 
                            Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3.Hujan tiba-tiba.
Hujan tiba-tiba turun deras malam itu, seolah ikut merasakan luka di dada Clara. Ia berdiri terpaku di depan kantor tempat Arman bekerja, tubuhnya kaku, mata berkaca-kaca menatap pemandangan yang tak pernah ia bayangkan akan dilihat dengan matanya sendiri.
Kotak kecil berisi testpack yang jatuh kini basah oleh hujan, garis dua merah di dalamnya mulai pudar tersapu air. Namun rasa sakit di hati Clara tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Langkahnya gontai, ia memunggungi Arman dan Loly yang sudah masuk ke dalam mobil. Ia berjalan tanpa arah, hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tidak peduli.
“Kenapa, Mas… kenapa kau tega?” bisiknya sambil menutup mulutnya agar tangisnya tidak meledak di jalanan.
Clara akhirnya naik taksi, meminta diantar ke tempat yang jauh dari rumah keluarga Ferdinand. Ia tak sanggup pulang malam itu, tak sanggup menatap wajah Mary dan Vina yang pasti akan bersorak gembira melihat rumah tangganya retak.
Sementara itu, di dalam mobil, Loly menyandarkan kepalanya di bahu Arman. Lelaki itu tampak bimbang, namun tidak menyingkirkan perempuan di sampingnya.
“Kamu tahu, Arman…” bisik Loly lembut, “aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Bersamaku, kamu tidak perlu mendengar rengekan, tidak perlu menanggung beban. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Arman menatap ke luar jendela, pikirannya kusut. Bayangan Clara menangis di rumah sempat melintas, namun segera ia tepis dengan rasa lelah yang menyesakkan. Ia menutup mata, membiarkan dirinya semakin larut dalam buaian masa lalu bersama Loly.
Diamnya Arman menjelaskan, kalau hubungan rumah tangga nya sudah goyah. ia menikmati kebersamaan nya dengan Loly, seakan seperti saat sma dulu.
Arman tidak tahu, malam itu Clara tidak pulang ke rumah Arman.
Saat ini Clara malam itu akhirnya sampai di sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Ia masuk dengan tubuh basah kuyup, membuat pemilik penginapan terkejut.
“Apa Anda baik-baik saja, Bu?” tanya resepsionis muda itu khawatir.
Clara tersenyum samar, meski wajahnya pucat. “Saya hanya… butuh kamar untuk malam ini.”
Begitu pintu kamar tertutup, Clara jatuh terduduk di lantai. Tangannya menyentuh perutnya yang masih datar, namun di dalamnya ia tahu ada kehidupan kecil yang sedang bertumbuh.
“Maafkan mama, Nak…” bisiknya dengan suara serak. “Mama tidak bisa menjaga rumah ini tetap utuh untukmu.”
Tangisnya pecah, lebih keras dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Clara merasa benar-benar sendirian.
Pagi harinya, Arman terbangun di apartemen Loly. Ia tertegun melihat ponselnya penuh dengan panggilan tak terjawab dari Clara. Hatinya mendadak mencelos.
“Aku harus pulang,” katanya buru-buru bangkit.
Namun Loly menahan lengannya, senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya. “Kenapa harus pulang? Biarkan dia tahu kalau kamu sudah memilih. Aku ada di sini untukmu, Arman. Jangan lepaskan kesempatan kedua ini.”
Arman menatapnya lama. Di hatinya ada rasa bersalah, tapi juga ada rasa nyaman yang tak bisa ia pungkiri.
Dan di tempat lain, Clara berdiri di depan cermin penginapan dengan mata sembab, wajah pucat, namun ada sedikit api di tatapannya.
“Aku harus kuat. Demi anakku… aku tidak boleh menyerah.”
___
Hari-hari berikutnya berjalan seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Arman tetap pulang ke rumah, duduk di ruang tamu, makan malam tanpa banyak bicara, lalu menghilang ke kamar atau pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Clara pun bersikap seolah-olah tidak tahu apa yang ia lihat malam itu.
Namun, setiap kali mereka bertemu mata, ada jarak yang tak kasat mata memisahkan keduanya. Kehangatan yang dulu menyatukan kini hanya tersisa dingin yang menusuk.
Mary dan Vina tentu saja semakin leluasa menyindir Clara di meja makan, seolah mencium ada sesuatu yang salah di antara mereka. Tapi Clara hanya diam, menahan luka, memilih tidak memberi celah sedikit pun untuk mereka tertawa di atas penderitaannya.
Di balik ketenangan itu, Clara menyembunyikan satu rahasia besar yaitu kehamilannya.
Setiap pagi, ketika Arman sudah berangkat kerja, Clara pergi keluar dengan alasan belanja atau mengurus rumah. Namun sebenarnya, ia bekerja diam-diam di sebuah rumah makan sederhana milik seorang janda tua yang baik hati.
“Clara, kamu ini pintar sekali melayani pelanggan. Banyak yang suka sama kamu,” puji Bu Rini, pemilik rumah makan itu.
Clara tersenyum tipis. “Terima kasih, Bu. Saya hanya ingin sibuk… dan bisa mandiri.”
Ia tidak pernah menceritakan keadaan rumah tangganya, apalagi soal kehamilannya. Di rumah makan itulah ia menemukan sedikit kedamaian, meski tubuhnya sering lelah, terutama ketika mual di pagi hari menyerangnya.
Malam hari, saat ia kembali ke rumah Ferdinand, Clara kembali mengenakan topeng tenangnya. Ia melayani Arman seperti biasa seperti menyiapkan makan malam, menyiapkan baju kerjanya. Namun kali ini tidak ada lagi harapan dalam hatinya bahwa semua akan membaik.
Setiap malam sebelum tidur, ia menatap perutnya di depan cermin, mengusap lembut. “Nak, sebentar lagi kita akan hidup berbeda. Mama tidak akan biarkan kamu tumbuh di tengah rumah tangga yang hancur.”
Hati Clara yang hancur, tapi dia tidak punya tempat untuk berlindung karena setelah menikah dengan Arman keluarga besar Moestopo tidak mau menerima Clara.
Dan untuk itu ia masih membutuhkan tempat untuk menata hidupnya dirumah Arman, sebelum Clara benar-benar memutuskan untuk bercerai.
Arman, di sisi lain, tidak pernah menyadari perubahan besar yang sedang Clara persiapkan. Sesekali rasa bersalah menghantui ketika melihat istrinya diam dan tetap melayaninya seperti biasa. Tapi bayangan Loly, ambisi pekerjaan, dan tekanan keluarganya membuat ia memilih menutup mata.
“Dia tidak apa-apa,” pikir Arman dalam hati. “Clara hanya terlalu sensitif belakangan ini. Nanti juga reda.”
Namun kenyataannya, Clara semakin menjauh tanpa ia sadari.
Beberapa bulan berlalu.
Clara kini semakin mandiri dengan penghasilannya dari rumah makan. Diam-diam ia menyisihkan uang, menyiapkan semua kebutuhan bayi yang ia kandung. Ia tidak pernah menceritakan pada Arman, Mary, atau Vina. Hanya dirinya sendiri yang tahu betapa besar rahasia itu.
Malam itu, setelah selesai bekerja dan duduk di kamarnya, Clara menuliskan sesuatu di sebuah buku catatan kecil.
“Aku sudah memutuskan. Setelah anak ini cukup kuat dalam kandungan, aku akan menggugat cerai Arman. Aku tidak ingin lagi hidup dalam bayangan Loly, hinaan Mama, dan ejekan Vina. Aku ingin anakku tumbuh dalam cinta, bukan di tengah kebencian.Jika saja aku dapat memutar waktu kembali,aku tidak mau jatuh cinta lagi dengan Arman.”
Air matanya menetes, tapi kali ini bukan air mata kelemahan. Melainkan air mata keteguhan hati.
Sementara itu, di tempat lain, Loly masih terus mendekati Arman dengan cara-cara halusnya. Dan Arman, tanpa sadar, semakin terjerat.
Ia tidak tahu, bahwa di rumah, istrinya yang dulu ia anggap hanya menangis dan cemburu, kini sedang menyiapkan kebebasannya sendiri.
___
Siang itu, Arman baru saja keluar dari kantor bersama seorang klien penting. Tatapannya tiba-tiba membeku ketika melewati sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan.
Di balik kaca, ia melihat sosok yang sangat ia kenal yaitu Clara. Istrinya, dengan celemek sederhana, sedang membersihkan meja sambil tersenyum kecil pada pelanggan.
Arman seakan tidak percaya. Wajahnya mengeras, harga dirinya tercabik. Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah masuk.
“Clara!” suaranya membentak, membuat beberapa pelanggan menoleh.
Clara terkejut, tubuhnya menegang. “Arman…” hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Arman menghampirinya dengan langkah cepat, tangannya mencengkeram pergelangan Clara dengan kasar. “Apa yang kamu lakukan di sini?! Kerja di rumah makan? Kau sengaja mempermalukan aku, hah?!”
“Lepaskan, Mas… ini bukan tempatnya—” Clara mencoba menahan, tapi genggaman Arman semakin kuat.
Tanpa memberi kesempatan, Arman menyeret Clara keluar. Bu Rini berusaha menahan, “Pak, tolong, jangan kasar begitu!” tapi Arman tidak peduli.
Arman terus menarik keluar Clara dengan kasar, walaupun Clara meminta Arman untuk melepaskan nya.
“Lepaskan Arman!. ”
Bukan jawaban atau genggaman yang melonggar tapi bertambah erat genggaman Arman, dan hanya diam dengan wajah yang penuh amarah.
Lalu ia mendorong Clara masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu dengan keras. Mobil melaju kencang, meninggalkan rumah makan itu.
Arman lalu menyalahkan mesin mobilnya, dan pergi menjauh dari tempat Clara bekerja.
Didalam mobil Arman meluapkan rasa marahnya dan kecewa Clara.
“Kenapa kau sembunyikan ini dariku, Clara?!” teriak Arman sambil menekan pedal gas. “Kurang apa aku memberi makan kamu, memberi tempat tinggal, hah? Sampai harus kerja jadi pelayan murahan?!”
Clara menahan tangisnya, dadanya naik turun. “Kau pikir aku butuh semua itu darimu? Aku hanya ingin mandiri! Aku sudah muak hidup di bawah hinaan keluargamu! Kau… bahkan lebih memilih perempuan itu daripada aku!”
“Jaga bicaramu, Clara!” Arman membentak, matanya merah karena amarah. “Kau istriku! Apa pun masalah kita, kau tetap harus di rumah, bukan kerja sembunyi-sembunyi seperti ini!”
Clara menatapnya tajam, untuk pertama kalinya dengan keberanian penuh. “Rumah? Itu bukan rumah, Arman. Itu penjara. Dan kau… kau bukan lagi suamiku, hanya orang asing yang tidur di sebelahku.”
Ucapan itu menusuk Arman. Tangannya semakin keras menggenggam setir, napasnya memburu. Ia menoleh sesaat ke arah Clara dengan mata berapi.
“Cukup, Clara! Jangan sekali-kali bicara begitu padaku!”
Namun pada detik itulah—
Dari arah kiri perempatan, sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi. Sopir truk berusaha membunyikan klakson keras-keras, tapi Arman tidak sempat menghindar.
“ARMAN!!” Clara menjerit.
Brakkkk!!!
Benturan keras menghantam sisi mobil mereka. Tubuh Clara dan Arman terpental, kaca pecah berhamburan, suara logam beradu memekakkan telinga.
Mobil itu terputar beberapa kali sebelum berhenti di pinggir jalan, ringsek parah. Hujan mulai turun deras, membasahi jalanan yang penuh serpihan kaca dan darah.
Di dalam mobil, Clara terkulai dengan darah mengalir di dahinya, tangannya masih memegang perutnya dengan gemetar. Sementara Arman terdiam, tubuhnya bersandar lemah di setir, wajah penuh luka.
Suara klakson dan teriakan orang-orang mulai memenuhi udara.
Namun di tengah kekacauan itu, satu hal memenuhi pikiran Clara yang samar—“Anakku…”
Darah bercampur air hujan, detak jantungnya melemah, namun tangannya masih bertahan melindungi perutnya.
Di antara sirine yang mendekat dan sorak panik orang-orang di jalan, takdir malam itu hanya meninggalkan satu tanya yang menggantung—
apa yang akan terjadi pada Clara?
penasaran bangetttttttt🤭