NovelToon NovelToon
Dunia Larashati

Dunia Larashati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata Batin / Pihak Ketiga / Tumbal / Kutukan / Spiritual / Iblis
Popularitas:923
Nilai: 5
Nama Author: Adiwibowo Zhen

perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perjalanan memperjuangkan harapan

Fajar belum sepenuhnya mengusir kegelapan ketika Manto bangkit dari pembaringannya. Udara pagi yang menusuk tulang menyapa kulitnya, tetapi tidak mampu meredam gejolak semangat yang berkobar di dalam dadanya. Asa untuk kesembuhan Yati telah menjadi suluh yang menerangi setiap langkahnya.

Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas menuju rumah Mbah Sirod, takut sang tetua telah berangkat ke balai desa sebelum ia sempat menyampaikan maksudnya. Jarak seratus meter yang memisahkan kedua rumah itu ditempuhnya dengan langkah cepat penuh tekad, seolah waktu adalah musuh yang harus dikalahkan.

Suara ketukan di pintu kayu yang rapuh itu memecah kesunyian pagi yang masih menggantung.

"Kulo nuwun," seru Manto dengan suara rendah yang jelas, memecah keheningan yang menyelimuti rumah Mbah Sirod.

Dari dalam rumah, terdengar langkah kaki mendekat, semakin lama semakin jelas. Krekett... Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Mbah Sirod yang berpakaian rapi, siap memulai aktivitasnya.

"Oh, Manto," suara Mbah Sirod terdengar agak heran namun tetap ramah. "Mari, masuklah. Ada keperluan apa pagi-pagi begini? Tidak biasanya kamu datang sepagi ini."

Manto pun melangkah masuk dan duduk di kursi kayu sederhana di ruang tamu yang terasa dingin. Nafasnya sedikit tersengal akibat terburu-buru.

"Begini, Mbah. Sebenarnya... saya ingin meminjam motor Mbah untuk pergi ke Purwokerto. Saya ingin mengantar Yati berobat," ucap Manto dengan nada sopan.

"Hah? Berobat?!" Nada suara Mbah Sirod meningkat drastis, menunjukkan keterkejutan mendalam. "Sakit apa? Mengapa kamu tidak pernah bercerita? Berobat ke mana?"

Rentetan pertanyaan itu meluncur deras bagai peluru dari senapan otomatis, membuat Manto tertegun sejenak. Ia tak menyangka kedatangannya akan menimbulkan reaksi sebesar ini.

"Tenanglah, Mbah," bujuk Manto lembut, berusaha meredakan keterkejutan Mbah Sirod. "Satu per satu saja pertanyaannya."

"Benar, benar," Mbah Sirod menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri yang masih diliputi keterkejutan. "Baiklah, ceritakan semuanya."

"Begini, Mbah. Yati sedang mengandung. Belakangan ini, ia sering mengeluh bahwa payudaranya terasa sakit. Namun, orang-orang bilang itu wajar dialami wanita hamil pada trimester awal, jadi kami tidak terlalu menghiraukannya. Tapi..." Suara Manto tiba-tiba tercekat, seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya.

"Seiring berjalannya waktu, rasa sakitnya semakin parah, bukannya berkurang. Karena itu, kami memutuskan untuk pergi ke dokter."

Manto menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. "Setelah diperiksa, ternyata... Yati didiagnosis mengidap kanker payudara stadium 3.

Dokter menyarankan agar Yati segera menjalani operasi, dan juga..." Dia merasa hampir tak sanggup melanjutkan kalimatnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Bayi yang ada di dalam kandungannya harus digugurkan terlebih dahulu sebelum operasi bisa dilakukan."

Mbah Sirod terdiam, wajahnya berkerut dalam seolah beban dunia turut menghimpit pundaknya. Kabar itu bagaikan petir di siang bolong, menghancurkan ketenangan pagi yang seharusnya damai.

"Kami benar-benar bingung, Mbah," lanjut Manto lirih, memecah kesunyian yang mencekam. "Tadi malam kami bertandang ke rumah Mas Rasmin.

Beliau merekomendasikan berobat ke Purwokerto kepada seorang sinshe bernama Ko Acun. Kabarnya, teman Mas Rasmin yang juga menderita kanker payudara berhasil sembuh di sana. Bahkan, banyak pasien kanker payudara lainnya yang juga mendapatkan kesembuhan."

Mbah Sirod mengangguk-angguk pelan, mencerna setiap kata yang diucapkan Manto. Ia tahu betapa besar harapan yang kini bertumpu di pundak pasangan muda itu.

"Namun, Yati tidak bersedia menggunakan mobil, Mbah," sambung Manto, menjelaskan alasannya. "Karena kondisi jalan yang rusak parah, Yati khawatir guncangan yang terlalu keras akan memperparah rasa sakitnya. Oleh karena itu, ia lebih memilih sepeda motor.

Dengan segala kerendahan hati, saya datang untuk memohon izin meminjam sepeda motor Mbah Sirod. Sekaligus memohon doa restu, semoga kami diberikan kemudahan dan kesembuhan."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan setelah Manto menyampaikan segalanya. Mata Mbah Sirod yang telah renta perlahan berkaca-kaca, memancarkan kesedihan yang mendalam. Ia merasakan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh Manto dan Yati.

"Oh, baiklah... ambillah motor itu," gumam Mbah Sirod akhirnya, suaranya terdengar serak dan bergetar. "Kapan kalian berencana berangkat? Apakah kalian memiliki cukup bekal untuk perjalanan nanti?"

"Manto, tunggu sebentar!"

Suara seorang wanita yang panik memecah kesunyian pagi yang mulai hangat. Mbah Dalisah, istri Mbah Sirod, muncul dari balik pintu dengan nafas tersengal, wajahnya dipenuhi oleh kekhawatiran yang mendalam. "Ada apa dengan Yati? Mengapa kalian hendak berobat sejauh ini?"

Mbah Sirod segera melangkah mendekati istrinya, mencoba menenangkannya. "Yati menderita kanker, Ni. Mereka hendak berobat ke Purwokerto."

"HAH?!" teriak Mbah Dalisah histeris, matanya membulat sempurna. Suaranya mencerminkan rasa tidak percaya campur kecemasan. "Kanker?! Bagaimana bisa ia terkena kanker?!" Ucapannya melontarkan pertanyaan-pertanyaan tanpa arah yang jelas, seperti seseorang yang kehilangan pegangan.

Menyaksikan kepanikan istrinya, Mbah Sirod menempatkan tangannya di pundak Mbah Dalisah, mencoba menyalurkan ketenangan dan kekuatan. "Tenanglah, Ni. Jangan membuat suasana semakin kacau. Biarkan mereka berangkat dengan hati tenang dan pikiran jernih. Mari kita panjatkan doa, semoga mereka mendapatkan kesembuhan dan kemudahan dalam setiap langkahnya."

Kata-kata lembut suaminya seolah menuangkan ketenangan ke dalam hatinya yang sedang dilanda kekacauan. Mbah Dalisah menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Kemudian, ia mengangguk beberapa kali, air mata mulai membasahi pipinya yang berkerut. Air mata itu bukan lagi tanda kepanikan, melainkan ungkapan kepedulian dan doa yang tulus dari lubuk hatinya.

Manto, yang menyaksikan semua kejadian itu dengan haru, hanya bisa mengangguk hormat sebagai ungkapan terima kasih. "Terima kasih banyak, Mbah. Kalau begitu, saya mohon pamit terlebih dahulu."

Dengan hati yang berat namun dipenuhi harapan yang membumbung tinggi, Manto berbalik dan melangkah keluar dari rumah Mbah Sirod, membawa sepeda motor yang dipinjamnya.

Sinar mentari pagi mulai menyirami pelataran rumah kayu itu, menghadirkan kehangatan yang menenangkan. Manto kembali dengan langkah ringan, Vespa pinjaman di tangan akan menjadi saksi bisu perjalanan penuh harapan mereka. Di teras, Yati telah menanti dengan sabar, tas kecil berisi bekal dan perlengkapan sederhana tertata rapi di sampingnya. Wajahnya yang masih pucat menyimpan senyum tipis penuh keyakinan.

"Mas, mari sarapan dulu. Sudah kusiapkan hidangan sederhana untuk bekal perjalanan kita," ujar Yati lembut, menunjuk ke arah meja makan yang tertata rapi dengan semangkuk nasi hangat dan lauk-pauk sederhana.

Manto mengangguk dengan penuh kasih sayang sebelum duduk berhadapan dengan hidangan yang telah disiapkan istrinya.

Di meja makan yang sederhana itu, mereka tidak hanya menyantap sarapan pagi, tetapi juga merangkai rencana perjalanan penting yang akan menentukan arah hidup mereka. Setiap suapan nasi terasa begitu bermakna, seolah menyerap kekuatan dan keberanian untuk menghadapi segala rintangan yang mungkin menghalangi.

"Mas, mohon berhati-hati saat mengendarai motor nanti, ya," pinta Yati dengan suara berbisik, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Soalnya, jika guncangan terlalu keras, rasa sakit di sini akan semakin terasa," lanjutnya sambil menunjuk lembut ke arah dadanya.

"Tenanglah, Ti, aku akan berhati-hati," jawab Manto sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Jika kita berkendara santai, Purwokerto mungkin bisa kita capai dalam waktu dua setengah hingga tiga jam."

"Apakah Mas benar-benar tahu di mana tempatnya?" tanya Yati.

"Tentu saja, Ti. Dulu, ketika aku masih kecil, aku pernah ikut kakakku ke Purwokerto. Jadi, aku cukup familiar dengan jalan dan daerah di sekitar tempat praktik Sinshe Ko Acun. Tenang saja, aku akan mengantarmu dengan selamat," ujar Manto meyakinkan, berusaha menenangkan kegelisahan yang mungkin ada.

"Syukur kalau Mas tahu. Kita jadi tidak perlu menanyakan lagi," ucap Yati lega.

"Iya, Ti, benar," sahut Manto sambil membersihkan piringnya. "Mudah-mudahan Sinshe Ko Acun bisa menjembatani masalah kita."

"Iya, Mas. Kalau menurut cerita Mas Rasmin semalam, seharusnya... bisa," gumam Yati penuh keyakinan.

Tak terasa, sarapan pagi itu pun berakhir. Dengan hati-hati dan penuh kebersamaan, mereka mempersiapkan segala kebutuhan untuk di jalan. Akhirnya, dengan doa dan harapan besar dalam hati, mereka pun berangkat.

Membonceng Vespa pinjaman Mbah Sirod yang mesinnya berderum mantap, kedua pasangan itu melesat meninggalkan rumah.

Vespa tua itu bukan hanya membawa dua tubuh, tetapi juga mengangkut segenap harapan, doa, dan keyakinan akan kesembuhan yang mereka dambakan.

Dengan kesabaran tak terhingga, Manto mengendarai motor perlahan. Setiap lubang di jalan dihindarinya dengan saksama, bagaikan tupai lincah melompat dari dahan ke dahan, memastikan tidak ada guncangan keras yang menyakiti Yati. Perjalanan yang biasanya ditempuh dengan cepat kini dilalui dalam tempo lambat penuh kehati-hatian.

Butuh waktu dua setengah jam hingga akhirnya bangunan-bangunan di Purwokerto mulai tampak. Hati Manto berdebar-debar mengikuti petunjuk yang diberikan Rasmin hingga akhirnya mereka tiba di kawasan yang dikenal sebagai Ragas Mancang.

Ia mengerem motor tepat di depan sebuah rumah yang berfungsi sebagai toko kecil, dipenuhi rak-rempah, akar-akaran, dan aneka jamu yang menguar aroma khas.

Seorang lelaki tua keturunan Tionghoa sedang asyik menjemur daun-daunan herbal di teras. Manto turun dan mendekat dengan sikap hormat.

"Permisi, Mbah. Apa benar ini tempatnya Sinshe Ko Acun?" tanyanya pelan.

Pria tua itu menoleh, wajahnya berkeriput namun matanya tajam dan bersahabat. "Benar. Saya sendiri Ko Acun. Ada apa, Nak?"

Rasa lega menyirami hati Manto. "Ooh, Mbah Ko Acun. Iya, Mbah. Begini... Saya dapat info dari kakak saya. Katanya Mbah Ko Acun bisa mengobati kanker payudara. Istri saya... terkena kanker payudara, Ko."

"Oh, iya," jawab Ko Acun dengan tenang. "Ayo masuk, biar aku periksa dulu."

Manto segera menghampiri Yati yang masih duduk di boncengan. "Benar, Ti. Ini rumahnya. Kita disuruh masuk."

"Baik, Mas," jawab Yati, matanya menerawang penuh harapan dan sedikit degupan rasa takut.

Setelah memarkir Vespa dengan rapi, Manto menggandeng tangan Yati yang dingin. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah sederhana yang dipenuhi bau menyengat ramuan herbal. Ko Acun sudah menunggu di ruang konsultasi kecil.

"Silakan duduk," suara Ko Acun lembut tetapi meyakinkan, membawa ketenangan di tengah kegelisahan mereka. Manto dan Yati pun duduk, siap menjalani pemeriksaan yang akan menentukan langkah selanjutnya.

Di ruangan ini, harapan mereka digantungkan pada kebijaksanaan dan pengalaman sang sinshe.

1
Aura Angle
wuih ad hot hotnya
Ninik Listiyani
/Sweat//Sweat//Sweat/
Ninik Listiyani
ad y orang kaya Suharti kejam
Ninik Listiyani
kisahnya kya beneran terjadi
Ninik Listiyani
lanjutkan menulisnya
Ninik Listiyani
penasaran untuk cerita selanjutnya
penguasa univers
tak menyangka ,tapi masuk akal 🤭
penguasa univers
💪
cakrawala
terimakasih suportnya/Pray/
penguasa univers
sedih kisahnya
Ninik Listiyani
makin seru sepertinya. akan jadi wanita tangguh👍
Ninik Listiyani
semangat nulisnya kk aku akan jadi pembaca setiamu please jangan berhenti di tengah jalan
Ninik Listiyani
sungguh tragis💪
Ninik Listiyani
berkaca kaca
Ninik Listiyani
kisah yg bagus sepertinya mengerikan penderitaanya
Ninik Listiyani
kasihan sekali 🤣
Ninik Listiyani
semangat aku suka 🤣kisahnya
Ninik Listiyani
membuat terharu kisahnya🤣
Ninik Listiyani
mengharukan🤣
IRINA SHINING STAR
saya juga mampir kak... pas aku baca ceritanya nggak tau kenapa pengen nangis.. 🙏 semangat terus ya kak
cakrawala: ea tentu pemula harus saling suport 💪👍
total 6 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!