NovelToon NovelToon
Istri Dalam Bait Do'Aku

Istri Dalam Bait Do'Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Pelakor jahat
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Yazh

Dia bukan cucu kyai, bukan pula keturunan keluarga pesantren. Namun mendadak ia harus hidup di lingkungan pesantren sebagai istri, cucu dari salah seorang pemilik pesantren.

Hidup Mecca, jungkir balik setelah ditinggal cinta pertamanya dulu. Siapa sangka, pria itu kini kembali, dengan status sebagai suami.

Yuukk, ikuti cerita Mecca dengan segala kisahnya yang dipermainkan oleh semesta. Berpadu dengan keromantisan dari Kenindra, suami sekaligus mantan kekasihnya yang pernah sangat ia benci dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Karena, istri aku suka!

Kenindra tersenyum lagi, senyum yang sanggup membuat Mecca tertegun selama beberapa detik. Hatinya dibuat kacau dengan senyum yang dulu selalu ia sukai, namun segera Mecca tepis.

"Aku berharap juga gitu. Mau ganti baju? Di atas ada handuk baru dan beberapa baju ganti yang bisa kamu pakai." Kenindra menunjuk tangga menuju lantai atas.

Mecca terdiam, mencerna perkataan itu. "Ini maksudnya Tante Khadijah minta aku buat tidur di sini, satu rumah, cuma sama kamu doang?" tanyanya, memastikan. Pria itu mengangguk tanpa dosa, kemudian menunjuk sebuah kamar di lantai atas.

Mecca melangkah ragu, memasuki kamar yang cukup besar dengan dominasi warna ivory yang menenangkan. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah di salah satu sisinya terdapat dinding kaca besar yang tepat berada di samping ranjang.

Saat bangun pagi, ia bisa langsung melihat pemandangan di luar sana hanya dengan menyibakkan tirai melalui panel kontrol yang ada di dekat ranjang.

Mata Mecca sulit untuk tidak membelalak kagum. Ia mengenali desain ini. Ini adalah visualisasi dari kamar yang pernah ia desain bersama Kenindra saat SMA dulu. Dinding kaca, tirai otomatis, bahkan balkon luas yang menghadap langsung ke taman. Semuanya sama persis.

Kaki Mecca melangkah sedikit cepat ke arah balkon. "Kenapa kamu membuatnya sedetail ini? Sampai ke balkonnya juga?" gerutunya, suaranya bergetar. Hatinya tersayat perih. Desain ini adalah hasil imajinasi mereka, mimpi mereka ketika SMA dulu.

Namun kini, semua sudah terwujud, untuk ditempati oleh Kenindra dan istrinya. Impian Mecca yang pernah membayangkan bisa mewujudkan desain itu suatu saat nanti, kini hancur berkeping-keping.

"Karena istri aku suka," jawab Kenindra singkat. Ia menoleh ke arah Mecca, menyadari perubahan ekspresinya. "Sudah sana, bersih-bersih badan dulu pakai air hangat, terus ganti baju." Ia mendorong tubuh Mecca pelan menuju kamar mandi.

Kenindra sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam yang digulung sedikit dan celana chino panjang berwarna khaki. Melihat penampilannya sekarang, dia tidak tampak seperti seorang ustaz yang akan mengajar di pesantren. Penampilan kasualnya terlalu keren untuk sosok ustaz muda.

Ustaz dalam bayangan Mecca adalah, pria memakai jubah besar dan sorban yang melilit di kepalanya.

"Aku mau ke kelas putra dulu. Kalau udah ngantuk, istirahat aja ya? Kalau butuh sesuatu, hubungi aku aja, ini nomorku." Sebuah pesan tiba-tiba masuk di ponsel Mecca dari nomor baru.

Mecca terdiam. Entah sejak kapan Kenindra mendapatkan nomornya. Setelah bertahun-tahun bahkan mereka sama sekali tidak berhubungan, apa dia tidak salah sekarang tiba-tiba seenaknya saja muncul di hidup Mecca? Tanpa permisi, tanpa aba-aba.

Belum sempat Mecca bertanya, Kenindra sudah berlalu keluar kamar. Otak Mecca dipenuhi dengan segudang tanda tanya yang tak tau harus minta jawaban dari siapa. Ia merasa seperti masuk ke dalam sebuah skenario yang sama sekali tidak ia pahami.

Selepas Ken pergi, Mecca memilih untuk duduk di balkon, menghirup udara malam yang sejuk, sambil mencoba menghubungi Darren. Ia harus kembali mengecewakannya. Ia tidak bisa bertemu Darren besok, dan ia tidak tahu sampai kapan ia akan terus terjebak di pesantren ini.

Ponsel Darren tidak bisa dihubungi setelah beberapa kali ia mencoba. Ia menghela napas, melempar sembarangan ponselnya ke sofa dan kembali duduk di ayunan rotan di balkon.

Mecca tidak pernah merasakan jet lag sebelumnya, dan sekarang di tempat baru ini ia tidak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Apa ini karena ia masih menyesuaikan diri setelah kembali dari Paris, atau karena kejadian hari ini yang memaksa otaknya untuk tetap terjaga?

"Belum tidur?"

Mecca terkejut dan hampir terjatuh dari ayunan. Kenindra sudah berdiri di sampingnya, tiba-tiba.

"Kamu ngapain di sini? Keluar sana!" seru Mecca, mendorong tubuhnya keluar kamar.

Ia sadar, terlalu lama berada di dekat Kenindra hanya akan membuat perasaannya makin kacau dan kesal.

"Iya, iya, aku cuma mau pastiin kamu bisa tidur nyenyak di sini."

Mecca menunduk, suaranya lirih. "Sebenarnya aku nggak bisa tidur," akui Mecca sebelum Kenindra benar-benar membalikkan badannya.

"Kenapa? Ada yang bikin nggak nyaman?"

"Mm... di sini ada mini market nggak? Aku... aku pengin susu." Mecca sedikit ragu, ia cukup malu mengakuinya. Tapi itu satu kebiasaan yang tak bisa Mecca hilangkan dengan mudah.

"Oh, ya ampun, aku lupa kamu kan selalu minum susu sebelum tidur. Ada mini market di bawah, aku beliin sebentar ya, semoga belum tutup."

"Ikut!" Kenindra menghentikan langkahnya. "Yakin mau ikut?" Mecca mengangguk cepat. "Pakai jilbabnya yaa..." pintanya.

Mecca menolak, "Nggak mau." sebelumnya memang ia tidak pernah berhijab. Hanya karena disuruh Eyang tadi pagi ia terpaksa mengenakannya. Rasanya sangat ribet dan belum nyaman untuknya.

"Di luar sana masih banyak santri putra dan juga banyak laki-laki yang masih beraktivitas. Pakai, ya?" ucap Kenindra lagi, lebih lembut, tidak terkesan memaksa, namun Mecca tak bisa menolak.

Mecca membalikkan badan, meraih pashmina yang tadi siang ia pakai. "Aku pakai piyama aja, ya? Udah panjang kan? Nggak perlu ganti pakai gamis lagi kan?" cerocos Mecca bertubi-tubi.

Kenindra tersenyum geli. Ia mengerti. Mecca jelas belum terbiasa. Untuk seorang fashion designer yang hidup bebas, aturan ini terasa sangat mengekangnya.

"Iya, sudah cukup. Kayak gini aja, "

Mereka berjalan beriringan menuju minimarket yang letaknya di perbatasan area putra dan putri. Ken sempat memakaikan long coat tebal miliknya pada Mecca, setidaknya dengan begitu lekuk tubuh Mecca tidak terlalu menonjol.

Kebetulan juga udara di sana jauh lebih dingin, sekalian bisa buat alasan Ken melakukannya.

Di mini market, Kenindra mengambil alih dua kotak susu di tangan Mecca kemudian mengambil lagi satu kemasan besar 1,5 liter, varian yang sama dengan yang Mecca ambil.

"Itu gede banget. Aku dua aja cukup. Mau buat siapa?" tanya Mecca heran.

"Buat jaga-jaga kalau kamu pengin lagi. Udah, yuk," jawabnya sambil tersenyum.

Wanita berhijab di balik meja kasir menatap Mecca heran, bahkan memindai tubuhnya dari atas sampai bawah. Mecca merasa tidak nyaman.

Di dalam pesantren jelas sekali adanya aturan untuk saling menjaga jarak dengan yang bukan mahram. kehadiran Mecca bersama Ken jelas mengundang banyak pertanyaan, apalagi Mecca baru sekali itu berada di sana.

"Mecca, mau nambah apa lagi?" tanya Kenindra, membuat Mecca yang sedang memilih beberapa camilan bergegas ke arahnya.

"Udah ini saja." Mecca mengutak-atik ponselnya, "Bisa pake Qris nggak? Aku nggak bawa uang cash."

"Berapa totalnya?" tanya Ken pada si kasir.

"Totalnya 120ribu ustaz." Ken mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan lima puluh ribu. "Di sini nggak ada Qris, para santri kan nggak diperbolehkan pegang ponsel."

"Ohh,"

Sungguh gaya hidup baru yang membuat Mecca pusing tujuh keliling.

Setelah menghabiskan sekotak susu dan keripik kentang, Mecca mulai merebahkan tubuhnya dan bisa terlelap sampai pagi.

***

Udara pagi yang jauh lebih dingin dari semalam, menyusup masuk melalui celah jendela kamar Mecca. menyentuh pelan wajahnya yang masih terlelap, namun segera menggeliat. Hawa dingin itu sangat mengusiknya, ia sampai berkali-kali bersin dibuatnya.

Mata Mecca, yang biasanya butuh waktu lama untuk mencapai kesadaran sepenuhnya saat bangun tidur, kali ini langsung membelalak.

Jendela kaca yang besar itu menampakkan keelokan sinar matahari pagi yang masih sangat minim. Matahari baru akan keluar dari persembunyiannya, dan dari atas sini, ia bisa melihat semua prosesnya dengan jelas.

Langit malam yang gelap perlahan memudar, bersamaan dengan itu, muncul cahaya berwarna jingga yang memendar di ufuk timur. Sungguh pemandangan yang super duper memanjakan mata. Mecca selalu menyukai sunrise, bahkan kadang rela mendaki gunung hanya karena ingin menikmati pemandangan matahari terbit dari ketinggian.

Dan sekarang, pemandangan itu bisa ia nikmati hanya dari balkon kamarnya, tanpa harus bersusah payah. Bahkan udara dingin tidak mengalahkan pesonanya. Ia rela langsung keluar kamar menuju balkon dengan telanjang kaki, hanya untuk menyaksikan keajaiban matahari terbit.

Namun dalam rasa takjub itu, hatinya kembali berdenyut nyeri. Kenindra terlalu sempurna memvisualisasikan rumah impian mereka di sini.

"Suka view-nya? Hmm, "

Suara itu mengganggunya. Kenindra sudah berdiri di belakangnya. "Sudah shalat Subuh belum?"

Mecca menggeleng.

"Shalat dulu sana, nanti aku ajak jalan-jalan ke bawah. Melihat jalanan yang juga tidak kalah cantiknya kalau pagi. Di sana bisa melihat hamparan pegunungan di berbagai sisi." Tawaran itu cukup menggoda, namun Mecca tidak ingin menyetujuinya begitu saja. Ia tidak ingin lagi terlalu banyak berinteraksi dengan Kenindra.

"Di sini aja, kamu tau nggak. Aku bakal bikin kamu renovasi rumah ini biar nggak sama persis seperti yang kita rancang dulu. aku nggak terima kamu visualisasikan desain itu dengan sesempurna ini, tapi buat kamu tinggali dengan istri kamu. Kamu jahat!" suaranya serak, nyaris tak terdengar. Kenindra pun sama,ia menarik napasnya dalam-dalam. Ingin sekali menjelaskan semuanya pada Mecca sekarang, namun lidahnya kelu. belum saatnya, ia tak mau Mecca justru akan semakin memberontak dan menjauhinya kalau tahu sekarang soal perjodohan mereka.

"Ekhem, shalat dulu yaa." kata Ken akhirnya, lantas ia berlalu menuju masjid.

Hingga siang hari, Mecca masih merengek pada Eyang untuk pulang ke kota, namun Eyang Prawira tak mau kalah. Beliau punya seribu alasan masuk akal untuk menahannya tetap di pesantren.

Siang itu, Eyang memintanya untuk melihat-lihat lingkungan sekitar pesantren ditemani Kenindra. Meskipun dengan jengkel, Mecca menuruti perintah Eyang. Alhasil, ia kena karmanya sendiri.

Kenindra mengajaknya berhenti di arena berkuda, dan Mecca pun tertarik untuk menaikinya. Dengan bantuan Kenindra, ia menaiki kuda, namun kuda itu sepertinya juga belum menyukai Mecca. Kuda itu bergerak cukup brutal hingga membuat Mecca terjatuh dari atas punggungnya.

"Hikss... hikss... pelan-pelannn," ucapnya yang tengah terbaring di sebuah kursi, dengan Kenindra yang sedang mengobati luka di pergelangan tangannya. Ia juga mengecek cedera di kaki, yang membuat Mecca terus mendesis menahan nyeri luar biasa kalau digerakkan.

"Aku gendong ke rumah, ya? Kayaknya lutut kamu lebam, deh. Ini nggak kelihatan sih, tapi kamu kesakitan banget. " ujar Kenindra, berusaha menyibakkan celana panjang Mecca. Kaki Mecca sangat susah digerakkan.

Meski sempat ingin menolak, namun tidak ada yang bisa Mecca lakukan selain menurut untuk digendongnya.

Dari arena berkuda, Kenindra menggendong Mecca sampai ke rumah. Hal itu menjadi pusat perhatian para santri yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Apalagi santri putri. Mereka para pemuja ustaz muda itu, yang awalnya menunduk seketika menoleh, menatap heran sekaligus iri pada Mecca.

'Eh, itu Ustaz Arsalan gendong siapa?'

'Dihh, kok mau digendong? Eh salah, kok mau nggendong maksudnya,'

'Beruntung banget yang digendong Ustaz Arsalan, huhuhu...'

'So sweet sekali, tapi perempuan itu bukan ustazah di sini kan? Pakaiannya saja seperti bukan anak santri.'

'Ish, kok Ustaz Arsalan main gendong-gendong? Bukan mahram kan yaa?'

'Ustaznya cakep, mana ada yang nolak kalau digendong gitu.'

'Ceweknya siapa ya? Cantik banget kayak artis Korea.'

'Iya, cantik banget.'

'Ustaz Arsalan yang biasanya dingin melebihi es di kutub utara ternyata bisa sweet juga.'

Begitulah kira-kira kalimat yang para santri itu lontarkan, masih banyak bisik-bisik lainnya tapi Mecca tidak peduli lagi. Sepanjang jalan ia memilih membenamkan wajahnya di balik punggung Kenindra, merasa malu dan geram dengan bisikan-bisikan yang ia dengar.

Sesampainya di rumah, Kenindra bergegas mengambil kotak obat. "Ehh, mau ngapain?" seru Mecca saat Kenindra berusaha meraih kakinya.

"Aku obatin sendiri aja."

"Aku mau bantu obatin," jawab Kenindra khawatir. Ia tau pasti Mecca begitu kesakitan.

"Nggak... nggak. Aku bisa sendiri kok, siniin." Mecca keukeuh mengambil alih obatnya dan mengobati sendiri cedera di lututnya, walaupun kesusahan dan sambil menggerutu.

Usai mengobati lukanya, dengan susah payah ia berjalan dari sofa menuju kamar. Ken hanya menatapnya penuh rasa bersalah,

Eyang Prawira menyusulnya beberapa saat kemudian dengan panik. Namun, Eyang justru mengucapkan hal yang tidak Mecca inginkan.

Alih-alih mengajak Mecca pergi dari sini untuk berobat, Eyang justru meminta Kenindra untuk lebih menjaga Mecca karena sakit.

Ini tidak masuk akal. Mecca membenci ini. Kenapa semua orang di sini rasanya ingin sekali mendekatkannya dengan Kenindra?

Sementara dia, begitu inginnya menjauh dari pria itu. Cukup sudah baginya dua hari ini bergelut dengan rasa tidak nyaman dengan semua luka-luka lama yang perlahan terbuka kembali.

"Sayangg, gimana? Sakit banget yaa?" Kali ini Ibu Khadijah yang masuk ke kamar Mecca.

"Ehh, iya Tante... lumayan," jawab Mecca.

"Ehh, mulai sekarang panggil Umma ya, jangan Tante. Ini Umma bawain makanan buat makan siang. Dimakan dulu ya, nanti minum obatnya juga biar nggak terlalu sakit," ucap Ibu Khadijah lembut.

Setelah Ummi Khadijah kembali ke rumahnya yang berada tak jauh di depan, Kenindra kembali masuk kamar dan duduk di tepian ranjang.

"Aku bantuin makan ya, sini."

"Yang sakit kaki aku, bukan tangan. Aku masih bisa makan sendiri," jawab Mecca sedikit ketus.

Beberapa saat lalu ia baru saja menerima pesan dari Darren yang sedang marah padanya karena masih belum juga bisa bertemu. Dan sekarang semua orang di sini seolah bertindak tanpa memikirkan perasaannya. Gadis itu ingin marah-marah tapi tidak tahu harus marah pada siapa.

Mecca menghabiskan waktu seharian hanya berdiam diri di dalam kamar. Kenindra pun tidak masuk lagi setelah tadi pagi sempat Mecca berkata dengan nada tinggi dengannya.

***

Sudah hampir seminggu Mecca tertahan di pesantren. Cedera kakinya sudah sembuh sepenuhnya, namun Eyang masih overprotective padanya.

Sebenarnya Mecca cukup jatuh cinta pada suasana di sana yang tenang, sejuk, dan ia bisa melihat sunrise yang sangat ia sukai setiap pagi. Hanya saja, ini bukan sepenuhnya yang ia inginkan.

Ia punya kehidupan sendiri yang ia tinggalkan, butik, buku desain, dan segala kesibukan di dalamnya. Terlebih lagi, ia merindukan Darren. Bagaimanapun juga, status mereka masih sepasang kekasih, tapi keadaan gila ini memaksanya tengah bersama pria lain di sini.

"Eyang, Mecca balik ya ke rumah. Ada beberapa urusan yang harus Mecca tangani. Chacha belum bisa mengambil alih sepenuhnya," Mecca masih berusaha memohon untuk kesekian kalinya pada Eyang.

"Kan bisnis butik kamu sudah autopilot, Nduk. Eyang itu mau melanjutkan rencana kita untuk membuka butik muslimah dengan melatih beberapa santri yang berminat di dunia fashion di sini, lho. Peluang itu sangat bagus ke depannya."

"Iya, Eyang, Mecca tahu. Eyang kumpulkan dulu beberapa santri yang berminat di dunia fashion, nanti Mecca janji akan mengembangkan minat dan bakat mereka, tapi Mecca harus kembali dulu saat ini," jawab Mecca, berusaha memberi solusi.

Setelah dengan banyak negosiasi, akhirnya Eyang mengalah, mengizinkan Mecca kembali ke kota.

"Kamu nggak keberatan, Ken, kalau Mecca saya bawa pulang dulu?" tanya Eyang setelah Mecca kembali ke kamar untuk berkemas. Kenindra tersenyum ringan kemudian mengangguk pada Eyang.

"Nggak, Eyang. Biar saja Mecca kembali dulu. Dia masih syok dengan pertemuan kita. Kalau kita terus memaksanya di sini, dia hanya akan semakin tidak menyukai Ken. Nggak apa-apa, pelan-pelan saja. Nanti Ken yang akan menjelaskan semuanya setelah Mecca kembali ke sini."

Terima kasih, buat kalian yang udah baca.

jangan lupa like dan komennya yaa🥰

1
MimmaRia
ceritanya bagus, gk monoton yg pesantren bgt, tp jg gak sok CEO2 gt , mskipun chapter awal2 msh yg byk flashbacknya, tp bkn yg lebay ke blakang bgt gt..
easy going lah crtanya, menghibur tp gak menjemukan👍👍👍
Yazh: Wahh😍 Terima kasih kak. Iya memang konfliknya aku sengaja buat yang ringan, jadi nggak bikin kalian mikir banget.

Udah banyak pikiran kan? Ya kali aku nambahin beban🤭
becandaa kak✌
total 1 replies
MimmaRia
wkwkwkkkk... Mecca jd mikir pstinya,, jaim salah gak jaim mancing Kenindra😂😂
Yazh: 😄😄 betul kak, galau maksimal dia. Denial terus, antara nggak mau jujur sama diri sendiri dan nggak kuat sama godaan Ken😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!