Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manager marketing
Keesokan harinya, semua tim marketing berkumpul di ruang rapat. Direktur utama, Pak Arman, berdiri di depan dengan senyum puas, "Mulai hari ini, posisi Manager Marketing resmi dipegang oleh Revan Aditya."
Revan berdiri, membungkuk sedikit memberi hormat, sementara sorot mata rekan-rekannya tertuju padanya dengan berbagai ekspresi, ada yang kagum, ada yang iri, ada juga yang biasa saja.
Di sudut ruangan, Tasya hanya terdiam. Tangannya terkepal di pangkuan, matanya terasa panas. Bukan karena ia tak tahu kalah, tapi karena semua kerja kerasnya seolah sirna dalam sekejap. Begitu rapat bubar, ia buru-buru mengambil tas dan keluar tanpa banyak bicara.
"Hei, Tasya! Mau bareng turun?" salah satu rekan sempat menahan, tapi ia hanya menggeleng singkat. "Aku butuh udara segar."
Tangga darurat ia turuni cepat, seolah ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kantor. Begitu sampai di basement, ia langsung masuk ke mobilnya.
Sambil menyalakan mesin, ia bergumam lirih, "Aku tahu ini kekanakan … tapi aku benar-benar nggak bisa lihat wajah mereka sekarang."
Mobil itu melaju keluar gedung, menembus keramaian jalan. Pandangannya kosong, pikirannya hanya berputar-putar pada kata-kata kalah dan gagal. Ia bahkan tak menyalakan musik, hanya suara mesin yang menemani perjalanannya.
Tak terasa, ia sudah sampai di gerbang pemakaman. Tempat yang selalu membuat hatinya tenang. Lima tahun sudah sejak sang ibu pergi, tapi setiap kali berdiri di depan pusara itu, rasanya luka lama terbuka kembali.
Tasya berjongkok, menatap nama sang ibu yang terukir rapi di batu nisan. Jemarinya menyentuh perlahan, dan tanpa sadar air mata mulai jatuh.
"Ma … Tasya gagal lagi." suaranya parau. "Aku kalah, Ma. Dan aku benci perasaan ini. Semua orang menganggap aku lemah, bahkan aku sendiri merasa begitu."
Ia terdiam sejenak, lalu menunduk lebih dalam. "Kenapa aku nggak bisa jadi sehebat yang Mama harapkan, ya? Kenapa aku selalu salah langkah?"
Angin sore berhembus lembut, seolah menjawab kegundahan hati Tasya. Tapi bukannya menenangkan, justru membuatnya semakin larut dalam kesedihan.
---
Sore itu kantor sudah mulai sepi, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Begitu memasuki ruangan, langkah Tasya langsung terhenti ketika Revan berdiri menghadangnya.
"Sya?" suara Revan berat, penuh penekanan. "Kamu pergi tanpa izin. Jangan ulangi lagi."
Tasya menatapnya dingin, tidak berniat menjawab. Tatapannya yang sinis justru membuat rahang Revan mengeras, namun ia menahan diri. Ia lalu menaruh setumpuk berkas di meja Tasya.
"Aku mau laporan ini selesai malam ini juga," tegas Revan.
Tanpa banyak protes, Tasya duduk dan mulai mengerjakan. Waktu terus berjalan, jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ruangan kantor benar-benar sunyi, hanya terdengar bunyi ketikan laptop Tasya.
Revan yang masih ada di ruangannya, akhirnya berjalan menghampiri. "Sudah selesai?" tanyanya datar, sambil menatap lembaran kerja Tasya.
Belum sempat Tasya menjawab, Revan memperhatikan sesuatu yang janggal. "Tasya … hidung kamu—"
Setitik darah menetes dari hidung Tasya. Ia tersentak, buru-buru menutupinya dengan tangan.
"Hei, kamu mimisan!" Revan panik, segera berusaha meraih tisu di mejanya. Namun saat tangannya terulur untuk membantu, Tasya spontan menepis.
"Aku bisa sendiri," ucapnya ketus, lalu berlari ke toilet dengan tergesa, meninggalkan Revan yang terdiam, menatap punggungnya yang menjauh.
Tasya berdiri di depan wastafel, menunduk sambil membasuh wajahnya dengan air dingin. Tisu di tangannya sudah penuh bercak merah. Nafasnya terengah, bukan hanya karena mimisan, tapi juga karena menahan emosi yang menumpuk seharian.
Pintu toilet berderit. Dari pantulan kaca, Tasya melihat Revan masuk perlahan.
"Sya ..." suara Revan terdengar datar, tapi ada sedikit nada khawatir di dalamnya.
"Aku nggak butuh bantuanmu," potong Tasya cepat, menempelkan tisu baru ke hidungnya tanpa menoleh.
Revan melangkah lebih dekat, menatap bayangan Tasya di cermin. "Kamu memaksakan diri. Kalau sakit, bilang."
Tasya tertawa kecil, sinis. "Peduli banget sekarang? Kamu pikir aku nggak bisa kerja? Atau kamu cuma mau lihat aku jatuh biar bisa bilang aku gagal?"
Revan terdiam sejenak, rahangnya mengeras. "Bukan itu maksudku."
"Kalau begitu keluar." Tatapan Tasya di kaca menusuk, dingin. "Aku lebih baik sendirian daripada pura-pura didukung sama orang yang cuma bisa merendahkanku."
Hening. Revan ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Aku bukan musuhmu, Anastasya."
Tasya tidak menjawab. Ia terus mengusap wajahnya, pura-pura sibuk, berharap Revan segera pergi.
Revan menatapnya sekali lagi, lalu melangkah keluar dengan perasaan yang sulit ia jelaskan, antara khawatir, kesal, dan juga ada sedikit rasa bersalah yang enggan ia akui.
Tasya baru saja melangkah keluar dari toilet ketika tiba-tiba pergelangan tangannya diraih seseorang. Ia terkejut, mendongak, dan mendapati Revan menatapnya dengan wajah serius.
"Hei, lepasin!" protes Tasya, berusaha melepaskan tangannya. Namun, Revan tidak menggubris. Dengan langkah cepat ia menyeret Tasya menuju ruangannya.
Setelah pintu tertutup rapat, Revan langsung membuka laptopnya yang masih menyala. Di hadapan Tasya, ia menunjukkan beberapa file presentasi yang sudah berantakan, tabel yang hilang, grafik yang rusak, bahkan beberapa data berubah seolah ada yang dengan sengaja mengacak-acak.
"Lihat sendiri," suara Revan berat, nyaris seperti menahan amarah. "Bukan cuma datamu yang kena. Dataku juga dirusak."
Tasya menatap layar itu, matanya melebar. Sekilas, memang terlihat nyata kerusakannya. Tapi ia menahan diri, menautkan alis dengan penuh kecurigaan.
"Dan kamu mau aku percaya begitu aja?"
Revan mendekat sedikit, menatap Tasya tajam. "Kalau aku pelakunya, buat apa aku bikin dataku sendiri jadi kacau? Aku juga korban, Sya!"
Tasya menggigit bibirnya. Dalam hati, ia ingin percaya, tapi keraguannya masih terlalu besar. Ucapannya terdengar datar, "Alasan itu bisa aja kamu pakai biar keliatan seolah-olah kamu nggak bersalah. Aku nggak bisa percaya seratus persen gitu aja."
Senyum miring terukir di wajah Revan, entah menahan kesal atau justru menikmati perdebatan itu. "Ya udah, kamu bebas mikir apa aja. Tapi cepat atau lambat, kamu bakal sadar kalau ada orang lain yang lagi mainin kita dari belakang."
Revan menutup salah satu folder di laptopnya dengan suara klik yang menggema di ruangan hening itu. Ia bersandar ke kursinya, menatap Tasya lekat-lekat.
"Cepat atau lambat, kita harus cari tahu siapa yang main di belakang layar ini," katanya, nadanya pelan tapi menusuk.
Tasya terdiam, tatapannya masih penuh ragu. Tapi di balik sinisnya, hatinya berdegup tak karuan. Ada sesuatu di sorot mata Revan tadi yang berbeda, seolah-olah ia benar-benar berkata jujur.
Saat ia melangkah keluar, layar laptop Revan kembali menyala sendiri. Folder misterius bernama Shadow muncul, padahal barusan sudah dihapus.
Dan kali ini, ada pesan singkat di dalamnya.
Game baru saja dimulai.
TO BE CONTINUED