Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sekedar Rumor
Tepat di depan gedung apartemen tempat mantan istrinya tinggal, William melihat Miranda baru saja keluar dari mobil. Di gendongannya, tampak putri kedua mereka yang berusia lima tahun.
“Miranda!” pekik William, berjalan dengan langkah lebar mendekat ke arah mantan istrinya yang mencoba kembali masuk kedalam mobil.
“Pa … pa … papa … huaaaa!” tangisan Anggi memanggil papanya, memecah keheningan malam. Miranda segera menutup pintu mobil, memasang seatbelt Anggi yang duduk di sampingnya. Lalu, menyalakan mesin mobil dan melaju keluar dari area apartemen.
“Miranda!!” teriak William, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia berlari sekuat tenaga, namun sedan itu melaju semakin cepat. Napas William tersengal, ia menyerah dan kembali ke mobilnya.
Amarahnya membuncah. “Sialan!” umpat William, menyesali kegagalannya menemukan mobil Miranda yang telah menghilang. “Ke mana kau membawa putriku?” Ia mengusap wajahnya kasar—frustrasi.
William menatap layar ponselnya yang kini menampilkan lokasi Miranda. Sebelumnya, saat terakhir kali mereka bertemu dan William membawanya ke rumah sakit, dia sempat meretas ponsel Miranda untuk berjaga-jaga—menyimpan jejak-jejak yang bisa membantunya mengawasi keberadaan mantan istrinya yang sering membuat masalah.
Titik sinyal itu menuju ke Bandara, William menambah kecepatan mobilnya. Ia tidak mau Miranda membawa pergi jauh Anggi, putrinya. Tangannya meremas setir kuat-kuat. Membelah jalanan ibukota tengah malam yang tak pernah sepi.
Amarah mengendalikan dirinya saat ini, klakson mobil berulang kali ia bunyikan saat beberapa mobil menghalangi jalannya. Tanpa disadari saat ingin menyelip mobil lainnya, mobil lain dari sisi yang berlawanan juga dalam kondisi ugal-ugalan.
BRAK!
Suara hantaman mobil memekikkan telinga—bercampur dengan teriakan histeris.
Sementara, dua korban yang baru saja beradu moncong mobil, terjebak di dalamnya—keduanya ringsek. William berada di salah satu mobil itu. Napasnya tercekat, darah perlahan keluar dari pelipis.
Dug! Dug! Dug!
“Pak … Anda baik-baik saja?” suara ketukan jendela dan memanggil dirinya menggema—perlahan hilang bersamaan dengan kesadarannya.
.
.
Keesokan harinya, berita tentang kecelakaan yang dialami William tersebar di kantor. Suara bisik-bisik cemas mulai terdengar di antara meja-meja kerja, menggantikan suara mesin tik yang biasanya lebih jelas terdengar.
“Yang bener Pak William kecelakaan?”
“Iya kemarin malam…”
Raut wajah terkejut dan khawatir menghiasi wajah para karyawan, seolah tak percaya dengan berita yang baru saja mereka dengar. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, mencari kejelasan tentang kondisi William dan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi?
Vira yang juga mendengar berita itu, hatinya mencelos. Ia segera menelepon William berulang kali—tidak ada jawaban.
“Vir … bukannya semalem Pak William telepon kamu mau bawain makanan?” tanya Lisa, sempat mendengar percakapan Vira dengan William di telepon semalam saat di apartemen.
Vira mengangguk, raut wajahnya tegang dan panik. “Iya … tapi aku tolak, aku pikir belum saatnya dia tahu lokasi apartemen baruku,” ujar Vira, tangannya masih sibuk mengirim pesan ke William berharap berita itu tidak benar.
“Katanya kritis … iya Pak Hendra baru aja kerumah sakit. Pak William kan keponakannya…” berita lainnya muncul.
Vira segera bangun dari kursi kerjanya, mencari tahu apa yang terjadi? Mendekat ke arah rekannya yang berhasil menggali informasi.
“Di rumah sakit mana?” timpal Vira.
Satu rekan menoleh ke arah Vira. “Yang aku dengar sih di Cempaka Putih, lah … kamu katanya calon istrinya kenapa nggak tahu?” ujar rekannya.
“Calon istri?” Vira tersentak, rekannya bahkan tahu berita tentang William melamarnya. “Siapa yang bilang?” tanyanya lagi.
“Lisa,” jawab mereka bersamaan. Lalu pandangan mata mereka semua beralih ke arah Lisa.
Orang yang menjadi peran utama dalam menyebarkan rumor sekaligus rahasia itu mengusap wajahnya kasar ketika namanya disebut.
“Astaga Lisa mulutnya …” Vira kembali ke meja kerjanya. “ Ck…” berdecak kesal melihat sahabatnya yang berpura-pura sibuk dengan mesin tik setelah menyebarkan rumor, hingga semua anak kantor tahu hubungannya dengan William.
“Sorry, sorry … kece-plo-san …” Lisa menunduk, menggigit bibir bawahnya—merasa bersalah.
“Hah … kamu nih,” gerutu Vira. Menarik napasnya panjang, sebelum kembali duduk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.
‘Apa kecelakaan itu terjadi setelah pulang ingin menemui ku semalam?’ pikirnya. Vira menggaruk tengkuknya, merasa sedih sekaligus bersalah.
Sore itu, seusai jam kerja, Vira bergegas keluar dari gedung kantor dan menuju tempat parkir. Ia segera mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit.
Setibanya di sana, Vira dengan langkah gontai langsung menuju ruang informasi untuk mencari tahu kamar tempat William dirawat.
“William Sanjaya masih berada di ruang ICU,” ucap seorang petugas informasi.
Vira mengangguk, lalu pergi menuju ruang ICU. Disana, terlihat keluarga besar William menunggu di luar pintu ICU, membuat langkah Vira terhenti — canggung sekaligus penasaran.
Tapi, saat brankar keluar dari ruang ICU dan melihat pasien itu adalah William, Vira kembali melangkah. Ia mendekat memegangi guardrail brankar. Tanpa peduli reaksi keluarga William yang melihatnya dengan wajah terkejut.
“Siapa dia?” bisik-bisik keluarga William, yang berjalan di belakang perawat.
“Sa-sayang…” panggil William lirih, suaranya parau. Mata cokelat hazelnya yang tampak lelah menatap Vira, sementara jemarinya perlahan terangkat menyentuh punggung tangan Vira.
Vira mengangguk dalam diam. Matanya berkaca-kaca, namun langkahnya tetap mengikuti perawat yang akan memindahkan William ke ruang perawatan intensif.
“Aku tunggu di luar,” kata Vira saat William memasuki ruangan. Ia tahu, hanya anggota keluarga inti yang diperbolehkan masuk.
Vira berdiri, menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. Kedua tangannya bertautan erat, sementara pandangannya menunduk. Doa-doa dipanjatkan dalam hati untuk kesembuhan William.
Ia juga menyadari tatapan keluarga William yang menyorot ke arahnya, jantungnya berdebar kencang—bingung memulai dari mana untuk memperkenalkan diri.
“Kamu…?” suara lirih seorang wanita mendekat. Membuat Vira melepaskan tautan tangannya lalu mengangkat kepala dan menatap wanita yang berdiri di sampingnya.
Seorang wanita sekitar berusia 60 tahun—mengenakan blouse hitam yang dipadukan rok midi krem, menatapnya dengan penasaran.
“Vira?” suara bariton yang familiar memotong pertanyaan wanita itu. Pak Hendra atasannya yang baru saja tiba, mendekat ke arahnya.
Vira tersenyum tipis, lalu sedikit membungkuk canggung, sebagai isyarat salam dan perkenalan dirinya.
“Siapa dia Hendra?” tanya wanita itu.
“Dia adalah bawahan William, Savirani,” kata Hendra, memperkenalkan Vira.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Hendra.
Vira menggigit bibir bawahnya—bingung.
“William memanggilnya sayang…” timpal wanita itu.
“Apa?” Hendra terkejut, matanya membulat dan mulutnya terbuka lebar mendengar kabar itu. “Ka-kamu…?” kalimatnya menggantung.
Sebelum Pak Hendra memberikan pertanyaan lain Vira segera memperkenalkan dirinya secara langsung. “Maaf, sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri. Saya Savirani, junior di tim Pak William,” Vira memberanikan diri.
Wanita itu menatap Vira, mencoba mencerna situasi canggung ini. “Jadi, kamu… kekasih putraku?” tanyanya, menegaskan bahwa ia adalah ibu William.
Bersambung…
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍