"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3
Permainan Rayuan
Molly masih bertanya-tanya apakah dia sedang bermimpi.
Sudah seminggu sejak dia menerima magang sebagai asisten Briana Anderson. Setiap hari, dia memasuki gedung mewah Anderson Enterprises dengan mata tertunduk, mencoba mengabaikan tatapan iri dari karyawan wanita lainnya. Dia hanyalah seorang mahasiswa baru, dan tiba-tiba, dia berada di ruangan wanita paling berkuasa di negara itu.
Namun, yang paling membuatnya kehilangan napas bukanlah beban tanggung jawab. Melainkan cara Briana memandangnya.
Tidak peduli apakah mereka sedang rapat atau sendirian di kantor: tatapan Briana selalu tertuju padanya. Tatapan yang terpaku, intens, seolah-olah mempelajari setiap gerakan, setiap napasnya. Mustahil untuk tidak merasa telanjang di bawah tatapan mata biru yang seolah menembus jiwanya itu.
Dan Molly… mulai merasakan tubuhnya bereaksi dengan cara yang tidak dia pahami.
Pagi itu, kantor sunyi. Matahari masuk melalui dinding kaca, memantul di meja marmer tempat Briana meninjau laporan. Molly mengetik di laptopnya, mencoba mengabaikan ketegangan yang ada di udara.
Tiba-tiba, suara berat dan tegas terdengar:
— Molly.
Dia segera mengangkat matanya.
— I-iya, Nyonya Anderson?
Briana mengangkat alisnya, dengan senyum sinis di bibirnya.
— Nyonya Anderson? Aku sudah bilang aku tidak suka formalitas. — Dia bangkit perlahan, berjalan menuju meja Molly. — Aku lebih suka kau memanggilku dengan nama.
Molly menelan ludah.
— Briana… — gumamnya, suaranya begitu pelan hingga hampir tidak terdengar.
— Lebih baik. — Pengusaha itu berhenti di belakangnya, membungkuk untuk mengamati layar laptop. Kehadirannya sangat kuat. Parfum mewahnya memenuhi ruangan, dan Molly merasakan kulitnya merinding.
Briana semakin mendekat, wajahnya begitu dekat sehingga rambut pirangnya menyentuh pipinya dengan lembut.
— Kau mengetik terlalu lambat. — katanya dengan nada rendah, hampir intim. — Apa kau gugup?
— T-tidak… aku… aku hanya… —
Tangan Briana mendarat di atas mouse, menutupi tangan kecil Molly. Sentuhannya lembut, tetapi penuh dengan dominasi.
— Santai saja. — bisiknya di telinganya. — Aku tidak menggigit… kecuali jika diprovokasi.
Molly menahan napas, wajahnya memerah.
— Aku… aku akan meningkatkan diri, aku janji. — gagapnya, menarik tangannya perlahan, tetapi tanpa keberanian untuk benar-benar menjauh.
Briana menegakkan tubuh, mengamatinya dengan tatapan tajam.
— Kau sangat mudah dibaca, Molly. Setiap rona merah, setiap gerakan, setiap keraguan… Seolah-olah jiwamu terbuka lebar.
Molly memalingkan muka, malu.
— A-aku tidak tahu apa yang Anda bicarakan.
Briana tertawa pelan, mendekat lagi.
— Tentu saja kau tahu. — jawabnya dengan bisikan berbahaya. — Aku melihat apa yang kau coba sembunyikan. Ketakutan. Keinginan. Rasa ingin tahu.
Molly hampir menjatuhkan pena yang dipegangnya.
— Keinginan? — ulangnya, kaget.
— Ya. — Briana menegaskan dengan begitu yakin sehingga Molly tidak berani menyangkal. — Kau belum mengerti, tapi aku merasakannya. Tubuhmu berbicara kepadaku bahkan sebelum kau membuka mulutmu.
Gadis muda itu terdiam, jantungnya berdebar kencang. Apakah itu benar? Apakah Briana benar-benar membaca pikiran rahasianya, pikiran yang bahkan tidak ingin dia akui sendiri?
Sore harinya, Briana memanggilnya untuk menemaninya mengunjungi departemen desain perusahaan. Semua karyawan berhenti untuk melihat ketika CEO yang berkuasa itu masuk dengan staf magang muda di sisinya.
Molly merasa seperti menjadi sasaran. Tatapan itu penuh dengan penilaian, iri hati, dan kebencian. Beberapa berbisik, yang lain menatapnya seolah-olah dia adalah penyusup.
Briana menyadarinya. Tentu saja dia menyadarinya.
Tiba-tiba, dia berhenti di tengah lorong dan memegang lengan Molly, menariknya dengan lembut lebih dekat padanya.
— Angkat dagumu. — perintahnya dengan suara rendah.
— Apa?
— Jangan berani-berani menundukkan kepala. Kau bersamaku. Dan tidak ada yang berani mempertanyakan siapa yang ada di sisiku.
Jantung Molly hampir melompat keluar dari mulutnya. Dia menurut, mengangkat wajahnya, meskipun pipinya terasa panas karena malu. Briana berjalan dengan angkuh, dan Molly merasa… terlindungi. Merasa memiliki.
Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tahu bahwa itu lebih dari sekadar perlindungan. Itu adalah kepemilikan.
Di penghujung hari, Briana mengejutkannya lagi.
— Ayo pergi keluar. —
— P-pergi keluar?
— Ya. — Briana mengambil mantelnya dan berjalan menuju lift. — Aku perlu bersantai, dan kau ikut denganku.
Molly tidak tahu bagaimana menolak.
Tak lama kemudian, mereka berada di lounge mewah, diterangi oleh lampu lembut dan musik latar. Briana memilih meja yang dipesan di sudut.
Saat Molly menyusut dengan malu-malu di kursinya, Briana mengamatinya dengan cermat, seolah-olah setiap gerakan adalah bagian dari penelitian.
— Kau tidak menyadari efek yang kau timbulkan, kan? — tanyanya, memegang gelas anggurnya.
— Aku? — Molly tertawa gugup. — Aku tidak menimbulkan efek apa pun.
— Kau salah. — Briana menopang dagunya di tangannya dan menatapnya. — Kepolosanmu adalah hal yang paling provokatif yang pernah kulihat.
Molly merasakan wajahnya terbakar.
— K-kenapa kau mengatakan ini?
— Karena itu benar. — Briana tersenyum sinis. — Dan karena aku ingin kau memahami satu hal, Molly: Aku tidak bermain untuk kalah. Ketika aku mengarahkan pandanganku pada sesuatu… tidak ada orang lain yang menyentuhnya.
Gadis muda itu memalingkan muka, tidak tahu apakah itu peringatan atau pengakuan.
Keheningan menggantung selama beberapa detik, hingga Briana membungkuk di atas meja.
— Kau juga merasakannya, kan? — tanyanya dengan nada rendah dan penuh kepastian.
Molly membelalakkan matanya.
— Aku… aku tidak tahu…
— Jangan berbohong padaku. — Briana mengulurkan tangannya, menyentuh jari-jari gadis itu dengan lembut. — Aku melihatnya di matamu.
Sentuhan itu, meskipun singkat, membuat Molly merinding hingga ke jiwanya. Rasanya seperti dia akan melewati batas yang tidak bisa dia kembalikan.
— Briana… aku… aku tidak pernah… — dia mencoba berbicara, tetapi suaranya gagal.
— Aku tahu. — dia menyela dengan lembut. — Tidak pernah terlibat dengan seorang wanita. Tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Dan itulah mengapa kau begitu ketakutan.
Molly terdiam, tidak mampu menyangkal.
Briana tersenyum, puas.
— Jangan takut. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan menunjukkan padamu… — suaranya merendah, hampir seperti bisikan intim — bahwa tidak ada yang akan menginginkanmu seperti aku.
Molly gemetar. Setiap kata jatuh seperti api di hatinya.
Itu adalah permainan. Permainan rayuan yang berbahaya. Dan dia sudah terjebak, bahkan tanpa mengetahui aturannya.
Malam itu, ketika Briana mengantarnya pulang lagi, Molly bersandar di pintu begitu dia masuk, tubuhnya gemetar.
"Kenapa aku merasakan ini? Kenapa dia membuatku kehilangan napas?"
Briana, sementara itu, di dalam mobil, mengamati jendela apartemen sederhana tempat Molly tinggal.
— Molly kecilku. — gumamnya, dengan mata setengah tertutup. — Masih melawan… tapi tidak lama lagi.
Dia tersenyum, dingin dan percaya diri.
Permainan telah dimulai. Dan Briana tidak pernah kalah.