Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Realita yang Pahit
Sinar matahari siang yang terik menembus celah tirai kamar utama, menerpa wajah Ayunda yang masih terlelap di bawah selimut tebal. Ia menggeliat, mengerang pelan, lalu perlahan membuka mata. Pandangannya kabur, masih setengah sadar. Ia meraih ponsel di meja nakas, layar menunjukkan pukul 12:03 siang.
"Astaga," gumamnya sambil mengusap mata. "Sudah siang."
Perut Ayunda berbunyi keras keroncongan. Ia belum makan sejak tadi malam, dan sekarang rasa lapar mulai tidak tertahankan. Ia duduk di tepi tempat tidur, masih dengan piyama sutranya, rambut berantakan seperti sarang burung.
"BI! BIBI!" teriaknya keras, suaranya memenuhi kamar. "BI, SINI!"
Keheningan.
Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah kaki tergesa menuju kamar. Tidak ada pintu yang terbuka dengan seorang pembantu yang siap melayani.
Ayunda mengernyit. "BIBI! AKU LAPAR! BUATIN SARAPAN!"
Masih tidak ada jawaban.
"Dasar pembantu tidak becus," gerutunya sambil turun dari tempat tidur. "Suruh apa susah sekali. Nanti aku komplain ke Rangga."
Ia membuka pintu kamar dengan kasar, melangkah keluar dengan wajah kesal. Koridor sepi. Rumah sunyi. Tidak ada aroma masakan dari dapur. Tidak ada suara aktivitas apapun.
"BI!" Ayunda berteriak lagi sambil berjalan menuju tangga. "DIMANA SIH? NGAPAIN AJA DARI TADI?"
Ia turun ke lantai bawah, matanya menyapu ruang tamu yang kosong. Tidak ada siapa-siapa. Ia berjalan ke dapur juga kosong. Tidak ada orang. Tidak ada makanan di meja. Bahkan kompor pun mati, dingin, tidak tersentuh sejak tadi pagi.
"Indira?" Ayunda mulai panik. "Kak Indira? Kamu dimana?"
Keheningan menjawabnya.
Ayunda berjalan ke setiap ruangan, ruang makan, ruang keluarga, ruang kerja, bahkan kamar mandi. Semuanya kosong. Tidak ada seorang pun di rumah besar ini. Hanya dia sendirian.
"Apa-apaan ini?" gumamnya sambil kembali ke ruang tamu. Perutnya semakin keroncongan, kepalanya mulai pusing karena belum makan.
Dengan kesal, ia meraih ponselnya dan menelepon Rangga. Panggilan terhubung setelah beberapa nada.
"Halo?" suara Rangga terdengar sibuk, ada bunyi keyboard di latar belakang.
"RANGGA!" Ayunda langsung berteriak. "Kenapa rumah ini kosong? Kenapa tidak ada orang? Aku lapar dan tidak ada makanan!"
"Ayunda, pelan-pelan..."
"TIDAK ADA YANG PELAN-PELAN!" Ayunda hampir menangis sekarang. "Aku bangun, rumah kosong, aku panggil pembantu tidak ada yang datang, aku cari Indira juga tidak ada! Kemana semua orang? Ini rumah atau rumah hantu?"
Rangga menghela napas panjang di seberang. "Ayunda, dengarkan aku. Di rumah itu tidak ada pembantu."
Ayunda membeku. "Apa?"
"Tidak ada pembantu," ulang Rangga. "Kami tidak punya pembantu. Semua pekerjaan rumah selama ini dikerjakan sendiri oleh Indira."
"TIDAK MUNGKIN!" Ayunda berteriak tidak percaya. "Rumah sebesar ini? Tidak ada pembantu sama sekali?"
"Iya," jawab Rangga lelah. "Indira yang selalu masak, bersih-bersih, cuci baju, semuanya. Dia tidak suka ada orang lain di rumah, jadi dia urus sendiri."
Ayunda terdiam, otaknya mencoba memproses informasi ini. Indira, wanita yang kemarin ia lihat dengan blazer rapi dan penampilan profesional ternyata selama ini juga berperan sebagai pembantu di rumahnya sendiri? Memasak? Bersih-bersih? Cuci baju?
"Kalau begitu suruh Indira pulang sekarang!" perintah Ayunda. "Aku lapar! Aku mau makan!"
"Ayunda, Indira sedang kerja..."
"KERJA APA? DIA KAN IBU RUMAH TANGGA! SURUH DIA PULANG DAN MASAK MAKANAN UNTUKKU!"
"Ayunda!" kali ini Rangga yang meninggi suaranya. "Indira bekerja sekarang! Dia sudah tidak di rumah lagi sepanjang hari! Dan dia sudah bilang tidak akan lagi masak atau urus rumah tangga!"
"Lalu aku harus makan apa?" Ayunda hampir menangis. "Aku lapar, Rangga!"
"Masak sendiri," jawab Rangga simple.
"AKU TIDAK BISA MASAK!"
Keheningan di seberang. Rangga seperti baru tersadar, ia menikahi wanita yang tidak bisa masak. Yang tidak bisa urus rumah tangga. Yang terbiasa dilayani sejak kecil.
Berbeda sekali dengan Indira yang mandiri, yang bisa melakukan segalanya sendiri.
"Kalau begitu pesan online saja," akhirnya Rangga berkata. "Pesan Gofood atau Grabfood atau apapun. Aku tidak bisa pulang sekarang. Masih banyak meeting."
"Tapi Rangga..."
"Ayunda, aku sibuk," potong Rangga dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Pesan makanan sendiri. Itu sangat mudah. Aku tutup dulu."
Klik.
Panggilan berakhir. Ayunda menatap ponselnya dengan wajah tidak percaya. Rangga menutup teleponnya begitu saja? Tidak ada kata-kata manis? Tidak ada janji akan segera pulang?
Ini bukan perlakuan suami ke istri barunya yang baru beberapa hari menikah.
Dengan kesal, Ayunda membuka aplikasi Gofood. Ia memesan nasi goreng, ayam goreng, dan thai tea. Menunggu dengan perutnya yang terus berbunyi kesal.
Tiga puluh menit kemudian, makanan datang. Ayunda makan dengan lahap di meja makan sendirian, tidak ada yang menemani, tidak ada yang menyiapkan piring atau sendok untuknya. Semuanya harus ia lakukan sendiri.
Setelah selesai makan, ia meninggalkan piring kotor begitu saja di meja, kebiasaan lama. Biasanya ada pembantu yang akan segera mencuci. Tapi di sini? Tidak ada siapa-siapa.
Ayunda kembali ke ruang keluarga, berbaring di sofa dengan ponselnya, scrolling Instagram, TikTok, menghabiskan waktu tanpa tujuan. Rumah besar ini terasa sepi. Tidak ada yang bisa diajak bicara. Tidak ada yang menemani.
Ini bukan kehidupan pernikahan yang ia bayangkan.
---
Pukul lima sore, Rangga akhirnya pulang. Wajahnya terlihat lelah, kantung mata yang menghitam, bahu yang membungkuk, ekspresi seseorang yang sedang dalam tekanan besar. Rapat demi rapat, panggilan dari klien yang mulai ragu, dan laporan keuangan yang semakin memprihatinkan.
Ia hanya ingin pulang, mandi air hangat, dan istirahat.
Tapi begitu ia membuka pintu depan, harapan itu langsung hancur.
Rumah berantakan. Seperti kapal pecah.
Bantal sofa berserakan di lantai. Remote TV tergeletak di atas meja dengan kabel charger yang kusut. Gelas-gelas kotor berjejer di meja ruang tamu. Piring kotor masih ada di meja makan dengan sisa nasi goreng yang sudah mengering. Tisu-tisu berserakan di lantai. Sepatu Ayunda tergeletak di tengah ruang tamu, tidak pada tempatnya.
Dan yang paling parah, ada pakaian-pakaian entah baju, celana, atau handuk tergeletak di anak tangga, seolah Ayunda terlalu malas untuk membawanya sampai ke atas.
"Apa-apaan ini?" gumam Rangga dengan wajah pucat.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, takut menginjak sesuatu. Matanya menyapu ruangan, semakin dalam ia masuk, semakin berantakan rumahnya.
Suara televisi terdengar dari ruang keluarga. Rangga berjalan ke sana dan menemukan Ayunda berbaring miring di sofa panjang, ponsel di tangannya, mata terpaku pada layar, sesekali tertawa kecil melihat video TikTok.
Ia bahkan tidak menoleh ketika Rangga masuk. Bahkan tidak menyapa. Seolah Rangga tidak ada.
"Ayunda," Rangga memanggil dengan suara yang sudah lelah sejak awal.
"Hmm?" Ayunda menjawab tanpa mengangkat matanya dari ponsel.
"Rumah kita kenapa jadi berantakan begini?"
"Oh, itu," Ayunda menjawab dengan nada santai. "Aku lagi santai soalnya. Capek."
Rangga menatap istrinya dengan tidak percaya. "Capek? Capek ngapain? Kamu seharian di rumah!"
"Ya capek lah," Ayunda akhirnya melirik hanya sekilas lalu kembali ke ponselnya. "Bangun tidur udah lapar, harus pesen makanan sendiri, terus nunggu lama, terus habis makan bosen, scroll ponsel, terus lapar lagi, pesen lagi. Capek banget."
Rangga menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Menghitung sampai sepuluh. Mencoba tidak meledak.
"Ayunda," ia membuka matanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih terkontrol, "tolong bereskan rumah ini. Rumah kita tidak bisa kayak gini."
"Emang kenapa?" Ayunda masih tidak peduli. "Besok juga dibersihin."
"Besok oleh siapa?" tanya Rangga. "Kita tidak punya pembantu."
"Ya sama Indira," jawab Ayunda enteng. "Kan dia yang biasa urus rumah. Besok pasti dia beresin."
"Indira tidak akan beresin," Rangga mulai kehilangan kesabaran. "Indira sudah bilang dia tidak akan lagi urus rumah tangga. Jadi kalau kamu yang bikin berantakan, kamu yang harus beresin."
Ayunda akhirnya duduk tegak, menatap suaminya dengan wajah tidak suka. "Aku? Beresin rumah? Rangga, aku bukan pembantu."
"Aku juga tahu kamu bukan pembantu!" Rangga mulai meninggi suaranya. "Tapi kamu istri di rumah ini! Seharusnya kamu yang..."
"Yang apa?" potong Ayunda dengan nada menantang. "Yang masak? Yang bersih-bersih? Yang cuci piring? Aku nikah sama kamu bukan untuk jadi pembantu, Rangga!"
"Tapi kamu juga tidak bisa berharap orang lain yang beresin kekacauan yang kamu buat!" Rangga menunjuk ruangan yang berantakan. "Ini semua kamu yang bikin! Kamu yang harus bertanggung jawab!"
"Kalau kamu tidak suka, ya kamu yang beresin," ucap Ayunda dengan santai sambil berbaring lagi. "Atau tunggu Indira pulang nanti. Suruh dia."
Rangga menatap istrinya dengan campuran tidak percaya dan kekecewaan yang dalam. Ini wanita yang ia nikahi? Ini wanita yang ia pikir akan membuat hidupnya lebih baik?
Ia membuka mulut, ingin berteriak, ingin membentaknya untuk sadar. Tapi melihat wajah Ayunda yang sudah kembali fokus pada ponselnya, tidak peduli sama sekali dengan keberadaan suaminya, Rangga tahu, debat ini tidak akan kemana-mana.
Dengan helaan napas panjang yang penuh kekecewaan, Rangga melepas jasnya. Ia melonggarkan dasinya, melemparkannya asal ke sofa. Masih dengan kemeja kerja dan celana bahan yang sudah kusut, ia mulai mengambil piring kotor dari meja makan.
Satu per satu ia bawa ke dapur. Mencucinya dengan tangan yang tidak terbiasa, air terlalu panas, sabun terlalu banyak, piring hampir terpeleset dari tangannya beberapa kali.
Setelah selesai mencuci piring, ia kembali ke ruang tamu. Mengambil gelas-gelas kotor. Memunguti tisu yang berserakan. Merapikan bantal sofa. Menggulung kabel charger. Meletakkan sepatu Ayunda di rak sepatu.
Semua dilakukan sendirian. Sementara Ayunda tetap berbaring di sofa, sesekali tertawa kecil melihat video di ponselnya, sama sekali tidak peduli dengan suaminya yang sedang berjuang membereskan rumah setelah seharian bekerja keras di kantor.
Rangga mengambil pakaian-pakaian yang tergeletak di tangga. Membawanya ke laundry room. Ia bahkan tidak tahu harus dicuci bagaimana, selama ini Indira yang urus.
Satu jam berlalu. Rumah akhirnya sedikit lebih rapi, meskipun tidak se-rapi kalau Indira yang membereskan. Rangga duduk terduduk di sofa yang berbeda dengan Ayunda, wajahnya penuh keringat, napasnya terengah-engah.
Ia menatap istrinya yang masih asyik dengan ponselnya. Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada pertanyaan "sudah makan belum?" atau "lelah ya sayang?" seperti yang biasa Indira tanyakan.
Tidak ada. Hanya keheningan yang dingin dan ketidakpedulian yang menyakitkan.
Rangga menutup matanya, bersandar di sofa. Pikirannya melayang ke Indira, Indira yang biasanya sudah menyiapkan makan malam ketika ia pulang. Indira yang selalu bertanya tentang harinya. Indira yang membuatkan teh hangat untuk menenangkan pikirannya setelah hari yang berat.
Indira yang ia sia-siakan. Indira yang ia gantikan dengan... ini.
"Rangga," suara Ayunda tiba-tiba memecah keheningan. "Aku lapar. Pesen makanan dong. Aku mau pizza."
Rangga membuka matanya perlahan. Menatap istrinya yang sekarang menatapnya dengan wajah memelas, wajah yang dulu ia pikir manis, tapi sekarang hanya terlihat manja dan merepotkan.
"Pesan sendiri," jawabnya datar.
"Tapi aku males," Ayunda merengek. "Kamu aja yang pesen. Please, sayang?"
Rangga tidak menjawab. Ia hanya bangkit dari sofa, berjalan ke tangga, naik dengan langkah berat menuju kamarnya atau lebih tepatnya, kamar tamu di ujung koridor, karena kamar utamanya sudah direbut.
Ia tidak mau melihat Ayunda lagi malam ini. Ia terlalu lelah untuk berdebat. Terlalu kecewa untuk bertengkar.
Ia hanya ingin tidur. Dan berharap besok akan jadi hari yang lebih baik.
Meskipun dalam hatinya, ia tahu tidak akan ada hari yang lebih baik. Tidak selama ia masih terjebak dalam keputusan bodohnya sendiri.
Tidak selama ia masih harus hidup dengan konsekuensi dari pengkhianatannya.