Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3.
Pertolongan pertama Ryan...
Pintu Rumah mewah itu terbuka. Ryan melangkah masuk, menjatuhkan tas dan koper pilotnya yang berat ke lantai hingga berbunyi 'Dhug' yang memecah kesunyian.
Ia melepas topi seragamnya, mengusap wajahnya yang lelah. Penerbangan malam yang sunyi itu terasa lebih menguras tenaga, bukan karena jaraknya, melainkan karena percakapannya yang tegang dengan Asmara.
Belum sempat ia melepas dasi, suara ceria yang familier langsung menyambutnya dari ruang tengah.
"Astaga, Anak Mami sudah pulang!"
Mami Rosa muncul dari balik pintu kamarnya, wajahnya berseri-seri dan penuh semangat, kontras sekali dengan raut wajah lelah Ryan. Mami Rosa adalah seorang wanita sosialita yang selalu stylish dan penuh energi, bahkan di tengah malam sekalipun. Ia bergerak cepat, memeluk Ryan erat.
"Mami sudah bilang, jangan ambil jadwal malam terus. Lihat wajah kamu, mata panda seperti ini! Ayo, duduk! Mami sudah siapkan teh jahe hangat," celoteh Mami Rosa tanpa henti.
Ryan hanya mengangguk lemas, membiarkan sang mami membimbingnya ke sofa. Ia hanya ingin mandi air hangat dan tidur, melupakan keheningan canggung di galley pesawat dan kejujuran tajam dari Asmara.
"Mami, aku capek sekali. Boleh aku istirahat sebentar?" pinta Ryan, nadanya datar.
"Tentu, tentu. Tapi sebentar saja. Mami mau bicara, ada kabar bagus," Mami Rosa tersenyum lebar, senyum yang selalu membuat Ryan waspada.
"Kabar apa lagi, Mi?" Ryan meneguk tehnya, berusaha menenangkan diri.
"Tentang Clarissa!" seru Mami Rosa, matanya berbinar. "Anak Tante Miranda itu lho, yang punya butik di Senopati. Dia baru pulang dari Paris dan dia cantik sekali, lulusan luar negeri, dan yang paling penting... Dia settled."
Napas Ryan tertahan. Ia menjatuhkan cangkir tehnya ke meja, untung tidak tumpah.
"Mami! Kenapa lagi-lagi ini? Aku baru pulang terbang, dan ini yang Mami bahas? Clarissa lagi, anak Tante Miranda lagi? Aku sudah bilang, aku tidak suka dijodoh-jodohkan!" Ryan menanggapi dengan suara meninggi, menunjukan rasa frustasi.
Wajah Mami Rosa langsung berubah muram, khas ekspresi yang selalu ia gunakan untuk membuat Ryan merasa bersalah.
"Kenapa kamu selalu marah, Ryan? Mami cuma ingin yang terbaik untukmu! Mami ingin melihatmu bahagia, melihatmu punya istri, punya keluarga. Usiamu sudah nyaris tiga puluh, kapan lagi?"
"Aku akan menikah kalau aku menemukan orang yang tepat. Bukan orang yang Mami pilihkan hanya karena dia anak teman Mami atau karena gelarnya bagus!" jawab Ryan tegas.
"Tapi Mami hanya mencoba membantu! Kamu terlalu dingin, terlalu kaku! Mana ada wanita yang mau mendekati pilot beku seperti kamu, kecuali kalau Mami yang mengenalkannya!" kata Mami Rosa tak mau menyerah.
Kata-kata Mami Rosa menghantam benak Ryan. Ia tahu ia memang kaku dan sulit didekati, persis seperti yang Asmara katakan secara tersirat.
Ryan bangkit dari sofa, membalas perkataan Maminya dengan nada tegas. "Aku tidak butuh bantuan Mami untuk urusan ini. Aku bisa mencari wanita itu sendiri."
Ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Mami Rosa yang kini mulai terisak pelan.
"Mami hanya ingin cepat punya cucu! Cepatlah menikah, Ryan! Mami tidak muda lagi!" teriak Mami Rosa pelan.
Ryan menutup pintu kamarnya tanpa menjawab. Ia bersandar di pintu, menarik napas panjang. Desakan untuk segera menikah, wajah Mami Rosa yang sedih, dan tatapan penuh pertahanan dari Asmara, semua itu berputar di kepalanya.
'Aku tidak dingin' pikir Ryan. Aku hanya terlalu berhati-hati, aku tak ingin salah memilih lagi.
Ia tahu, satu-satunya cara menghentikan perjodohan dari Mami Rosa adalah dengan membuktikan bahwa ia sudah menemukan seseorang. Seseorang yang nyata. Seseorang yang... tiba-tiba terlintas sosok wajah Asmara. Seseorang yang tulus dan tidak peduli dengan statusnya.
Ryan mengusap wajahnya dengan gusar. ia tidak mengerti mengapa wajah kesal Asmara terus memenuhi bayangannya sejak kejadian kopinya tadi.
Dua hari libur yang seharusnya menjadi waktu istirahat, justru dihabiskan Ryan untuk menghadapi desakan Mami Rosa. Pikirannya penuh dengan rencana untuk segera mencari wanita yang pantas untuk dirinya, itu adalah satu-satunya solusi yang terlintas untuk meredam drama perjodohan di rumah ini. Ia kembali bekerja dengan tekad baru, meskipun hatinya masih diselimuti kecanggungan.
...🌸...
Pagi hari di Bandara ✈️
Saat mobilnya baru saja terparkir rapi di area khusus kru bandara, Ryan meraih tas pilotnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada sebuah keributan kecil beberapa meter di depannya.
Ia melihat Asmara. Wanita itu mengenakan seragam pramugarinya yang rapi, namun wajahnya tampak tegang. Di hadapannya, berdiri seorang pria berseragam staf operasional bandara, seragam yang familier, meskipun belum lama bergabung, namun Ryan mengenal pria itu,. Pria itu adalah Devanka, Ryan sempat mendengar jika Devanka adalah mantan kekasih Asmara dua tahun yang lalu, dan Devanka sudah menikah dengan anak salah satu petinggi Bandara.
Ryan mengamati. Asmara terlihat menahan emosi, sementara Devanka berbicara dengan nada yang memaksa.
Devanka terlihat menampakan wajah yang memelas, namun ada nada bicaranya terdengar mengancam.
"Asmara, dengar! Aku serius. Aku tidak pernah bisa melupakanmu. Pernikahanku itu... itu hanya kesalahan! Kenapa kamu sekarang keras kepala sekali?"
"Kesalahan? Devanka, pernikahanmu sudah berjalan dua tahun! Istrimu sedang mengandung anakmu! Tolong sadar diri! Urusan kita sudah selesai, dua tahun lalu, di tempat ini juga!" suara Asmara terdengar bergetar, menahan amarah.
"Tapi aku mencintaimu! Dia tidak seperti kamu! Dia tidak seperti kita dulu. Aku akan tinggalkan dia, Mara. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku yakin kamu juga masih....."
"Cukup! Jangan pernah lagi berkata kamu mencintaiku. Kamu egois! Kamu merusak segalanya dan sekarang kamu datang lagi ingin merusak hidupku dan hidup istrimu?" Asmara memotong cepat, matanya memancarkan kekecewaan dan kemarahan.
Devanka mencoba meraih tangan Asmara, tetapi Asmara menghindar. Pria itu tampak tidak terima dan semakin mendesak, berdiri terlalu dekat hingga Asmara harus mundur selangkah.
Saat itulah Ryan memutuskan untuk bergerak. Ia tidak tahu apa-apa tentang sejarah mereka, tetapi ia tahu satu hal, Asmara terlihat tidak nyaman dan terancam. Instingnya, sebagai Kapten dan sebagai seorang pria, mengambil alih. Wajahnya yang kaku kini menampilkan ekspresi dingin yang lebih tajam, aura otoritasnya langsung menyelimuti.
Ryan berjalan mendekat dengan langkah tegap, tanpa ragu. Ia berdiri tepat di samping Asmara, menciptakan jarak antara Asmara dan Devanka.
"Ada masalah di sini?" Ryan berkata dengan suara rendah dan menusuk, penuh wibawa seorang kapten.
Devanka terkejut. Ia menoleh ke arah Ryan, melihat seragam pilot yang pangkatnya lebih tinggi. Wajahnya langsung pucat.
"Kapten Ryan? Tidak ada, Kapten. Ini... hanya salah paham antar rekan kerja." kata Devanka gugup.
Ryan menatap Devanka lurus, tanpa ekspresi. "Terlihat bukan seperti kesalahpahaman biasa. Pramugari Asmara terlihat sangat tidak nyaman. Urusan pribadi tidak seharusnya dilakukan di area operasional bandara, terutama jika itu mengganggu rekan kerja."
Ryan kemudian menoleh sedikit ke Asmara.
"Asmara, apakah Anda ingin saya memanggil keamanan bandara? Pria ini mengganggu Anda?"
Asmara, yang masih terkejut dengan intervensi Ryan, menatapnya. Entah kenapa, kehadiran Ryan yang dingin dan tegas justru terasa seperti perisai terkuat yang pernah ia miliki. Rasa takutnya tiba-tiba menghilang.
Asmara mencoba mengendalikan suaranya. "Tidak perlu, Kapten. Saya rasa dia sudah mengerti."
Ryan kembali menatap Devanka, tatapannya tidak goyah.
"Anda dengar? Jika Anda masih ingin bekerja di sini, saya sarankan Anda pergi sekarang, Devanka. Dan jangan pernah mendekati pramugari saya lagi di luar urusan pekerjaan." kata Ryan penuh peringatan.
Devanka benar-benar terintimidasi. Ia mengangguk cepat, wajahnya menunduk.
"Baik, Kapten. Maaf. Saya permisi."
Pria itu berbalik dan berjalan cepat menjauhi mereka, nyaris berlari menuju pintu masuk staf.
Setelah Devanka hilang dari pandangan, suasana kembali hening. Ryan berbalik penuh, kini menghadap Asmara.
Asmara melihat Ryan dengan campuran rasa terima kasih dan kebingungan. "Kapten... terima kasih. Anda tidak seharusnya ikut campur."
Ryan menatap Asmara sejenak, wajahnya kembali kaku, seolah ia baru sadar telah melakukan hal yang 'tidak profesional'.
"Saya tidak ikut campur. Saya hanya memastikan lingkungan kerja aman dari gangguan, Asmara."
Ryan kemudian mengulurkan tas pilotnya, yang sedari tadi ia pegang.
"Ayo. Kita ada briefing lima belas menit lagi."
Ia berbalik dan mulai berjalan menuju pintu masuk kru, meninggalkan Asmara yang masih berdiri mematung di tempat parkir. Asmara menatap punggung Ryan. Pria itu memang kaku, dingin, dan acuh. Tapi hari ini, di balik semua kebekuan itu, ia telah melihat sebuah tindakan perlindungan yang tidak pernah ia duga.
'Kenapa dia melakukan itu?' batin Asmara. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa mengabaikan Kapten Ryan.
...✈️...
...✈️...
...✈️ ...
^^^...Bersambung......^^^