Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Ledakan Batin
Andralia mengunci dirinya di dalam kamar. Dia membanting semua barang yang terlihat di matanya. Dari guci keramik, make-up sampai cermin make-up berantakan.
"AKU MEMBENCIMU! KAU SUDAH MENGAMBIL NYAWA SUAMIKU! SEKARANG.... KEHIDUPANKU!"
Teriakan Andralia itu, terdengar sampai di luar kamarnya. Pelayan dan prajurit yang melewati kamar itu, terdiam tanpa kata dan menundukkan pandangannya. Mereka bukannya tidak peduli, melainkan tidak ingin mencari masalah.
♧♧♧
Berbeda dengan Andralia yang murka, Lucian justru tersenyum setelah keluar dari kamar Raja Alvart. Kyle memukul punggung putra angkatnya yang hanya terpaut empat belas tahun darinya.
"Aduh!" Lucian hampir oleng.
"Kau kenapa sih, Ayah!?" serunya, sambil menggosok punggungnya.
"Aku tau, kita tidak bisa menentang keputusan Raja. Hanya saja, namamu bisa buruk karena hal ini" Kyle berbisik pelan dan membekap bibirnya saat berbicara.
Lucian menghela napas panjang. "Kenapa namaku harus buruk?"
"Ya? Apa kau tidak dengar? Diantara prajurit dan pelayan muda di Kerajaan Xerl, mengatakan jika kau adalah simpanan Putri. Jika begini,-"
"Ssst, Ayah." Lucian menepuk bahu Kyle. Dia berdiri tegap, menatap ayahnya dengan senyum percaya diri.
"Lihat aku. Aku tampan. Aku tinggi. Aku juga prajurit kelas atas."
Dia mengangkat dagunya sedikit. "Putramu ini terlalu sempurna untuk jadi simpanan. Harusnya, aku yang dipamerkan."
Kyle menatap anak angkatnya dengan tatapan datar. "Terserah padamu, Nak. Semoga kau hidup bahagia."
Lucian hanya tertawa kecil, tapi senyum itu menipis perlahan. Dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak bisa dia usir. Dia takut jika Andralia benar-benar akan mengacuhkannya selamanya.
♧♧♧
Malam hari, Lucian tidak bisa berfikir tenang. Seakan, ada yang menganjal dipikirannya. Dia keluar dari asrama untuk mencari udara segar, tentunya melewati Mansion milik Putri Andralia.
Lampu kamar Andralia masih menyala. "Apa Putri belum tidur?" batinnya sambil duduk di bawah pohon, menatap jendela kamar itu.
Perasaan asing tiba-tiba terasa menyesakkan di dada Lucian. Sungguh perasaan yang tidak nyaman. Mata Lucian terus menatap ke arah jendela kamar itu. Perlahan, jendela kamar itu terbuka. Sudut bibir Lucian terangkat, dia tersenyum. Namun, senyuman itu pudar dengan cepat.
Andralia masih menggunakan gaun yang sama dengan tadi siang. Rambutnya lebih kusut, lebih berantakan. Kakinya yang tak beralas, perlahan naik ke pagar balkon lobi jendelanya.
Andralia sudah berdiri di atas pagar itu. Dia ingin melompat.
Tubuh Lucian membeku sejenak, suaranya tidak keluar. Matanya menatap tajam Andralia yang berniat bunuh diri.
Lucian membeku. Napasnya tercekat. "Jangan. Jangan lakukan itu."
Rambut Andralia sungguh bersinar keemasan saat terkena cahaya rembulan. Pikiran Andralia sudah buntu. Hanya ini jalan baginya untuk meraih kebebasan. Sayangnya, saat dirinya mulai menutup matanya, dan menyerahkan berat tubuhnya di udara untuk jatuh. Dia mendengar suara derapan kaki yang berlari.
Dunia seakan menjadi diam. Tubuhnya seakan menjadi ringan. Langit berputar di atasnya. Dia sungguh telah tidak peduli dengan suara derapan itu. Air mata menetes dari wajahnya dan-
"TEP!"
Tubuhnya tertangkap sebelum menyentuh tanah. Nafas panas menyentuh kulitnya. Dia menoleh.
Pemuda yang lebih tua dua tahun darinya. Pemuda pemilik rambut hitam legam dengan mata semerah darah. Pemuda yang sangat dia benci. Dia Lucian yang menangkapnya saat bunuh diri dari balkon kamarnya sendiri.
Jantung Lucian berdegup dengan kencang. Kakinya gemetar untuk pertama kali dalam hidupnya. "Yang mulia... Apa yang Anda lakukan?"
Mata Lucian mulai berlinang. "Saya mohon..." hatinya sungguh sakit saat mengetahui Andralia berniat bunuh diri.
Andralia dengan cepat melepaskan dirinya dari Lucian. "PLAK!!" Tamparan keras mendarat di pipi kanan Lucian.
"Menjauh dari pandanganku!" Andralia meninggalkan Lucian begitu saja.
Napas Lucian terasa sesak. Dia menatap kedua telapak tangannya yang gemetar. "Tidak,"
"Aku tidak ingin dia menghilang dari pandanganku lagi"
Lucian mengikuti Andralia, hingga Andralia masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak berani mengetuk atau bicara, hanya berdiri di depan pintu, memandangi ukiran emas di gagang pintu itu - satu-satunya penghalang antara dirinya dan perempuan yang baru saja dia selamatkan dari kematian.
Malam semakin larut, tapi Lucian tidak bergerak sedikit pun. Dia bisa mendengar suara isakan, suara benda pecah, kadang hanya diam yang menyayat. Di sela udara dingin, ia menunduk dan berbisik pelan, "Yang Mulia... tolong bertahan sedikit lagi."
Hingga pagi menjelang, Lucian, masih berdiri menjaga di luar pintu kamar Andralia. Bahkan, dia baru bisa pergi setelah melihat pelayan datang untuk mendandani Andralia.
"Lucian? Kenapa kamu di sini? Ah, kamu masih memberikan apel ke Lady Andralia?"
Lucian menoleh pelan, agak bingung mendengar sebutan itu. "Lady?"
Sejak Andralia menikah, tak ada yang memanggilnya Putri, selain Kyle. Tapi bagi Lucian, Andralia tetaplah Yang Mulia, perempuan yang menjadi pusat hidupnya.
Dia berdiri tegap, menahan senyum agar terlihat wajar. "Ah, tidak. Aku hanya beristirahat sebentar di sini. Rasanya... nostalgia."
"lya, nostalgia banget. Dulu kamu ke mana-mana selalu bawa apel dari hutan. Jadi kangen masa itu," sahut salah satu pelayan sambil tertawa kecil.
Lucian ikut tertawa, tapi matanya kosong. "Haha, iya... masa yang indah."
Lalu dia mengetukkan pintu kamar Andralia sekali, pelan, cukup untuk memberi tanda bahwa pelayan telah datang.
Setelah para pelayan masuk, Lucian berbalik, melangkah menjauh sebelum Andralia mengetahui kalau semalaman dia menjaga di depan pintu itu.
...♧♧♧...
Cahaya pagi menembus jendela kamar Andralia, menyoroti kekacauan yang belum sepenuhnya pulih dari malam kelam itu. Kaca cermin retak, serpihan porselen berkilau di lantai seperti potongan kenangan yang tak bisa disatukan lagi.
Empat pelayan yang masuk hanya saling berpandangan sesaat. Mereka menahan napas, tidak ingin menunjukkan keterkejutan di depan sang Lady.
Dua pelayan itu, mulai merapikan kamar Andralia selagi dua pelayan Andralia membantu dandan.
Mata Andralia sangat bengkak, bahkan rambutnya yang selembut sutra itu, kini mulai rontok.
"Apa aku masih terlihat cantik?" Suara lirih itu memecah keheningan di kamar berantakan Andralia.
Mereka tersentak bersama.
"Ya! Anda selalu cantik, Lady. Hanya saja, mata Anda sedikit bengkak, setelah dikompres pasti akan membaik" jawab salah satu pelayan yang mendandani Andralia.
Tiga pelayan lainnya, meng-iyakan ucapan pelayan itu.
"Apa aku bisa kembali membuat ayahku tersenyum dan sembuh jika aku mengikuti semua ucapannya?" Tanya Andralia sekali lagi.
Empat pelayan di sana, saling melihat. Untuk pertama kalinya, mereka terharu karena Andralia membuka suara untuk bercerita kepada mereka.
Pelayan yang tengah merapikan rambut Andralia tersenyum hangat. "Lady, orang tua manapun pasti akan sangat senang jika anak mereka menurut. Namun, semua keputusan ada di tangan Lady. Anda sudah dewasa, Anda pasti sudah bisa melihat apa yang baik dan yang buruk bagi Anda"
Ucapan pelayan itu, membuat Andralia kembali menangis. Dia memeluk pelayan yang ada di sebelahnya.
"Tolong bantu aku. Aku harus bagaimana lagi? Ayahku tak ingin aku berstatus janda terlalu lama. Dia menjodohkanku dengan Lucian karena keadaannya"
"Lu...cian?"
Empat pelayan di sana, dibuat terkejut atas cerita Andralia.