Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pemakaman yg di hadiri Kiyai kholid?
Langit sore itu berwarna jingga keemasan, seolah ikut berduka. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari liang lahat yang baru saja digali. Suara lantunan tahlil dan istighfar menggema pelan, membalut suasana dengan kesyahduan yang menyesakkan dada.
Syahnaz berdiri di antara para pelayat, mengenakan gamis hitam dan kerudung abu-abu yang menutupi wajahnya yang sembab. Matanya bengkak, suaranya habis karena tangis yang tak berhenti sejak pagi. Ia memandang ke arah pusara yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhir sang Abiy, lelaki yang selalu menuntunnya dengan sabar, yang kini hanya tinggal nama di batu nisan.
Namun, di antara kerumunan itu, pandangannya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
"Lo... kok ada Kiai Kholid?" gumamnya pelan. Ia memicingkan mata, memastikan penglihatannya tak salah. Benar — sosok Kiai Kholid, ulama sepuh yang sangat dihormati di Jawa, berdiri di sana. Jubah putihnya berkibar tertiup angin, sorot matanya teduh menatap ke arah pusara.
Bukan hanya beliau. Di samping beliau terlihat juga Kiyai Kholil dan 2 khodamnya ( 2 orang santri yg selalu ikut membantunya).
“Kenapa bisa...?” bisiknya. “Apa hubungan mereka sama Abiy?”
Ia menatap Kiai Kholid yang sesekali menunduk, bibirnya komat-kamit membaca doa.
Tante Nur yang berdiri di samping Syahnaz menepuk bahunya pelan. “Abiy kamu itu bukan orang biasa, Nak. Banyak yang nggak kamu tahu tentang beliau.”
Syahnaz menoleh, alisnya berkerut. “Maksudnya, Tan?”
Tante Nur tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pusara dengan mata berkaca-kaca. “Nanti... kalau waktunya tiba, kamu akan tahu sendiri.”
Syahnaz menunduk, menggenggam tanah di dekat kakinya, lalu meletakkannya perlahan di atas makam Abiy. Suaranya bergetar ketika berdoa,
> “Allahummaghfirlahu warhamhu, wa ‘afihi wa’fu ‘anhu… Ya Allah, ampunilah Abiyku… kasihilah dia, lapangkan kuburnya, dan terangkan jalannya menuju surga-Mu.”
Air matanya kembali jatuh. Tapi di sela isak itu, pikirannya justru penuh tanya.
Tentang kedatangan Kiai Kholid. Dan tentang masa lalu Abiy yang tampaknya menyimpan sesuatu yang belum pernah ia dengar seumur hidupnya.
> “Siapa sebenarnya Abiy…?” bisiknya lirih, seolah bertanya pada angin sore yang membawa harum bunga kamboja dari tepi makam.
Udara malam itu terasa lembut, tapi tetap menyisakan kesedihan yang berat. Aroma dupa dan bunga kamboja masih tercium dari ruang tamu, tempat para pelayat tadi duduk berjam-jam hingga sore. Kini, rumah itu mulai sepi. Hanya tersisa keluarga dekat dan suara lembut lantunan ayat suci dari bibir Syahnaz.
“Aaah udah ah... ngapain aku mikirin ini,” gumamnya sambil menghela napas panjang. “Mungkin aja Kiai Kholid kebetulan lagi ceramah di sekitar sini, tiba-tiba ikut melayat aja mungkin.” Ia mencoba menenangkan pikirannya, menepis segala rasa penasaran yang sedari tadi menghantui kepalanya.
Setelah mengganti pakaian dan mandi, ia berwudu, lalu menunaikan salat maghrib dengan tenang. Seusai salam, tangannya langsung meraih mushaf Al-Qur’an yang terletak di rak kayu dekat sajadah. Ia membuka lembaran itu perlahan, matanya yang masih sembab menatap huruf-huruf Arab dengan penuh khusyuk.
Suara bacaan tartilnya mengalun lembut memenuhi kamar:
> “Yā ayyatuha an-nafsul muṭma’innah, irji’ī ilā rabbiki rāḍiyatan marḍiyyah…”
Setiap ayat ia hadiahkan untuk sang Abiy — sosok yang kini hanya bisa ia temui lewat doa dan kenangan. Air matanya kembali menetes di atas halaman mushaf, membuat tinta tipis di sana sedikit buram.
Tak lama kemudian, suara Kakek Toha terdengar dari ruang tamu.
> “Syahnaz... ayo, Nak. Kita sembahyang hadiah. Diniatkan buat Abiy Hanafi.”
Syahnaz segera menutup mushafnya dan berjalan ke ruang tengah. Di sana sudah berkumpul Kakek Toha, Tante Nur, Ikrimah serta sepupunya dan pamannya. Semua duduk melingkar dengan kain sarung dan mukena masing-masing.
Kakek Toha memimpin salat dua rakaat dengan suara lembut namun berwibawa. Setelah salam, mereka serentak melanjutkan dengan bacaan Yasin dan tahlil.
Suara mereka berpadu dalam lantunan yang khusyuk:
> “Laa ilaaha illaallaah
Syahnaz menunduk dalam-dalam, merasakan hatinya perlahan tenang. Setiap kalimat dzikir seolah membentuk jembatan antara dirinya dan Abiy di alam sana.
...****************...
Rumah itu kini terasa begitu sepi—menyisakan hanya Syahnaz, ibu, dan Laila, adiknya yang masih duduk di kelas satu. Tak ada lagi suara tawa lembut abinya yang biasanya mengisi pagi mereka, tak ada lagi nasihat penuh kasih setiap habis subuh.
Syahnaz duduk di tepi jendela, menatap hamparan pohon hijau yang bergoyang perlahan tertiup angin sore. Pandangannya kosong, hatinya berat.
“Yaa Allaah…” ucapnya lirih, jemarinya menggenggam ujung tirai. “Sekarang Abiy udah nggak ada. Nggak ada lagi tulang punggung keluarga.”
Ia menarik napas panjang, matanya mulai basah.
“Gimana ya, Yaa Allaah... Syahnaz kan mau kuliah ke Kairo. Tapi sekarang... jangankan kuliah ke luar negeri, balik ke pondok aja udah nggak bisa lagi. Nggak ada yang biayain.”
Angin sore masuk dari celah jendela, menyentuh wajahnya lembut seolah menenangkan. Tapi batinnya tetap gelisah.
“Apa Syahnaz harus kerja aja ya?” bisiknya pelan. “Biar bisa bantu umi, biar bisa terus belajar... walaupun bukan di Kairo. Mungkin itu terlalu mahal buat Syahnaz sekarang.”
Ia tersenyum hambar, menatap langit yang mulai berubah jingga. Dalam hatinya, hanya ada satu doa yang berulang-ulang terucap,
“Yaa Allaah, kuatkan langkah Syahnaz... tunjukkan jalan yang terbaik.”
sore pun berganti malam, dan malam pun menerbitkan matahari indah di pagi hari, udara pagi di rumah itu terasa semakin dingin. Tak ada lagi aroma kopi buatan Abiy di meja makan, hanya ada suara sendok kecil Laila yang menepuk mangkuk buburnya perlahan.
Umi duduk diam di sudut ruang, matanya sembab karena terlalu sering menangis. Syahnaz hanya bisa menatapnya dari kejauhan — hatinya remuk, tapi ia tahu harus tampak kuat di depan Laila.
Setelah selesai membereskan piring, Syahnaz berjalan ke halaman belakang. Angin membawa aroma tanah basah, tapi tak mampu menenangkan hatinya.
“Yaa Allaah…” bisiknya pelan, “kok berat banget rasanya, sepi banget tanpa abiy…”
Ia duduk di kursi kayu yang dulu sering dipakai abinya membaca kitab. Pandangannya tertuju pada kitab Riyadhus Shalihin yang masih tergeletak di atas meja kecil. Ujung halamannya sedikit melengkung, menandakan abinya terakhir kali membacanya di sana.
Air mata menetes tanpa bisa ditahan.
“Abiy…” suaranya bergetar, “Syahnaz belum sempat cerita kalau Syahnaz pengen lanjut ngaji, pengen jadi perempuan yang bisa banggakan abiy di akhirat nanti… Tapi sekarang—semuanya kayak hilang gitu aja.”
Ia memeluk kitab itu erat. Lama.
“Syahnaz janji, bi… walaupun nggak ada siapa-siapa, Syahnaz nggak akan ninggalin Qur’an dan doa.”
Tapi ketika malam datang, pikirannya kembali gelisah. Ia terbaring di kasur, menatap langit-langit.
“Bagaimana kalau Syahnaz nggak bisa lanjut mondok? Nggak bisa kuliah? Umi juga nggak mungkin kuat kerja sendiri…”
Matanya basah lagi.
“Kapan yaa, Yaa Allaah… waktu di mana Syahnaz bisa bahagia lagi tanpa harus takut miskin, takut kehilangan, takut gagal…”
Suara jangkrik malam jadi saksi, ketika Syahnaz memeluk bantalnya erat dan tertidur dalam tangis yang pelan, berusaha kuat meski hatinya hampir runtuh.
...****************...
Pagi itu, cahaya lembut menembus tirai kamar Syahnaz. Suara kokok ayam bersahutan, menandakan hari baru telah dimulai. Syahnaz bangun dengan mata sembab, tapi wajahnya tetap berusaha tenang. Ia segera berwudhu dan menunaikan sholat Subuh dengan khusyuk.
Selesai sholat, bibirnya lirih melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, suaranya lembut tapi bergetar di setiap bacaan.
“Abiy… semoga amalmu terus mengalir dari setiap huruf yang Syahnaz baca,” gumamnya dalam hati.
Setelah menutup mushaf, ia menatap laptop di meja belajarnya — laptop pemberian terakhir dari abinya setahun lalu. Dengan hembusan napas panjang, ia menyalakannya.
Cahaya layar menyala, menyorot wajah tekadnya yang lembut namun penuh beban.
“Bismillaah…” ucapnya pelan, jari-jarinya mulai mengetik di kolom pencarian: Lowongan kerja untuk lulusan pesantren.
Ia menatap hasil pencarian satu per satu, lalu menguatkan dirinya.
“Kamu harus bangkit, Syahnaz… Kamu anaknya Abiy. Kamu nggak boleh nyerah cuma karena dunia lagi berat,” bisiknya, menepuk dadanya pelan, mencoba menyemangati diri sendiri.
Tiba-tiba suara pintu berderit.
“Assalamu’alaikum…” suara lembut Ummi, Ikrimah, memecah keheningan.
Syahnaz kaget dan refleks menutup laptopnya, tapi terlambat — layar masih menampilkan daftar lowongan pekerjaan.
“Yaa Allaah, Syahnaz…” ucap Ikrimah pelan, matanya memerah, “buat apa nyari begini segala, nak?”
“E—eh…” Syahnaz tergagap, mencoba tersenyum, “nggak papa kok, Ummi. Cuma nyari aja, siapa tahu ada yang cocok buat Syahnaz.”
Ikrimah mendekat, duduk di samping anak sulungnya itu. Tangannya mengelus kepala Syahnaz penuh kasih.
“Nak… Ummi tahu kamu pengen bantu, tapi Ummi masih bisa berusaha. Kamu fokus aja dulu sama ngaji dan mimpimu.”
Syahnaz menunduk, menggigit bibir bawahnya menahan air mata.
“Tapi Ummi…” suaranya pelan, “Syahnaz nggak mau cuma diam, sementara Umi harus mikirin semuanya sendirian.”
Ikrimah terdiam sesaat, lalu tersenyum meski air matanya jatuh juga.
“Anak Ummi udah dewasa ya sekarang… tapi jangan lupa, rezeki itu bukan kamu yang nyari sendirian, nak. Allah yang ngatur semuanya.”
Syahnaz mengangguk, tapi hatinya masih berat. Dalam hati kecilnya ia tahu — apa pun yang terjadi, ia tetap akan mencari cara untuk mandiri. Mimpi ke Kairo masih hidup di dalam dadanya, meski jalan ke sana kini penuh kabut dan air mata.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.