Istri Dalam Bait Do'Aku
.
.
"Saya terima nikahnya Mecca Jesselyn Prawira dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia seberat 27 gram dibayar tunai."
Suara Kenindra terdengar mantap, namun terasa kurang sempurna karena tanpa kehadiran sosok mempelai wanita.
Sejenak, ruangan itu hening. Hanya suara detak jam dinding dan napas tertahan yang terdengar.
Dua saksi mengangguk pelan, serempak mengucap, "Sah."
Ayah Mecca, Letnan Jenderal Adi Prawira, memejamkan mata, jemarinya meremas lututnya di balik celana kain yang ia kenakan.
Ibunya, Letda dr. Widia menunduk, mengusap sudut mata dengan punggung tangannya. Entah lega, entah cemas.
Di sebelahnya, abang Mecca—Dean, ia paling tahu kalau Mecca pasti akan sangat memberontak jika tahu pernikahan untuknya telah diatur seperti ini. Pandangannya menatap kosong ke arah buku nikah, ia masih tidak rela adik kesayangannya kini berpindah tangan. Sejauh ini Dean yang paling dekat dengan Mecca, karena kedua orangtuanya terlalu sibuk mengurus tugas negara.
Dan yang tak kalah pentingnya, ada Eyang Prawira. Beliau yang mendalangi pernikahan ini, berbeda dengan orangtua Mecca dan abangnya, eyang Prawira justru menatap lega. Moment sakral hari ini akan menyelamatkan cucu kesayangannya dari para lelaki bejat yang selama ini mengincar tubuh dan uangnya saja.
Hanya keluarga dekat saja yang hadir di ruang tengah sebuah rumah besar di dalam pesantren modern itu. Tidak ada dekorasi dan jamuan mewah di sana. Abbah dan Umma Kenindra menatap haru pada putranya yang kini sudah berstatus suami.
“Jaga amanah ini sayang, kamu paling tahu tanggungjawab apa yang ada dipundakmu sekarang. Jangan kecewakan Allah yang sudah mempertemukan kalian dengan cara yang paling baik ini.” nasihat Umma diiringi tetesan air mata haru yang tak bisa dibendung lagi.
Kenindra menunduk, sama dengan ummanya. Ia pun tak bisa menahan laju air matanya sendiri. Mecca bukanlah wanita asing yang tiba-tiba harus ia nikahi. Gadis itu sudah bersemayam dalam dadanya sejak masih duduk di bangku SMA. " Arsalan paham umma. Mecca akan jadi orang pertama yang tidak mungkin Arsalan lukai. Dan, Arsalan akan berusaha menjadi pemimpin yang baik untuk istri Arsalan.”
Acara berlanjut dengan obrolan ringan antar orang tua. Sementar tatapan Dean terus singgah pada cincin yang tergeletak manis dalam sebuah box transparan di atas meja. Bersanding dengan alat shalat dan banyak lagi box lain yang berisi banyak barang-barang seserahan.
“Kenapa bang?” tanya Kenindra, ia tahu abang iparnya itu tengah memikirkan sesuatu sejak tadi.
"Cuma ingat," suaranya datar, "Kalau dia tahu nanti… aku nggak bisa jamin apa yang bakal terjadi."
Ibu Widia menepuk tangan Dean, memberi isyarat agar diam.
"Abang…" tegurnya lembut, namun matanya sendiri tak lepas dari cincin itu—benda kecil yang hari ini telah mengubah status putrinya.
Eyang Ilyas, yang duduk di ujung meja, mengetuk tongkatnya pelan. "Mereka sudah sah. Sisanya… kita serahkan pada Arsalan, itu tugas dia, kita menyekolahkan dia jauh-jauh ke Kairo agar bisa mengamalkan ilmunya dengan baik dalam dunia nyatanya sekarang."
Kenindra mengangguk yakin, ia tidak mau keluarga istrinya meragukannya. “InsyaAllah Aku bisa menghadapi Mecca bang.”
Di luar, hujan mulai merintik, membentuk alur tipis di kaca jendela. Rencana kedua keluarga besar ituberjalan lancar.
***
Dan di sudut kota lain, seorang perempuan cantik dalam balutan dress formal, sibuk menatap layar tabletnya—memoles desain gaun pengantin untuk kliennya. Senyumnya tipis, konsentrasi penuh. Ia tak tahu, di tempat lain, namanya baru saja terikat dalam sebuah ijab qabul yang tak pernah ia bayangkan.
Cahaya lampu gantung yang super terang jatuh tepat di atas meja besar yang penuh tumpukan kain satin, renda, dan sketsa gaun pengantin.
Mecca menunduk, matanya tak lepas dari layar tabletnya. Jemarinya lincah menggoreskan stylus, menambah detail pada gaun rancangan terbarunya. Kliennya kali ini adalah artis ternama ibu kota, ia tidak mau ada sedikit saja cela cacat pada gaunnya.
“Garisnya terlalu kaku…” gumamnya, lalu menghapus cepat, mengganti lekuknya dengan sapuan halus.
“Mecca, ini Luna dan calonnya yang mau fitting sudah datang,” suara Chacha, asisten setianya, terdengar dari pintu.
Mecca mengangguk tanpa mengangkat wajah. “Suruh tunggu lima menit. Aku selesaikan dulu ini.”
Mecca terdiam sebentar, lalu tersenyum maklum. “Siap.” Biasanya Mecca tidak turun tangan langsung, namun kali ini adalah moment yang penting, agar karya-karyanya makin dikenal dunia ketika yang memakai adalah artis terkenal.
Mecca tahu dirinya keras kepala kalau sudah bekerja. Usai menemui klien pentingnya ia lanjut sibuk dengan laptop yang menyala, menunjukan jadwal sebuah event fashion di Korea, padahal baru beberapa hari lalu ia kembali dari Perancis untuk event juga. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, tapi ia belum berniat menyentuh makan siangnya. Hanya kafein dari latte di pojok meja jadi satu-satunya asupan yang masuk dalam perut Mecca sejak siang.
Sesekali ia melirik ke gaun putih yang tergantung di manekin di sudut ruangan. Gaun itu akan dipakai sang artis bulan depan.
Mecca tersenyum miris. Entah sudah berapa ratus gaun pengantin cantik yang ia desain untuk para kliennya, sementara ia tidak pernah mempunyai rancangan untuk dirinya sendiri.
“Bikinin gaun buat orang mulu, kapan bikin gaun buat sendiri boss?” ledek Chacha. Assisten sekaligus sahabatnya itu tertawa puas sekali menggoda bossnya. Pasalnya kisah cinta Mecca tidak se-menyala karirnya. Dia lebih banyak menang event daripada memenangkan hati pria.
Kisah cintanya selalu berakhir cut off hanya dalam beberapa bulan saja. Terakhir adalah dengan sang pilot, itu sudah berjalan enam bulan, ini yang paling lama menurut Chacha.
“Aku pecat kamu Cha!” gurau Mecca sembari melempar potongan kain di tangannya.
Ponsel Mecca bergetar pelan di atas meja. Notifikasi chat dari abangnya.
My Guardian.
‘Dek, abang cuti nih! Pulang yaa, jangan ke appart. Atau mau kujemput?’
‘Jemput dong banggg, Mecca tunggu. Love you.’
Mood Mecca seketika berubah, ketika mendapati Abangnya cuti. Dan ia memang satu-satunya orang yang menjadi pawang Mecca. Mau sesibuk apapun kalau abangnya yang minta dia pasti akan pulang,sama seperti titah Eyangnya juga. Hanya saja, Dean lebih pintar mengendalikan Mecca dengan segala dramanya.
Mecca menghela napas, lalu mulai beberes.
Di luar, langit gelap, hujan mulai mengetuk kaca butik.
Mecca tak tahu, di bawah hujan yang sama, seorang pria baru saja mengucap ijab qabul atas namanya. Dan dunia yang selama ini ia bangun dengan rapi… sebentar lagi akan berantakan.
Begitu memasuki rumah dinas Ayah, suasana yang hangat langsung menyambut Mecca. Seluruh anggota keluarga besar berkumpul di ruang tengah, membuat suasana seperti sedang lebaran saja.
Mecca menyalami mereka satu per satu, kemudian memilih duduk di sofa, menyandarkan kepalanya di bahu Kak Dean. Jarang sekali mereka dikumpulkan dalam satu frame seperti itu. Ayah dan Ibunya sibuk dengan kewajiban mengabdi pada negara, ayahnya seorang Jenderal TNI, sedangkan ibunya adalah dokter militer yang sering mengikuti volunteer juga.
"Ndukk sayang... Mecca, besok kita ke vila, ya, sekalian mumpung Dean lagi cuti tiga hari, Ayah sama Ibumu juga lagi nggak ada tugas," ajak Eyang Prawira, suaranya lembut namun penuh otoritas.
Mecca tahu, Eyang pasti sengaja membawa-bawa nama Kak Dean agar ia tidak bisa menolaknya. Padahal ia sudah membatalkan janji dengan Darren hari ini, dan di dalam mobil tadi, baru saja ia membuat janji dengannya untuk berkencan besok. Semua rencananya berantakan.
"Mm... baik, Eyang. Tapi nggak nginep, kan?" Mecca mencoba tawar-menawar, berharap setidaknya ia bisa pulang di hari yang sama.
"Menginap, dong, ya. Selain cukup jauh, Eyang juga mau ketemu teman Eyang di sana untuk membahas pengembangan bisnis di pesantren. Nanti kita bikin acara kecil-kecilan di sana..." ujar Eyang. Ia menatap Mecca dengan senyum penuh arti. Mecca hanya bisa mengangguk pasrah, merasa seperti bidak catur yang diatur pergerakannya. Kemudian, ia bangkit untuk menuju kamar, sudah seharian di pesawat, badannya lengket, rasanya ia ingin menenggelamkan diri di dalam bathtub.
Keputusan Eyang tadi hanya makin membuat perasaannya kacau. Ia meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Darren, kekasihnya.
'Sayang, sorry. Besok eyang ngajakin pergi, kita nggak bisa ketemu kayaknya😭'
'Hmm, ya udah nggak apa-apa. Eyang juga pasti kangen kamu. Dua minggu lagi aku dapet libur juga yangg,'
Setelah Mecca pergi, Ayah Jenderal menatap Ayah Prawira dengan serius. "Yah, Ayah yakin dengan keputusan Ayah?"
Eyang Prawira tersenyum, yakin. "Jangan ragukan keputusan Ayah, Bima. Mecca itu cucu kesayangan Ayah, tidak ada yang boleh menyakiti dia lagi. Selama ini Ayah tahu semua yang dia lalui. Ayah sudah sangat yakin kalau pria yang Ayah pilih sudah yang paling tepat untuk Mecca. Dia lulusan terbaik Kairo dan sekarang sedang mengurus beberapa bisnis di pesantren sambil mengajar juga di sana," jelas Eyang, penuh ketegasan yang tak terbantahkan.
Keesokan harinya, semua orang sudah siap untuk berangkat menuju vila. Mecca yang biasa berpakaian terbuka dan fashionable kini diminta Eyang untuk memakai baju yang lebih tertutup dan berhijab.
"Mecca sudah pakai baju panjang, Eyang. Nggak perlu berhijab, ya? Gerah," mohon Mecca, merasa tidak nyaman. Namun, Eyang tetap kekeuh, memaksanya berhijab dengan alasan tidak enak karena mereka akan memasuki area pesantren.
Berkali-kali Mecca berjalan sambil mendengus kesal. Setelah beberapa perdebatan kecil, akhirnya ia mengalah. Pagi-pagi buta ia sudah menyuruh Chacha untuk mengantarkan satu set long dress dari butiknya, lengkap dengan pashmina yang senada.
"Eyang, mau ada bisnis apa lagi sih kenapa Mecca harus ikutan?" tanya Mecca, ia duduk di dalam mobil yang sudah dalam perjalanan menuju vila. "Mecca lagi banyak urusan yang harus segera diselesaikan karena sudah ditinggal ke Paris lama."
Eyang tersenyum hangat, menatap cucunya dari kaca spion. "Kamu kan tahu, Nduk, di dalam garis keluarga kita, ya cuma kamu yang mewarisi kepintaran bisnis Eyang. Jadi Eyang mengajak kamu di setiap urusan bisnis kita sampai nantinya Prawira Group berada di tangan kamu."
Mecca mengakhiri pertanyaannya. Ia tahu, Eyang tidak mungkin memintanya sekeras ini tanpa sebuah alasan. Dan ia juga tahu, tidak ada gunanya berdebat. Eyang Prawira tidak akan pernah menang.
Begitu mobil berbelok memasuki area pelataran vila dan semuanya sudah turun, Mecca masih enggan bergerak dari posisi nyamannya. Ia menatap ke luar jendela, melihat suasana vila yang dikelilingi pepohonan hijau. Ia benar-benar malas sekali untuk turun.
"Ndukk, Mecca! Ayo," ajak Ayah yang paling terakhir keluar dari mobil. Mecca hanya mengangguk pelan, namun tidak bergeming sedikit pun.
Kak Dean yang sudah berjalan lebih dulu segera menyadari kalau adiknya tidak ikut turun. Ia kembali menghampiri Mecca di dalam mobil, mencondongkan kepalanya ke jendela mobil.
"Mau digendong? Hmm." tanyanya lembut.
Tanpa menjawab, Mecca hanya mengangguk cepat. Ia memang tidak bisa berbohong soal perasaan lelahnya. Atau mungkin lebih tepatnya malas, bukan lelah.
Kak Dean pun bergegas membuka pintu mobil dan memosisikan punggungnya untuk menggendong Mecca.
Mecca membenamkan wajahnya di bahu Kak Dean, membiarkan kakaknya membawanya masuk. Namun, saat kepalanya terangkat, matanya menangkap sesuatu yang membuat matanya membulat sempurna, jantung nyaris berhenti berdetak.
Di halaman vila, tempat mereka semua berkumpul, pandangannya jatuh pada sesosok pria yang sedang berdiri menatap kearahnya juga, tak sendiri, ia dikelilingi oleh keluarganya.
"Kak... itu... Kenindra?" lirih Mecca, setengah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Matanya memicing, memfokuskan diri pada sosok itu. Bahkan dari jarak sejauh ini, ia sudah langsung bisa mengenali laki-laki yang sudah menghilang dari pandangan, bahkan hidupnya, sejak hampir enam tahun lalu.
Kak Dean menghela napas pelan. "Hebat juga kamu, Dek. Dari jarak sejauh ini sudah langsung bisa mengenali kalau itu Kenindra, hmm." Berbeda dengannya, Kak Dean tampak tidak kaget sama sekali. Ia tidak menghentikan langkahnya, tetap menggendong Mecca menuju ke arah mereka semua yang sepertinya sedang mengadakan acara BBQ kecil-kecilan di halaman vila.
"Itu orang tua Ken juga? Turunin aku, Kak, turuninnn cepetan!" sontak Mecca merosot dari gendongan Kak Dean. Ia tidak lagi peduli dengan rasa lelahnya. Dengan langkah cepat, ia kembali ke area parkiran dan memilih duduk di atas kap mobil, memeluk lututnya, tidak berani melanjutkan pertemuannya dengan mereka.
Kedua orang tua Kenindra sedikit kaget melihat ulah Mecca. Eyang Prawira pun merasa sedikit sungkan. "Maaf, Pak Maulana, Bu Khadijah. Mecca memang baru landing dari Prancis dan saya langsung ajak ke sini. Mungkin masih lelah dan juga syok begitu sampai di sini melihat kalian," ucap Eyang, berusaha menjaga suasana.
Ayah Kenindra, Eyang Ilyas, mengangguk sopan. "Tidak apa-apa, saya bisa paham kok. Lagipula memang pasti butuh waktu untuk wanita semandiri Mecca bisa menerima pernikahannya yang tiba-tiba ini."
Otak cerdas Mecca berpikir cepat, mencoba mencerna situasi yang sungguh tidak masuk akal ini.
Kenindra, yang sudah selesai memanggang, segera beranjak dari tempatnya untuk menghampiri Mecca.
Namun, Dean sigap mencegahnya. "Jangan, Ken. Biar aku ngomong dulu aja," ucapnya tegas. Dean tahu akan seperti apa reaksi Mecca kalau tiba-tiba Ken yang mendekatinya saat ini.
"Iya, Ken. Dean itu pawangnya Mecca. Biar saja Dean dulu yang bicara pada Mecca," timpal Ayah. Kenindra menurut, kembali melanjutkan aktivitasnya, namun tatapannya tak pernah lepas dari sosok Mecca yang duduk dengan tatapan datar di kap mobil.
"Mecca masih tetap seperti dulu, ya, Om, paling dekat sama Bang Dean," ujar Kenindra pada Ayah Mecca.
Ayah Mecca tersenyum. "Iya, dia selalu begitu. Makanya saat kamu mengucapkan ijab kabul minggu lalu, Om sudah lebih dulu membicarakannya dengan Dean terlebih dahulu. Kalau tidak, pasti Mecca akan lebih marah. Eh, panggilnya Ayah sekarang, jangan Om," ralat Ayah, dengan senyum kecil.
Kenindra mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang tidak mudah dia berikan pada setiap orang, karena dia memang orang yang cukup minim ekspresi.
Sementara itu, Kak Dean terus berjalan dan mengambil duduk di samping Mecca. "Maaf, ya, kakak nggak kasih tahu kamu lebih dulu soal ini," ucapnya pelan.
Mecca tidak sedikit pun menoleh padanya. Matanya menatap kosong ke depan, bahkan hati dan pikirannya juga ikut blank seketika, mendapati kenyataan pahit yang ia lihat.
"Kak Dean jahat..." satu kalimat itu yang lolos dari bibir Mecca, suaranya tercekat dan bergetar, bersamaan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Hatinya berdenyut sangat nyeri, seolah semua luka lama yang dulu sudah sembuh kini terbuka lagi.
Kak Dean merasa cukup iba melihat betapa sesak yang adiknya rasakan sekarang. Tangis Mecca makin menjadi sampai sesenggukan.
Tangan kekarnya dengan cepat menarik tubuh adiknya ke dalam pelukan, mengusap punggung juga kepalanya berkali-kali sampai napasnya mulai teratur. "Aku nggak bermaksud membuat kamu kembali merasakan sakit hati seperti dulu, Dek. Aku paham banget bagaimana kamu membenci Kenindra. Tapi setelah mendengar semua penjelasan dia dan orang tuanya, kakak jadi tahu kalau Kenindra melakukan semua itu juga bukan bermaksud meninggalkan kamu dengan egois dulu."
Mecca menggelengkan kepalanya di dada Kak Dean. Ia tidak peduli dengan penjelasan apa pun. Luka yang ia rasakan dulu tak bisa ditebus dengan penjelasan apapun.
"Kak Dean lupa bagaimana aku hampir gila dulu gara-gara dia? Aku bahkan nggak sanggup lagi mendengar semua tentang dia untuk berbulan-bulan, Kak. Hikss..."
Kak Dean terdiam. Ia tidak bisa membantah. Ia yang menemani masa sulit Mecca dulu saat sedang hancur-hancurnya ditinggal Kenindra dulu. Dia adalah cinta pertama Mecca saat masih SMA. Yang tanpa aba-aba lebih dulu, tiba-tiba harus meninggalkan Mecca tanpa bisa dibantah. Semua terjadi ketika Mecca sedang merasakan hidupnya begitu sempurna karena memiliki Kenindra.
Kehidupannya yang sepi, menjadi berwarna karena Kenindra, pria itu mengajarkan banyak hal, memberinya kesan cinta yang begitu mendalam, namun ia lupa tidak mengajari Mecca untuk bisa bertahan tanpanya.
Kenindra diharuskan berkuliah di Kairo, dan hubungan mereka berakhir begitu saja tanpa komunikasi. Mecca tidak pernah mendapat penjelasan, bahkan kata pamit.
Mecca merasakan dadanya makin sesak, dihantui oleh bayangan masa lalu yang hancur.
Bagaimana bisa Eyang, yang ia sayangi, melakukan hal sekejam ini padanya?
Mempertemukannnya dengan pria yang sudah membuatnya hancur di masa lalu, pria yang pergi tanpa penjelasan, dan kini kembali seenaknya sendiri seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Aku nggak mau, Kak. Aku nggak mau ketemu sama dia," bisik Mecca, suaranya serak. Ia mendongak, menatap Kak Dean dengan mata yang penuh permohonan. "Aku nggak mau."
Kak Dean menatap mata adiknya yang penuh luka, hatinya ikut teriris. Namun, ia tahu, ini adalah keputusan Eyang yang tidak bisa dibantah. "Maafin kakak, Dek," bisik Dean, mengusap lembut kepala adiknya.
"Kamu tahu kan, eyang sayang banget sama kamu. Beliau nggak mungkin menjerumuskan kamu,"
"Eyang bukan sayang, eyang hanya ingin aku jadi penerusnya. mendidik aku seperti yang dia mau."
"Nggak dek, eyang sayangg banget sama kamu. Bahkan eyang selalu memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup kamu, yang tidak banyak orang tau."
Kata-kata itu, alih-alih menenangkan, justru terasa seperti belati yang menusuk hati Mecca.
Bagaimana bisa mereka, keluarga yang ia sayangi, mengambil keputusan sebesar ini tanpa persetujuannya? Bagaimana bisa mereka menganggap masa lalunya dengan Kenindra sebagai sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja?
Mecca merasa dikhianati, tidak hanya oleh Kenindra, tapi juga oleh keluarganya sendiri.
Haii.. terimakasih buat kalian yang sudah membaca. Maaf yaa, kalau masih banyak salah ketik, aku masih pemula 🙏
Semoga kalian suka cerita ini💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments