Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Jebakan Aib dan Pengkhianatan Keji
Dek kamar Shannara hening. Lampu redup memantulkan bayangan panjang di dinding, bergoyang perlahan mengikuti getaran kapal. Surat pengunduran diri tergenggam di tangan Shannara, jari-jarinya menekannya sampai kertasnya nyaris sobek. Napasnya tersengal, tubuhnya kaku, dan hatinya terasa hancur. Semua pengkhianatan, semua kesialan, semua beban yang selalu menimpanya, malam itu terasa menyesakkan sekaligus menamparnya dengan keras.
BRAK!
Pintu dibuka paksa. Risa masuk, langkahnya cepat, mata menyala penuh kemarahan tapi juga panik yang memuncak. Ia langsung menerjang, mencengkeram lengan Shannara sekuat tenaga. Cengkeraman itu terasa menyakitkan, menjepit, seolah ingin mematahkan tulang demi menahan Shannara.
"Dengar aku, Shannara! Kamu harus bilang ke Sergio kalau uang 500 juta itu aku ambil atas perintahmu! Kamu harus bilang malam itu kebetulan kamu masuk kamar itu! Katakan kalau obat perangsang itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kita!" suara Risa meledak, setengah teriak, setengah memohon
Shannara terhuyung mundur, tubuhnya gemetar hebat, bukan karena takut, tapi karena gelombang jijik yang mual. Ia menepis tangan Risa dengan sentakan kuat.
"Kamu … kamu gila?! Kamu mau aku menutupi semua kebohonganmu?! Tidak tahu malu! Aku disini adalah korban ulahmu, Risa. Jadi, setelah kamu menjualku dan membuatku terlihat bodoh, sekarang kamu mau aku jadi penanggung jawab kebohonganmu, begitu? Kau mau aku mengakui aku wanita murahan yang mencoba memeras setelah ‘kesalahan’ satu malam?"
Risa menatapnya dengan mata yang memancarkan keputusasaan sekaligus permintaan yang memaksa. Suaranya hampir tersedak "Bu-bukan begitu! Itu ... hanya ... satu-satunya cara! Shannara … kamu harus mengerti … Aku terpaksa melakukan ini. Anakku … Demi tuhan dia butuh operasi … Aku tidak punya pilihan lain! Kau tahu aku bukan orang jahat! Aku hanya seorang ibu … yang akan berani lakukan apa saja demi anakku! Kamu … kamu pasti bisa mengerti, kan?"
Shannara menelan ludah, tubuhnya kaku, hati dan pikirannya berputar. Ia merasa seperti dirantai dalam badai yang tak terlihat. Ia marah, bingung, kecewa, tapi juga tersentuh oleh kepanikan seorang ibu. Ia ingin menjerit, menangis, bahkan memukul Risa sekaligus, tapi juga merasa simpati yang menahan tangannya.
"Jangan pakai anakmu untuk menekanku! Aku … aku bukan alatmu, Ris! Aku juga korban! Malam itu aku tidak ada urusan dengan ini semua! Kenapa aku yang harus membereskan kebohonganmu?! Kenapa aku yang harus menanggung semua risiko?! Kamu tahu betul ini salah!"
"Shannara… Tolonglah! Demi anakku! Anakku harus dioperasi! Kamu adalah satu-satunya kesempatan yang kumiliki! Aku tahu aku jahat, aku tahu aku busuk! Aku akan merangkak di depanmu, bersujud mecium kakimu, tapi jangan biarkan anakku yang tidak bersalah menanggung dosaku! Kamu … kamu punya hati, kan?"
Nara menatap Risa dengan sorot mata yang perih, tetapi sebelum ia bisa menjawab, pintu kabin mereka yang sempit kembali terbuka dengan suara debuman keras.
BRAK!
Di ambang pintu, Bayu berdiri. Tubuhnya yang besar memenuhi bingkai, wajahnya merah padam. Ia tidak datang dengan air mata atau permohonan seperti istrinya, melainkan dengan aura ancaman yang dingin dan menusuk.
"Sudah, Ris! Cukup drama air matanya," potong Bayu tajam. Ia mengabaikan istrinya dan menatap Shannara. "Dia nggak akan luluh dengan tangisanmu. Kita butuh solusi, bukan drama."
Ia berhenti tepat di depan Nara. Jarak mereka begitu dekat hingga Nara bisa merasakan hawa panas amarah dan tekanan dari pria itu.
"Dengar baik-baik, Nara. Kamu nggak punya pilihan. Sama sekali nggak ada." Bayu menyeringai sinis. "Kamu bilang kamu korban? Di mata hukum, di mata media? Kamu cuma pelayan yang keluar dari kamar VIP. Dengan penampilan acak-acakan. Dengan memar di leher. Di kamar pria beristri, yang kebetulan kaya raya."
Nara mundur selangkah, menepis tangan Risa yang memohon di lengannya. "Kalian yang menjebakku! Aku nggak tahu apa-apa soal rencana busuk kalian!"
"Oh, kamu dijebak?" Bayu mendesis, nadanya datar tapi dingin menusuk. "Coba kamu buktikan. Tapi aku punya bukti yang lebih kuat."
Ia menunjuk Nara dengan jari telunjuknya yang kasar. "Aku kerja di keamanan, Nara. Aku punya akses ke CCTV lorong 308 A. Aku punya rekaman kamu keluar dari kamar itu. Tinggal aku edit sedikit, beri keterangan yang pas, dan klip itu akan jadi konsumsi publik dalam hitungan jam."
Risa tersentak. "Bayu, jangan! Itu bahaya buat kita juga!"
Bayu melotot ke Risa, membuat istrinya langsung diam. "Diam, Ris! Ini demi anak kita!" Ia kembali ke Nara, matanya merah karena amarah yang terpendam.
"Aku akan buat narasi perselingkuhan, Nara. Pelayan murahan yang coba merayu, lalu memeras. Sergio, dia bisa lolos. Dia punya pengacara, dia punya nama besar. Tapi kamu? Kamu cuma staf rendahan. Siapa yang akan percaya kamu?"
Ancaman itu membuat napas Nara tertahan di tenggorokan. Ia tahu Bayu tidak main-main.
"Dan aku nggak akan berhenti di situ," Bayu menambahkan, menurunkan suaranya hingga menjadi bisikan paling menakutkan. "Aku tahu asal-usulmu, Nara. Soal ibumu yang dulu bekerja di dunia malam, soal ayahmu yang nggak jelas keberadaannya. Media sosial suka banget gosip panas kayak gini, tahu nggak? Mereka akan makan mentah-mentah cerita: 'Pelayan dengan latar belakang kotor, mengulangi dosa ibunya, menjebak suami orang demi uang.'"
Kepala Nara terasa dihantam. Ia memejamkan mata. Semua pertahanannya runtuh. Ini bukan lagi tentang uang Sergio, tapi tentang kehormatan terakhir yang ia miliki, yang kini diinjak-injak dengan keji.
"Jangan... jangan bawa-bawa ibuku!" desis Nara, suaranya serak dan putus asa.
"Makanya, ambil pilihan yang benar!" Bayu mencengkeram bahunya, sentuhannya menyakitkan. "Bilang ke Sergio, kamu yang malu, kamu yang minta Risa urus kompensasi itu. Ambil alih semua kesalahan ini. Jadi kambing hitam kami. Setelah ini selesai, video itu akan aku hapus, dan hidupmu aman. Kamu bisa menghilang tanpa aib."
Risa kini mendekat, memohon lagi dengan mata bengkak. "Tolonglah, Ra ... Tolong anakku. Ini satu-satunya jalan keluar kita. Aku janji, aku nggak akan ganggu kamu lagi."
Nara menatap Bayu yang mengancam dan Risa yang memohon. Ia terjebak dalam pusaran intrik kejam yang tidak ia mulai. Ia tahu, melawan Bayu saat ini sama saja dengan bunuh diri massal reputasi. Ia sudah didorong ke jurang kehancuran.
Tubuhnya gemetar, ia hanya bisa mengangguk pasrah. Air mata membasahi wajahnya yang pucat.
"Iya..." Nara berbisik, suaranya pecah, hancur. "Aku... aku akan bilang begitu."
Bayu melepaskan cengkeramannya. Senyum tipis yang keji dan lega terukir di wajahnya. "Bagus," katanya dingin. "Itu pilihan yang bijak. Sekarang, bersiaplah. Sergio pasti akan mencarimu."
Tawa sunyi Bayu memenuhi ruang sempit itu, berbaur dengan isak tertahan Risa dan keputusasaan Nara. Bayu mengangguk puas, mencengkeram lengan Risa dan menariknya keluar dari kabin Nara tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Pintu tertutup rapat, menyisakan Nara yang teronggok di sudut, tubuhnya lunglai. Ia memeluk dirinya sendiri, gemetar, menyadari bahwa ia baru saja menandatangani vonis aibnya sendiri. Ia telah sepakat untuk menjadi kebohongan berjalan demi menyelamatkan anak dari sahabat yang telah mengkhianatinya.