Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIA BISA JUGA MERASA BERSALAH?
Sesampainya di rumah, akhirnya aku mengganti baju. Selain hobi belajar, aku juga hobi memainkan gitar, seperti yang sudah aku bilang di awal. Aku selalu menyisihkan waktu untuk bernyanyi dan bermain gitar minimal selama tiga puluh menit. Bernyanyi dan memainkan gitar adalah bentuk healing bagiku. Apalagi jika adikku sedang berada di rumah. Rasanya aku tidak ingin berhenti bermain gitar karena suara adikku yang sangat lembut.
Setelah kurang lebih tiga puluh menit, aku menyimpan kembali gitarku dan mulai membuka buku pelajaran fisika. Menurutku, fisika adalah pelajaran tersulit kedua setelah kimia. Namun, walaupun sesulit itu, aku akan memastikan bisa mendapatkan nilai 100 lagi.
Setelah satu jam empat puluh lima menit belajar, aku memilih untuk minum jus beri. Ini adalah salah satu hal wajib yang diterapkan oleh Mama. Jus beri merupakan salah satu jenis minuman yang dapat menyegarkan otak karena mengandung antioksidan yang baik untuk fungsi otak. Selain itu, ada juga jus buah alpukat yang kaya akan lemak sehat dan vitamin E, yang bermanfaat untuk kesehatan otak. Karena aku suka rasanya, aku pun selalu mengonsumsinya.
Oh iya, mungkin kalian bertanya ke mana kedua orang tuaku. Yah, Papa pergi saat aku berumur sembilan tahun. Sejak saat itu, mau tidak mau, Mama harus bekerja keras untuk menghidupi aku. Mama bekerja di lahan sawit setiap hari. Ia selalu memperhatikan lahannya, yang kira-kira luasnya sekitar lima puluh hektare. Mama memang memiliki mandor untuk mengurus lahan tersebut, namun ia juga kerap ikut turun langsung, bergantian mengelilingi seluruh lahannya.
Meski begitu, Mama tidak pernah lupa memasak dan menyiapkan jus untukku sebelum berangkat. Sementara untuk urusan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, dan mencuci, Mama mempercayakannya kepada Mpok Rita. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Viona, yang kini memilih bersekolah di SMA Taruna karena ia bercita-cita masuk sekolah kedinasan.
Nah, kembali ke topik...
Setelah meminum jus beri, aku mulai merasa lebih segar, tetapi juga ada rasa sepi. Mungkin karena ketidakhadiran Voni? Astaga, anak itu memang sangat merepotkan. Kenapa sih dia tidak bisa menghargai sahabatnya sendiri? Kenapa dia malah lebih bersungguh-sungguh kepada orang lain dibanding dirinya?
“Dasar anak pemalas. Tapi kenapa aku harus selalu peduli dan memikirkannya?” gumamku tanpa sadar.
Kalian pernah tidak sih seperti ini? Saat adikku pergi, Voni yang biasanya menghiburku agar aku tidak merasa kesepian. Sekarang, Voni malah sibuk pacaran sama cowok yang karakternya saja aku tidak tahu. Entahlah, aku memang jarang memperhatikan orang di sekitarku. Kalau di SMA, aku hanya memperhatikan Voni dan pelajaranku. Tidak lebih.
“Hkhmm... maaf kalau aku selalu mengganggu pikiranmu,” ujar seseorang dari belakang. Itu adalah suara yang sangat aku kenal, suara wanita yang selalu merepotkanku—dan malasnya bukan main. Aku pun membalikkan badan dan menatapnya dengan side eye, namun dalam hati ada rasa lega. Lega karena ternyata perkataanku di kelas tidak dimasukkan ke hati olehnya. Mana mungkin bisa masuk ke hati, orang berpikir saja dia malas. Wanita ini memang definisi wanita malas.
“Ngapain ke sini?” tanyaku dengan kesal.
“Yah, aku sadar aku salah. Tadi Varo juga merasa bersalah, jadi besok aku tidak akan mengulanginya,” ujarnya dengan nada lembut, menunduk, tampak menyesal. Baru kali ini dia merasa bersalah. Tapi apakah itu karena dirinya sendiri atau karena Varo? Dan laki-laki yang aku lihat tadi—apakah dia benar merasa bersalah atau hanya mengejekku? Entahlah. Aku bingung.
“Jadi kamu merasa bersalah karena Varo merasa bersalah, atau gimana?” tanyaku menyelidik.
“Enggak kok, aku juga merasa bersalah. Nih, aku bawain cokelat buat kamu. Kan kamu suka cokelat,” ucapnya sambil menyodorkan cokelat kesukaanku.
Senyumku perlahan-lahan mulai terpancar. Aku menerima cokelat itu dengan senang hati.
“Nanti kalau Mama tahu aku makan cokelat, aku salahin kamu ya,” ujarku sambil memakan cokelat pemberiannya. Yah, Mama memang sangat melarangku makan cokelat. Katanya, laki-laki juga harus menjaga bentuk tubuh, bukan hanya perempuan.
Lagi pula, setiap aku makan cokelat, aku pasti kebablasan. Tapi kalau tidak makan, ya bisa lupa begitu saja. Menurut Mama, cokelat itu mengandung logam berat. Dalam beberapa kasus, cokelat—terutama cokelat hitam—dapat mengandung kadar kadmium dan timbal yang tinggi. Ini adalah logam berat yang, jika terakumulasi dalam tubuh, bisa berbahaya bagi kesehatan.
“Ih, kok aku sih? Itu titipan Varo sebagai ucapan maaf. Aku tuh udah bilang nggak usah, karena Tante pasti marah. Tapi dia tetap mau beli karena dia merasa bersalah. Jadi kalau Tante marah, marahin saja Varo,” ucapnya santai, tanpa rasa bersalah.
Bayangkan saja: cokelat itu dari cowok yang aku benci! Seketika aku memuntahkan cokelat dari mulutku dan membuang semuanya ke tempat sampah. Anak ini memang menyebalkan.
Dia memandangku dengan tatapan bingung, lalu bergegas melihat cokelat yang aku buang.
“Kok kamu buang sih? Padahal kami udah berusaha, lho. Lagian Tante juga lagi nggak di rumah, jadi nggak akan tahu, kan?” ucapnya kecewa.
“Kamu mau belajar nggak?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jawab dulu pertanyaanku,” sahutnya. Aku enggan menjawab. Takut terlihat cemburu kalau aku bilang aku tidak suka melihat Varo.
“Besok aku nggak mau ngasih contekan, lho. Dan besok pelajaran fisika. Jadi, kamu mau belajar nggak?” tanyaku lagi, tetap menghindari pertanyaannya.
“Nyebelin kamu! Ayo belajar!” ucapnya ketus, tapi tetap menurut. Kami pun belajar.
Lima belas menit berlalu, dan ya, benar, dia masih belajar. Gila, apa dia benar-benar seserius ini pacaran sama Varokah? Apa yang sebenarnya dipikirkan wanita pemalas ini? Kenapa tiba-tiba niat banget belajarnya?
Sejak dia pacaran dengan Varo, aku merasa akan sering kesal pada wanita pemalas ini. Aku menatapnya, dan dia menyadarinya.
“Kamu kenapa natap aku kayak gitu?” tanyanya heran.
“Aku cuma heran aja. Kamu sudah lima belas menit belajar bareng aku, tapi nggak ngeluh atau tidur. Kayak bukan kamu biasanya,” ujarku jujur.
Dia tersenyum mendengarnya.
“Betul? Berarti aku sudah sedikit berubah. Kata Varo, aku harus mulai mengubah kebiasaan burukku dan seharusnya bisa sepintar kamu,” jawabnya.
Rasanya aku ingin marah lagi mendengar nama Varo dari bibir kecilnya itu. Kenapa harus Varo? Kenapa Varo yang mengubahnya? Kenapa bukan aku? Kenapa cowok itu menyuruh dia jadi seperti aku? Kenapa bukan dia saja yang berubah dulu? Sialan. Rasanya aku tidak setuju kalau dia berubah hanya karena Varo. Padahal aku yang selalu menasehati dia tapi dia gak pernah mau dengarin. Sedangkan Varo, Varo baru kenal sama dia, begitu juga dia baru kenal Varo, tapi kenapa dia langsung nurut?