Aku memiliki ibu bernama Zhui Ja.
Terakhir kali aku melihatnya ketika umurku 6 tahun saat di taman bunga yang begitu indah.
Bahkan aku sendiri tidak mengerti mengapa semua ini terjadi pada diriku.
Aku hanya mendengar sebuah berita, bahwa ibuku telah tiada...
Bahkan aku hadir di pemakamannya, tetapi entah mengapa... Aku masih bisa merasakan bahwa jiwa ibuku masih hidup, meski jasadnya telah benar-benar dimakamkan.
Kekuatan ini, dan alam ini?
Dan Qi yang bersarang di dalam tubuhku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syah raman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Harapan
Aku akan lebih berusaha sebagai pendekar yang hebat, meski aku bisa memerintah beberapa orang untuk melindungiku, nyatanya kekuatan individual sangatlah penting untuk melindungi diri sendiri.
Guruku ada seorang ahli pedang dari desa Pretty Tymber, namanya adalah Han Zhenfeng.
Beliau melatihku dengan pedang kayu,
*Plok*
Hantaman itu telah berkali-kali mengenai pedangku, sejujurnya mencari celah seorang master pedang sangatlah tidak mudah.
Sudah tiga bulan aku dilatih oleh beliau, semenjak kerajaanku telah dihancurkan oleh para penjajah. Kekuatan mereka diatas rata-rata, yang mana ledakan dari jiwa seorang Dou Zoun dapat menghancurkan satu desa dalam satu detik.
"Jangan sampai lengah."
Aku ternyata lengah, guruku telah mementalkan pedang kayuku.
"Hai nak, jangan memikirkan apa pun, fokuslah dengan gaya bertarungmu."
"Oh, maafkan aku guru."
Aku segera fokus, tapi tetap tidak bisa.
"Aku mengerti, mungkin saat ini kamu sedang dalam masa ketidaknyamanan. Andai saja ibumu ada di sini, mungkin kau bisa lebih leluasa untuk berlatih."
Ibuku saat ini pergi ke sebuah medan pertempuran yang berada di kota Emperor.
"Tenang saja, beliau akan selamat, karena di sana hanya pertarungan pembagian wilayah."
"Oh, jadi tidak ada yang namanya saling membunuh."
"Itu betul... Mulai sekarang, fokuslah."
Aku segera melakukan serangan pada guruku, dengan begitu beliau mulai kewalahan.
"Ini bagus, teruskan."
Aku mencari cara, berlari ke arah kanan, mencoba untuk mencari cara selain dari apa yang diajarkan oleh beliau, dengan begitu aku bisa mendapatkan celah yang mudah.
Seketika aku segera menyerang dengan sekuat tenaga, beliau mundur karena seranganku mengenai bagian tangan kanannya.
Beliau hanya tersenyum.
Aku segera menendang pedang kayu milik beliau hingga terpental ke lantai.
Beliau kemudian tertawa.
Aku tidak meneruskan seranganku.
"Kau lulus."
Setelah sekian lama aku berlatih, kini guruku telah mengakuiku.
Beliau berdiri dan menunduk. Aku juga melakukan hal yang sama sepertinya.
"Ini adalah ujian terakhirmu, sepertinya tidak ada lagi yang aku ajarkan kepadamu.''
"Terima kasih guru."
"Tapi ingatlah, kekuatan bukanlah sesuatu yang bisa kita gunakan sembarangan, gunakan kemampuanmu untuk bisa melindungi dirimu dan orang yang sepatutnya kau lindungi. Tetaplah berada di jalan yang benar, jangan sampai kegelapan hati membunuh dirimu sendiri."
"Saya mengerti apa yang guru ucapkan. Terima kasih sekali lagi."
"Baiklah Zhui Mei, jika aku boleh tahu, apakah yang menguasai pikiranmu saat ini?"
Aku hanya terdiam dan duduk di samping sebuah guci besar.
Guruku juga ikut duduk di sebelahku.
"Saya sedih karena hancurnya istana dan... kematian Kak Ying."
"Oh... aku mulai mengerti itu."
Aku merinding sambil memeluk kedua kakiku.
"Inilah dunia yang penuh misteri, kadang tidak ada yang menduga... kau beruntung masih bisa selamat, orang-orang yang telah meninggal untuk menyelamatkan klan kita, semua akan dihargai dan semua keluarganya akan dijamin dalam penghidupan. Tenang saja."
"Tapi kak Ying berbeda, beliau sama sekali tidak memiliki keluarga."
"Memang, aku juga ikut kasihan."
"Beliau mati karena menyelamatkanku."
Beliau mengangguk.
"Seandainya ada cara untuk menghidupkan orang mati. Saya ingin melakukannya."
"Itu cukup gila dan belum pernah ada."
Aku memegang daguku.
"Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Dou Zoun."
"Bisa guru ceritakan secara detail?"
Beliau menyandarkan dirinya pada sebuah tiang dan mengambil seputing rokok.
Aku memperhatikan beliau.
"Itu seperti memindahkan roh pada tubuh baru, karena jiwa seorang Dou Zoun tidak akan hancur ketika ada seseorang yang berhasil menyimpan jiwanya dalam sebuah alam penyimpanan. Tetapi itu sangat beresiko, karena jiwa itu akan bisa meledak jika tidak ada yang cepat menyimpannya."
Aku berpikir bahwa guruku ini sangat punya pengetahuan yang cukup mumpuni.
"Kerajaan kita hancur karena ledakan dari roh orang yang setingkat itu, karena dia tidak ingin tubuhnya dijadikan sebagai wadah."
"Wadah?"
"Ya, tubuh itu akan bisa dimasuki oleh roh Dou Zoun lain, sebagai wadah untuk hidup kembali."
Ini semakin menjadi misteri untukku.
"Sedangkan untuk Kak Ying, sepertinya dia bukanlah Dou Zou... Jadi sayang sekali."
Aku berdecak karena merasa kecewa.
...
Karena merasa kecewa, aku segera berjalan di taman kerajaan Mount Angel.
Malam-malam begini, aku lebih suka berjalan santai mencari angin yang segar.
Mungkin bagi sebagian orang, anak-anak sepertiku tidak boleh keluar ketika larut malam.
Karena tadinya, aku keluar melewati jendela, dan tidak ada seorang pun yang menjagaku.
Jadi aku bebas bertindak sesuka hati.
Cindy saat ini berdiri di samping pepohonan yang cukup rindang.
Aku segera berjalan menujunya.
"Untuk apa berjalan selarut ini?"
Kemudian dia mendekat padaku.
"Pulanglah."
"Ah, aku tidak ingin ada di sini... Bibi Xun orangnya pemarah."
Cindy menghela nafas.
Karena baru saja aku berbicara dengan teman ibuku yang bernama Xun Yanran.
Ketika aku mencoba keluar dari kamar, dia sudah ada menghadangku.
"Anak-anak tidak boleh berjalan selarut ini."
"Saya di sini karena merasa bosan di dalam ruangan."
Cindy menanggapi perkataanku dengan sebuah sentuhan di atas kepalaku.
Aku merasa ini adalah sebuah persahabata, dan aku melihat sebuah kantung kain dengan aroma makanan yang nikmat.
"Ayo kita duduk di sana."
Ada sebuah danau yang diterangi sinar bulan yang cukup nyaman di mata.
Kemudian kami berdua duduk di samping danau, sambil menikmati bakpau isi daging.
Aku duduk pada sebuah kain yang telah disediakannya, suasananya cukup nyaman.
Dari kejauhan aku bisa melihat penjaga istana, mungkin mereka takut bahwa kami adalah musuh, tetapi setelah mereka lebih teliti melihat kami, ternyata mereka tahu bahwa kami adalah tamu di istana ini.
Cindy kemudian menyiapkan sebuah minuman rasa jahe pada cangkir terbuat dari bambu.
Rasa jahe ini cukup menghangatkan tubuhku.
"Apa kau merasa kesepian?"
Aku mencoba menyembunyikan perasaanku darinya, tetapi rasanya sulit bahwa aku sedang merindukan ibuku.
Dia memegang belakangku untuk kedua kalinya ketika aku menikmati bakpau isi daging sapi yang cukup nikmat.
"Mungkin iya."
"Tenang bukan hanya kau saja."
Aku menatapnya yang saat ini juga melihat bintang-bintang dengan warna bervariasi.
"Aku juga merasa kesepian, bahkan keluargaku pun sudah tiada."