Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Bab 3
..."Revana adalah sekretaris terbaik saya." -Adrian Wijaksana...
Setelah bergelut dengan pikirannya, Revana akhirnya mengangguk lemah. Ia tidak punya pilihan lain. Demi keselamatan ayahnya, ia rela menerima syarat dari Adrian.
"Baiklah, Pak. Saya setuju." jawab Revana dengan suara lirih.
Adrian tersenyum lega mendengar jawaban Revana. Ia merasa seperti mendapatkan angin segar setelah sekian lama tertekan.
"Terima kasih, Revana. Kamu tidak akan menyesal." kata Adrian dengan senyum lebar.
Adrian segera mengambil ponselnya dan melakukan transfer sejumlah uang ke rekening Revana.
Revana terkejut melihat nominal yang tertera di pesan m-bankingnya. "Pak, ini... kenapa banyak sekali? Saya hanya butuh lima puluh juta."
"Ambil saja. Itu untuk biaya tambahan dan keperluan lainnya. Anggap saja ini sebagai tanda perjanjian kita." kata Adrian santai.
Revana merasa tidak enak. "Tapi, Pak..."
Adrian memotong perkataan Revana, cepat. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting sekarang adalah kesehatan ayahmu. Segera kamu urus semuanya."
Revana terdiam. Ia merasa terharu dengan kebaikan Adrian. Meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu, ia tetap berterima kasih atas bantuannya.
"Terima kasih banyak, Pak. Saya janji, saya akan membalas semua kebaikan Bapak." ucap Revana tulus.
Adrian mengedipkan mata. "Saya akan menagih janjimu nanti."
Adrian kemudian memberikan senyuman penuh arti pada Revana, membuat gadis itu salah tingkah.
Setelah mendapatkan uang yang dibutuhkan, Revana segera berpamitan pada Adrian dan bergegas menuju rumah sakit. Ia tidak sabar untuk melihat ayahnya dan memastikan semuanya berjalan lancar.
Di sisi lain, Adrian menatap kepergian Revana dengan tatapan penuh kemenangan. Ia tahu, ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Revana akan selalu berada di dekatnya, menemaninya dalam setiap kesempatan.
Namun, di balik senyumnya, tersimpan sebuah rencana besar yang belum diketahui oleh siapa pun. Apa sebenarnya yang ada di benak Adrian? Dan apa yang akan terjadi pada Revana setelah ini?
...☘️☘️...
Dengan tergesa-gesa, Revana tiba di rumah sakit. Ia langsung menuju bagian administrasi untuk mengurus segala keperluan ayahnya. Hatinya berdebar-debar, berharap semuanya berjalan lancar.
"Selamat siang, Mbak. Saya mau mengurus biaya administrasi pasien atas nama Bapak Gavin Ahlan." ucap Revana dengan nafas tersenggal-senggal.
Petugas Administrasi menyambutnya dengan ramah. "Selamat siang, Kak. Sebentar, ya, saya cek datanya dulu."
Petugas administrasi itu mengetik sesuatu di komputernya. Revana menunggu dengan cemas.
setelah beberapa saat. "Oh, iya, betul. Bapak Gavin Ahlan sudah terdaftar perawatan dan jadwal operasi. Total biaya yang harus dibayarkan adalah lima puluh juta rupiah."
Revana menghela napas lega. "Baik, Mbak. Saya bayar sekarang. Supaya operasinya bisa segera di laksanakan."
Revana menyerahkan kartu debitnya kepada petugas administrasi. Petugas itu kemudian memproses pembayaran.
"Pembayaran berhasil ya, Kak. Ini bukti pembayarannya. Silakan dibawa ke bagian kasir untuk mendapatkan kuitansi."
"Baik, Mbak. Terima kasih banyak."
Revana mengambil bukti pembayaran dan bergegas menuju bagian kasir. Setelah mendapatkan kuitansi, ia langsung menuju ruang perawatan ayahnya.
Sesampainya di depan ruang perawatan, Revana melihat ibunya sedang duduk di kursi tunggu dengan wajah cemas.
Revana datang dengan senyum cerah, menyembunyikan kegelisahan hatinya. "Ibu!"
Ibu Revana terkejut, langsung berdiri memeluk Revana. "Revana, Nak! Kamu sudah datang? Bagaimana, Nak? Apa kamu sudah dapat uangnya?"
Revana mengangguk. "Sudah, Bu. Semuanya sudah beres. Ayah akan segera dioperasi."
Ibu Revana menangis haru. "Ya Tuhan, terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang berbakti."
Revana memeluk ibunya erat-erat. Ia merasa lega karena bisa membantu ayahnya.
"Sudah, Bu, jangan menangis lagi. Sekarang kita berdoa saja semoga operasi ayah berjalan lancar." kata Revana dengan nada menenangkan.
Mira, Ibu Revana mengangguk. "Iya, Nak. Mari kita berdoa bersama."
Revana dan ibunya kemudian berdoa bersama, memohon kepada Tuhan agar memberikan kelancaran dan kesembuhan bagi ayah Revana.
Setelah berdoa, Revana dan ibunya masuk ke dalam ruang perawatan untuk menemani ayah Revana. Ayah Revana tampak lemah dan pucat, namun ia tersenyum saat melihat kedatangan anak dan istrinya.
"Revana, Nak... kenapa jam segini kamu datang, kamu gak ke kantor?" ujar Pak Gavin dengan suara lemah.
Revana menggenggam tangan ayahnya. "Ayah jangan khawatir. Aku ijin Yah, Aku juga sudah urus semuanya. Ayah akan segera sembuh."
Ayah Gavin tersenyum, namun sorot matanya merasa bersalah. "Maaf Nak, ayah udah bikin kamu susah. Pasti biayanya tak sedikit kan ?"
Revana membalas senyuman ayahnya.
"Ayah nggak usah khawatir, uang bisa di cari Yah, yang penting Ayah sembuh dan sehat kembali." Revana merasa bahagia karena bisa memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Namun, di balik kebahagiaan itu, tersimpan sebuah perjanjian yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
Keesokan harinya, Revana tidak masuk kerja. Pikirannya hanya tertuju pada ayahnya yang sedang menjalani operasi. Ia menemani ibunya di ruang tunggu rumah sakit, menunggu dengan cemas setiap detik yang berlalu.
Di kantor, Adrian merasa gelisah. Ia terbiasa dengan kehadiran Revana yang selalu sigap membantu segala urusannya. Tanpa Revana, semua terasa sedikit kacau. Jadwal rapat berantakan, dokumen penting sulit ditemukan, dan telepon berdering tanpa henti.
Adrian mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi bayangan Revana terus menghantuinya. Ia teringat senyum manis gadis itu, suaranya yang lembut, dan perhatiannya yang tulus.
Tiba-tiba, Adrian menyadari sesuatu. Ternyata tanpa ia sadari selama ini, ia terlalu bergantung pada Revana. Ia tidak pernah benar-benar memperhatikan betapa pentingnya peran sekretarisnya itu.
Adrian menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena telah memanfaatkan Revana. Ia seharusnya memperlakukan gadis itu dengan lebih baik, bukan hanya sebagai seorang bawahan, tetapi juga sebagai seorang teman.
"Sial! Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Revana benar-benar sangat berarti bagiku." gumamnya dalam hati.
Adrian meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Revana. Namun, panggilannya tidak dijawab. Ia semakin merasa khawatir.
Adrian memutuskan untuk pergi ke rumah sakit setelah jam kerja selesai. Ia ingin melihat keadaan ayah Revana dan memberikan dukungan kepada gadis itu.
Di perjalanan, Adrian terus memikirkan Revana. Ia bertanya-tanya, apakah gadis itu menyesal telah menerima syaratnya? Apakah Revana membencinya karena telah memanfaatkannya?
Adrian merasa takut kehilangan Revana. Ia tidak ingin gadis itu menjauh darinya. Ia ingin memperbaiki kesalahannya dan membuktikan bahwa ia benar-benar peduli pada Revana.
Sesampainya di rumah sakit, Adrian mencari tahu ruang tunggu keluarga pasien yang sedang dioperasi. Ia melihat ibu Revana sedang duduk seorang diri dengan wajah sedih.
Dengan hati-hati, Adrian mendekat dan memberi sapaan. "Selamat malam, Bu. Maaf mengganggu. Saya Adrian, atasan Revana di kantor."
Ibu Revana terkejut, menatap Adrian dengan bingung. "Oh, Bapak Adrian. Silakan duduk, Pak."
Adrian duduk di samping ibu Revana. Ia merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
"Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Adrian dengan nada khawatir.
Ibu Revana menghela napas. "Operasinya masih berlangsung, Pak. Kami masih menunggu kabar dari dokter."
Adrian mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan kecemasan yang dirasakan oleh ibu Revana.
"Saya berharap semuanya berjalan lancar, Bu. Saya akan terus berdoa untuk kesembuhan Bapak." ucap Adrian tulus.
Ibu Revana tersenyum tipis. "Terima kasih banyak, Pak Adrian. Bapak baik sekali sudah mau datang menjenguk."
"Saya datang ke sini bukan hanya untuk menjenguk, Bu. Saya juga ingin memberikan dukungan kepada Revana. Dia adalah gadis yang baik dan kuat. Saya sangat menghargainya."
Ibu Revana menatap Adrian dengan tatapan penuh rasa terimakasih, ia tak menyangka Revana mempunyai Pimpinan yang sangat peduli.
"Terimakasih Pak Adrian, sudah perhatian dengan Revana." ujar Bu Mira dengan nada hati-hati
Adrian terkejut mendengar perkataan ibu Revana. yang tidak menaruh curiga dengan kedatangannya.
"Sudah menjadi tugas Saya Bu, Revana adalah sekretaris terbaik Saya."
Ibu Revana tersenyum lega mendengar janji Adrian. Ia berharap, pria itu benar-benar bisa dipercaya.