Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 20
Resto itu tidak besar, interiornya serba kayu dengan lampu gantung di setiap meja. Boleh dibilang cukup privat tanpa harus terasa mewah. Di sana, mereka memilih meja paling pojok bukan karena berencana membahas hal rahasia, melainkan karena secara naluriah keduanya memang tidak suka terekspos. Apalagi Viena yang harus menjaga kaca mata bundarnya tetap pada tempatnya.
Piring baru saja diletakkan pelayan ketika Viena membuka topik pertama tanpa pengantar. Kini aroma ikan bakar yang disandingkan aneka lauk dan nasi menyusup ke dalam diri mereka melalui hidung.
“Aku mau tau nasib aku ke depannya gimana, dari sisi penyanyi anonim.” Jelas suara gadis itu datar, bukan gugup, bukan pula berharap sesuatu.
Mendengarnya Darren lekas menekuk jemarinya di atas meja. “Kamu bakal di dorong di dua jalur. Satu di pipeline label lewat TRMG, midnight alter contract tetap lanjut kalau open-call bulan depan disetujui. Yang satu lagi kamu tetap punya kanal sendiri, seperti album, EP, cover, tapi identitas tetap dijaga seperti yang kamu mau.”
“Emang bisa gitu?” Viena mengunci tatapannya. “Rasanya kayak jadi hantu.”
“Anonim bukan hantu.” Darren mengoreksi. “Kamu ada, cuma nggak kelihatan. Itu beda.”
“Terus channel LuTube-nya?”
“Belum dibuat,” Laki-laki itu mengangguk. “Begitu Arven fix konsep visual untuk avatar animasi, baru kita rilis akun. Kamu nggak akan muncul secara fisik, semua diganti animasi chibi cute tapi bukan yang murahan.”
Viena tidak mengomentari soal “imut”. Ia fokus pada struktur dan pemikiran lain yang menyimpulkan secara personal. Jelas personal yang dimaksudkan tidak lain adalah pemuda Aksantara itu. Dia terlihat tenang di depan laptopnya, menjawab dan membeberkan semuanya dengan alur yang sukar dikritik. Viena tahu Darren paham soal bisnis keluarganya, tapi dunia industri musik? Dia mengetahui semuanya.
“Kalau TRMG?” tanya Viena setelah meminum es teh pesanannya. “Jujur aku masih belum paham sepenuhnya tentang topik yang kamu bahas.”
“Itu wajar, bagus kamu berani jujur.” Darren ketara sekali tersenyum bangga, seolah dia yang paling pintar saat menekan punggungnya ke kursi, sementara kedua telapak tangannya menyatu di atas meja. “TRMG itu kependekan dari Tensho Record and Media Group. Kamu masih inget kan yang dibahas Arven tentang label Jepang yang tertarik berkerja sama dengan Midnight Alter?”
Viena mengangguk polos.
“Bingo!” celetuk Darren mengejutkan gadis itu. “TRMG itulah yang akan menjamin masa depan Midnight Alter, termasuk kamu. Mereka adalah label high tier dan telah memiliki banyak cabang, termasuk di Singapura. Jadi jangan terlalu khawatir soal kualitas.”
“Dan walaupun masih tahap pre-clearance. Tapi hubungan kita dengan label Jepang itu sudah lama. Kalau mereka ambil, kamu bakal signing midnight alter supaya rilisnya nggak resmi atas nama kamu tapi lewat mereka,” tutup Darren, matanya masih ke layar, jemarinya masih mengetik beberapa poin catatan. Tidak menghiraukan makanan yang tersaji.
Viena tidak menyela. Bukan karena tidak paham, namun justru untuk pertama kalinya ia merasa mulai paham arah gambaran besar yang laki-laki itu bangun. Tapi setelah paham, malah timbul perasaan lain.
“Aku ngerti sekarang,” gumamnya. “Tapi... .”
Darren mengangkat pandangan.
“Darren, kamu tahu kalau aku tuh bukan siapa-siapa.” Getir setiap ucapan Viena ketara sekali. “Yang kamu siapin ini semuanya terlalu besar. Label Jepang, kontrak, pipeline, animasi… semua kamu yang atur, kamu yang dorong, kamu juga yang pasang namaku di dalamnya padahal keluarga kamu sendiri musuhin kamu. Sedangkan aku? Aku cuma numpang hidup di sela-sela keputusan kamu.”
Darren menutup laptopnya. Waktu pertanda masuknya untuk pembicaraan teknis telah disegel. Dia tahu itu. Darren mencondongkan tubuh ke depan, merapatkan diri ke meja. Mempersiapkan diri untuk makan.
“Berhenti anggap dirimu numpang,” ujarnya. “Kamu kerja. Kamu latihan. Kamu take. Kamu ikuti protokol. Kamu patuh kontrak. Kamu invest waktu dan reputasi. Kamu bukan orang yang numpang hidup.”
Pemuda itu tidak berkedip ketika melanjutkan. Darren selalu begitu. Terlalu mahir untuk menyesuaikan momen dan topik yang sedang mereka bahas. “Kalau semisal pada akhirnya semua ini gagal, itu gagal di pundakku. Aku yang tanggung. Bukan kamu. Karena aku yang narik kamu ke sini, bukan kamu yang maksa masuk. Ngerti, kan?”
Viena menelan ludah, mengangguk ragu seraya berusaha menghindari setiap kontak mata yang Darren lesatkan. Yang jelas kata-kata itu benar, tapi tetap menyisakan rasa yang diperuncing ke dalam logika. Viena tahu masalah ini tidak sesepele yang pemuda itu coba katakan.
“Tetep aja kayak aku cuma jadi objek, alat, barang atau semacamnya,” desisnya. Malu bagi Viena terus membicarakan hal ini.
“Alat nggak diajak makan di restoran seafood,” balas Darren cepat. “Alat nggak disamakan posisinya. Kamu itu partnerku, mau kamu nyaman mendengarnya atau nggak.”
Itu jawaban yang kuat. Tapi entah kenapa, hati Viena justru terasa diremas karena semua ucapannya benar. Malam sudah menjemput, dan mereka tenggelam dalam bisu setelah ucapan Darren yang terakhir kali.
“Keluargaku cuma lihat aku sebagai barang,” beber Viena, lagi-lagi tidak menatap lawan bicaranya. “Cantik sama dengan nilai jual. Mau dijual ke siapa tinggal pilih. Dijodohin, dipaketin, dinaikin harganya pun pasti laku. Aku kabur karena aku muak diperdagangkan. Makanya selalu dandan kayak gini. Makanya kacamata ini gak pernah dilepas. Itu cara biar aku gak kelihatan “layak” dijual.”
Gadis itu terkekeh getir. “Jadi kalau kamu heran kenapa aku betah gak kelihatan? Karena buat terlihat itu, pernah bikin aku hampir mati.”
Setelah mengatakan itu ia menghela napas lalu dengan perlahan, jemarinya terarah ke gagang kacamata seolah hendak melepasnya. Ini kelewat berat. Tapi Viena lebih tahu apa yang sedang ia lakukan, dan tentu konsekuensinya.
“Maaf ya, Sit…” gumamnya sambil tersenyum pahit. “Harusnya semua orang gak boleh tahu, tapi—"
Namun sebelum kacamatanya benar-benar terangkat, Darren lebih dulu menahan pergelangan tangan Viena.
“Kalau menurutmu melepas itu berbahaya, maka jangan lakukan.” Pemuda itu sangat mantap dengan apa yang dia lakukan. “Aku gak butuh wajah aslimu untuk validasi apapun. Aku gak maksa kamu tampil sempurna di depanku. Aku cuma butuh kamu sehat, selamat, dan tetap waras di jalur ini. Aku tahu aku juga nggak sempurna, tapi selalu inget kalau aku yang narik kamu ke sini. Jadi kamu bisa ngandelin aku.”
Darren melepaskan tangannya.
“Aku tahu kamu tulus bantu,” lanjutnya. “Kamu yang bantu adikku di pesta itu. Kamu yang tutupin aib ku di pesta itu. Itu aja cukup, lebih dari cukup. Dan itu yang bikin kamu cantik.”
Kalimat terakhir itu menghantam lebih keras daripada apapun. Viena membeku, matanya membelalak ke arah pemuda di depannya. Suasana resto seketika menjadi gerah baginya, menjawab ucapan Darren pun ia tak mampu. Sialan.
Tubuhnya bereaksi sebelum kepalanya sempat memikirkan apa pun. Alhasil ia bangkit. Meninggalkan semua makanan tanpa tersentuh.
“Aku… aku pulang dulu,” ujarnya, buru-buru mengemas ponsel ke dalam tas, pipi dan hidungnya memerah bukan karena marah.
“Viena, tunggu—” Darren juga ikut berdiri, seolah hendak menahan, tapi Viena terlampau cepat.
Gadis itu melangkah pergi tanpa menoleh, menyelip di antara meja-meja dan hilang. Meninggalkan Darren yang berdiri mematung seorang diri di tengah tatapan belasan orang di restoran itu.