menyeruak dan menyusup ke hidung masing-masing.
Malam turun perlahan di selatan Danau Toba. Udara berubah semakin dingin, tetapi halaman rumah Togar terasa hangat oleh kobaran api unggun yang menari-nari di tengah lingkaran. Rumah Togar, dengan dinding kayu dan atap ijuk, berdiri di kaki bukit kecil. Dari sana, cahaya bulan terlihat jatuh ke permukaan danau, seperti berlapis perak.
Di tengah halaman, Togar dan dua lelaki lainnya sedang memanggang babi hutan yang tadi mereka buru. Bunyi letupan lemak yang meleleh ke bara, membuat aroma sedap memenuhi udara malam.
Aji, Sari, Tumijan, Wijaya, dan Nawang Wulan... mereka masih duduk melingkar, menyelimuti diri dengan kain ulos pinjaman. Sementara Batubara berdiri tak jauh, berjaga, seperti selalu.
Ompung, lelaki tua yang wajahnya dipenuhi keriput dan rambutnya seputih kapas, duduk bersila di dekat api. Tongkat kayunya ia letakkan di samping. Sorot matanya tajam tapi hangat. Itu seperti seseorang yang tahu terlalu banyak tentang dunia ini.
Sari menelan ludah. Tumijan langsung merapatkan kain ulosnya.
“Seram juga…” Tumijan berdeham, “...konon di ujung lautan sana, ada juga legenda tentang leak."
Ompung mengarahkan tatapannya pada Tumijan. “Leak? Apakah di sana, ada daratan juga?”
Tumijan nyaris menjawab, tapi Batubara cepat-cepat menyentuh bahunya, memberikan isyarat sebentar lagi babi itu siap untuk dimakan.
Ompung melanjutkan, “Begu ganjang biasanya muncul bila ada seseorang yang membawa luka besar atau kutukan dalam dirinya. Kadang, bila seseorang melanggar janji leluhur. Kadang bila ada kekuatan asing dari luar dunia.”
Tatapan Ompung kini berhenti pada Aji. Aji menggigit bibir. Tubuhnya terasa dingin.
“Apakah begu ganjang… memburu manusia?” tanya Sari, suaranya kecil.
“Bukan memburu,” jawab Ompung. “Tapi… tertarik.”
Aji mengusap tengkuknya yang terasa dingin aneh. “Tertarik pada apa?”
Ompung mendekat, wajahnya hanya selengan dari Aji. “Pada mereka yang punya celah.”
Aji menahan napas.
Luka waktu. Celah itu. Yang menurut Ompu Siboru Saniang Naga harus ia pelajari kendalinya. Namun malam ini, duduk di halaman Togar, ia merasakan celah itu seolah berdenyut pelan di dalam dadanya.
“Sudahlah, Ompung,” kata Togar sambil membalik babi panggang. “Cerita itu buat anak-anak muda. Jangan buat mereka takut.”
Namun Ompung menggeleng. “Anak-anak muda ini harus tahu apa yang ada di sekitar danau. Apalagi mereka yang datang bukan dari masa ini.”
Aji menoleh. “Ompung tahu?”
Ompung tersenyum kecil. “Aku tak bodoh, Aji. Ada sesuatu pada napasmu, pada langkahmu, pada cara matamu melihat sekeliling. Kau tidak berasal dari sini. Kau membawa bau masa lain.”
Tumijan berbisik ke Wijaya, “Wah, Ompung ini lebih jago dari empu di Yawadwipa sepertinya.”
Wijaya menahan tawa, tetapi matanya tetap waspada melihat ke arah hutan.
Nawang Wulan, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara, “Ompung… apakah begu ganjang bisa muncul malam ini?”
Ompung menatap langit. “Bulan merah separuh. Angin dari utara. Bau tanah basah sore tadi. Ini semua tanda.”
“Tanda apa?” tanya Sari.
“Tanda bahwa malam ini kita tidak sendirian.”
Angin malam berembus kuat. Api unggun bergoyang. Daun-daun pinus berdesir.
Semuanya mendadak diam. Tidak lama setelah itu, suara kuk-kuk-kuk terdengar dari pepohonan. Suara kayu patah. Suara langkah besar. Suara aneh yang seperti helaan napas panjang sekali, yang tidak wajar.
Togar menegakkan tubuh. “Kalian dengar?”
Batubara langsung memegang belatinya. “Tetap dekat api.”
Tumijan bergumam, “Wah, ini bukan suasana makan-makan yang saya bayangkan.”
Bau babi panggang berubah bercampur dengan aroma aneh, yang agak busuk, seperti tanah kuburan yang dibongkar.
Kemudian suara langkah besar dari arah hutan.
“Jangan lihat terlalu lama,” bisik Ompung. “Begu ganjang itu memanjang, makin dilihat, makin tinggi.”
Aji mendekat ke Sari, merangkul bahu adiknya yang mulai gemetar. Dari balik pepohonan, muncul bayangan hitam. Yang tinggi dan kurus. Tangannya panjang sekali, hampir menyentuh tanah. Matanya dua titik merah menyala. Wujud itu berdiri diam, tetapi tubuhnya terus memanjang perlahan. Atau seperti sedang mendekat tanpa bergerak.
Sari berbisik, “Mas… yang tadi itu apa?”
Nawang Wulan menunduk sedikit, wajahnya tegang. “Itu bukan makhluk jahat dari dunia roh. Itu… makhluk yang tertarik pada waktu.”
“Apa maksudnya?” tanya Aji.
“Aku bisa merasakannya,” lanjut Nawang Wulan. “Ia mencium sesuatu darimu.”
Aji merinding.
Angin semakin dingin. Api unggun mulai mengecil.
Togar berteriak ke arah penduduk lain yang sedang memotong sayuran di dapur belakang, “AMBILKAN KAYU! CEPAT!”
Sayangnya suara langkah di hutan semakin mendekat. Bayangan itu semakin tinggi, semakin panjang, semakin kurus. Tangannya turun, hampir menyentuh tanah, dan lehernya memanjang ke arah langit. Mata merahnya tidak berkedip. Ia menatap Aji. Langsung ke Aji.
“Aji…” gumam Ompung. “Ia tertarik padamu.”
Aji mundur setapak. Tumijan dan Wijaya berdiri di depannya, meski wajah keduanya pucat.
“Mas… kalau dia maunya Aji, kita harus bagaimana?” Sari hampir menangis.
“Tetap dekat api,” kata Batubara. “Makhluk seperti itu tidak suka panas.”
Ompung mengangkat tongkat kayunya dan mengetukkan ke tanah tiga kali.
TAK! TAK! TAK!
Kemudian ia berseru, “Wahai begu ganjang! Kau tidak diundang! Ini tanah leluhur! Kembalilah ke hutan!”
Bayangan itu berhenti. Senyap. Lalu, lehernya bertambah tinggi lagi, seolah mencari sudut lebih jelas untuk melihat Aji. Dan ketika mata merahnya membesar, Aji mendengar suara dalam pikirannya.
'Aaa… jiii… waktuuu… waktuuu…'
Aji semakin mundur. Dadanya sesak. Ada getaran aneh dari dalam dirinya. Itu seperti lubang hitam kecil yang ingin terbuka.
Nawang Wulan menyadari itu.
Ia meraih tangan Aji cepat-cepat. “Kendalikan napasmu! Jangan biarkan celahnya terbuka!”
“A-aku tidak bisa…” Aji gemetar.
“Kau harus! Kalau tidak, makhluk itu akan masuk!"
Batubara menendang kayu kering ke api, membuat kobaran membesar. Togar mengambil obor dari samping rumah dan melemparkannya ke depan, namun angin dari hutan meniup nyalanya ke samping.
Begu ganjang bergerak. Perlahan, tetapi pasti.
Ia tidak berjalan, tapi ia mmeluncur Tubuhnya seperti ditarik oleh sesuatu ke arah Aji.
Tumijan langsung berdiri di depan Aji, membuka tangan lebar-lebar. “Kalau mau Aji, lewat saya dulu, Hei!”
Wijaya mengikuti. “Kami tidak akan biarkan!”
Ompung memukul tanah lagi. “PERGI!”
Api unggun menyala besar. Entah dari mana, suara gondang halus terdengar dari kejauhan. Musik itu naik perlahan, seperti dari dasar danau. Seperti dari dunia lain. Suara gondang itu bergema, memukul-mukul udara.
Mata begu ganjang berkedip. Untuk kali pertama ia bergerak. Kemudian tubuhnya berhenti memanjang. Lehernya memendek sedikit. Dengan jeritan panjang yang tidak wajar, makhluk itu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan hutan.
Suasana hening. Hanya suara api yang berderak. Sari terisak kecil. Tumijan duduk di tanah, lututnya lemas. Wijaya memegangi dadanya yang berdebar kencang. Aji masih menggigil.
Nawang Wulan menepuk bahu Aji. “Kau harus belajar mengendalikan celah itu. Mulai besok. Kalau tidak… hal seperti ini akan terus terjadi.”
Batubara duduk dekat Aji. “Sebelum kita sampai Samosir… aku rasa akan ada banyak hal yang mencoba mendekatimu.”
Ompung menatap Aji dalam-dalam.
“Malam ini kau sudah melihat, Aji. Dunia ini dan dunia lain sama-sama mencarimu. Dan sebelum kau bertemu Jaka Kerub… celah waktumu harus kau kunci.”
Aji menelan ludah. Ia tahu ini baru permulaan.
Di danau yang tenang itu, sesuatu sudah mulai bangun. Semua bayangan itu mengarah pada dirinya. Karena Aji bukan hanya anak yang hilang dari masa depan. Ia adalah celah waktu itu sendiri.